Liku Liku Sengketa Lahan Bandara Juwata yang Belum Ada Kejelasan Ganti Rugi

TARAKAN – Saat ini kasus ganti rugi lahan Bandara Juwata Tarakan masih belum ada kejelasan. Warga yang telah menguasai lahan di bandara tersebut belum mendapat haknya dari pemerintah setelah lahan tersebut digunakan untuk perluasan area bandara.

Salah seorang pemilik lahan di bandara, Jusmin menjelaskan runut kronologis sengketa lahan bandara yang telah inkrah di Pengadilan Negeri (PN) itu. Dikatakannya, saat bandara ingin membangun perluasan area, dirinya pun menuntut ganti rugi lahan.

Saat itu walikotanya masih dr. Jusuf SK. Di mana beliau juga mempunyai lahan di sana dan sudah bersertifikat, sementara lahan kami tidak boleh bersertifikat. Kami juga tidak tahu darimana asal-usul kepemilikan tanah beliau,” katanya.

Lanjut Jusmin, saat pergantian walikota ke H. Udin Hianggio, pihak bandara telah menggelontorkan dana sebesar Rp 9 milliar melalui Pemerintah Kota Tarakan. Namun pihak Pemkot menyangkalnya. Pihak Bandara Juwata Tarakan yang dikepalai oleh Husni Djau awalnya tidak menginginkan untuk lanjut pengadilan jika Pemkot bersedia mengembalikan dana Rp 9 milliar tersebut ke pihak bandara, untuk dibayarkan ke pemilik lahan dan pihak bandara akan membayar sisa kekurangannya.

Ternyata dana Rp 9 milliar itu salah bayar, diperuntukkan untuk ganti rugi tanaman tumbuh saja, tapi kenyataannya dana tersebut juga tidak sampai ke warga pemilik lahan. Saat bandara ingin menimbun untuk membangun di lahan warga, pihak bandara memberikan uang agar pengerjaannya tidak dihaling-halangi.

Baca Juga :  KPU Tarakan Tunggu Putusan MK untuk Penetapan Caleg Terpilih

“Kami diberikan uang tanpa hitam di atas putih, dan wajar saja kami terima karena kami dijanji bahwa lahan kami akan diganti rugi. Kami positif thinking saja, berpikir itu hanya pembayaran untuk membujuk kami agar bersedia menjual lahan kami ke pihak bandara,” urainya.

Bahkan warga dilibatkan dalam pengerjaan proyeknya saat mereka ingin membangun tower dan pemasangan kabel dalam tanah. Warga diberikan dana sebesar Rp 25 juta dengan iming-iming sambil menunggu anggaran ganti rugi lahan. Saat membangun sungai buatan, warga juga diberikan Rp 20 juta.

Setelah kepala bandara lama Husni Djau jadi tersangka kasus Tipikor 2012, hingga pergantian kepala bandara yang baru, Syamsul Banri, karena tak kunjung ada kejelasan, akhirnya warga berinisiatif untuk menggembok pagar masuk bandara. Syamsul Banri pun sempat menghubungi salah satu warga via telpon, meminta izin untuk menggelar salat Idulfitri di bandara, berharap agar penimbunan di bandara bisa berjalan lancar.

“Kami diberikan uang lagi sebesar Rp 300 juta dengan pembayaran bertahap, dana awal kami dibayar Rp 150 juta, juga tanpa hitam di atas putih, tapi kami anggap itu uang buka gembok, bukan ganti rugi lahan kami. Kalau kemudian ada yang menganggap bahwa itu adalah ganti rugi lahan, rasionalisasi uang yang sudah kami terima dengan harga lahan kami tentu tidak sebanding dong,” kata Jusmin.

Baca Juga :  Polisi Sebut Speedboat Vs Perahu Dompeng di Perairan Juata Berakhir Damai

Sebelum ada penetapan inkrah keputusan PN, pihak bandara memberikan dana sebesar Rp 150 juta kepada warga selaku pemilik lahan, khususnya lahan yang telah digarap oleh bandara. “Lahan saya seluas 2 hektare (Ha) lebih, lahan H. Daeng Gassing seluas 1 Ha, dan lahan Abdul Hafid seluas 1 Ha. Pemberian uang itu disaksikan Kapolres`bapak Desman Tarigan kala itu. Saksi ada, tapi entah mengapa tidak ada hitam di atas putih. Namun di belakang, kecurigaan kami mungkin itu untuk menghilangkan jejak bahwa tidak ada pembayaran kepada kami yang akan dijadikan sebagai alat pengakuan pihak bandara atas kepemilikan lahan kami,” terangnya.

Pertanyaannya, lanjut Jusmin, kalau memang itu lahan milik bandara, lalu mengapa ada pembayaran kepada warga? Mengapa warga tidak dipidana saat melakukan penggembokan? Mengapa kami dikenakan bayar pajak? Mengapa mereka harus minta izin kepada warga untuk dilakukan penimbunan dan pengerjaan proyek lainnya di atas lahan dimaksud?

Sampai hari ini, pihak bandara juga tidak pernah memperlihatkan alas haknya untuk menerangkan kepastian hukumnya seperti apa. Bahkan mungkin bandara tidak tahu di mana titik nolnya. “Kalau tidak tahu, akan kami tunjukkan, kita ukur sama-sama biar terang benderang di mana batas kepemilikan lahan kita masing-masing, jadi tidak ada dusta di antara kita,” tegasnya.

Baca Juga :  Masyarakat Minta Informan Kejahatan Dilindungi

Meskipun surat warga di lahan bandara itu hanya sampai Camat, setidaknya punya dasar secara dejure. Lalu secara defacto warga menggarap lahan itu sejak tahun 1982, artinya lebih tua dibanding pembangunan bandara sebagai kebutuhan daerah. Dengan kata lain, lahan bandara itu adalah areal pembebasan lahan oleh Pemkot, bukan murni tanah nenek moyang Bandara.

Tapi terpisah dari keputusan inkrah, jangan kemudian nama kami yang dianggap sebagai motorisnya (penggerak) dicoret dari daftar yang dijanjikan lagi akan diganti untung, karena lahan yang masuk gelar perkara itu hanya seluas 4 Ha lebih, bukan keseluruhan dari lahan kami, sementara kami masih mempunyai lahan di situ di luar dari 4 Ha lebih tersebut,” jelasnya.(*)

Editor : M. Yanudin

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2651 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *