“Bantuan dari pemerintah akan membuat masyarakat malas dan manja. Jika saya malas, siapa yang nanti akan bertanggungjawab terhadap istri dan anak saya” Umar, jukir difabel.
Keterbatasan fisik tak membuat semangat Umar, seorang difabel yang berprofesi sebagai juru parkir surut dalam menjalani hidup. Pria 43 tahun ini acapkali membuat kagum siapapun yang lintas di kompleks pasar THM, Kota Tarakan karena lincah saat merapikan kendaraan roda dua di kawasan tersebut.
Menjadi juru parkir ikhlas dijalaninya sejak tahun 2008 hingga sekarang. Dalam seharinya tak banyak memamg pundi-pundi rupiah yang bisa dibawa Umar. Namun selama melakoni pekerjaanya itu, dia mampu mencukupi kebutuhan dapur rumah tangganya. Termasuk menyekolahkan ketiga anaknya.
Bagi Umar, keluarga adalah alasan besar untuk dia tetap berusaha mencari nafkah yang halal di tengah segala keterbatasannya. Umar sendiri memiliki 3 orang anak dari hasil pernikahannya dengan Dewi, istrinya. Anak sulungnya berusia 12 tahun dan tengah duduk di bangku kelas satu SMP, anak keduanya duduk di kelas dua SD, dan anak bungsunya di kelas satu SD.
Soal mendukung impian anak-anaknya, Umar tak pernah kompromi untuk menjadikan ketiga buah hatinya itu menjadi anak yang sukses. Bahkan ia berani pasang badan, rela menahan malu untuk meminjam uang kepada tetangga maupun koprasi dalam mendukung pendidikan sang anak.
Bukan tanpa sebab. Pasalnya anak sulungnya bercita-cita akan menjadi anggota TNI kelak. Umar pun menyadari untuk mewujudkan cita-cita anaknya perlu menyiapkan finansial yang cukup.
“Saya akan berusaha mewujudkan mimpinya. Kami bukan orang miskin, hanya orang tidak punya, bagi saya, tidak ada orang miskin di dunia ini, yang ada orang yang tidak mau berusaha,” imbuhnya.
“Saya selalu bilang ke anak-anak. Tugas kalian hanya belajar dan belajar, soal biaya pendidikan biar saya yang usahakan, bagaimanapun caranya, tidak masalah kalau saya berhutang ke tetangga kiri kanan. Yang penting mereka sekolah,” tegasnya.
Kendati kekurangan lauk sehari-hari sudah menjadi kondisi awam bagi keluarganya. Namun, Umar tak lagi harus merogoh kocek untuk sewa rumah karena mampu membeli sebidang tanah hingga membangun rumah ukuran 4×10 meter persegi. Sekalipun hanya berdinding seng dengan kayu akasia yang menjadi penopang, hal tersebut membuatnya lega mempunyai tempat tinggal sendiri.
“Tanah itu saya beli seharga Rp 30 juta, itu saya cicil selama empat tahun. Di awal saya bayar Rp 12 juta dari uang simpanan, selepasnya saya cicil 100 ribu per bulan. Sisanya, orang tua yang memberi bantuan dengan cara menjual lembunya (sapi) di kampung,” katanya.
Karena kondisi bangunan rumah yang apa adanya. Umar mengaku was-was ketika menerima tamu di rumahnya lantaran takut jika rumah itu akan ambruk karena tidak mampu menampung beban yang ada.
Kegigihan Umar dalam menjalani hidup memang tak pernah surut. Lagi-lagi, ia menceritakan
seorang Lurah pernah mendatanginya untuk memberitahukan jika dirinya menerima bantuan sosial dari pemerintah, namun hal tersebut ia tolak lantaran masih bisa berusaha.
“Uang bantuan dari pemerintah akan membuat masyarakat malas dan manja. Jika saya malas, siapa yang nanti akan bertanggungjawab terhadap istri dan anak, saya lebih bangga jika mampu menafkahi keluarga dengan hasil jerih payah sendiri ketimbang bantuan dari siapapun,” ucapnya.
Ihwal pendapatan parkir yang tidak menentu, Umar pasrah jika suatu saat pihak pengelola parkir akan memecatnya. Sebab, kawasan THM telah direncanakan pemerintah untuk menggunakan portal elektronik. Artinya, pekerjaan juru parkir yang digeluti Umar praktis akan tersingkirkan.
“Jika saya dipecat, saya akan bertemu wali kota agar saya diberi pekerjaan penganti agar keluarga di rumah tetap bisa makan dan anak-anak saya bisa melanjutkan cita-citanya,” harapnya. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Yogi Wibawa