OLEH: OSARADE/YOGI WIBAWA
(Bagian1)
“Karena saat itu untuk logistik masyarakat kita sangat mengandalkan logistik dari Malaysia dan pembangunan jalan perbatasan itu merupakan pembangunan pertama, jadi saya perintisnya,” Ingkong Ala.
JAUH sebelum menjadi seorang politikus ulung di Kalimantan Utara (Kaltara) dan Wakil Bupati Bulungan periode 2021-2024, Ingkong Ala melewati segudang pengalaman hidup di Bumi Benuanta, sebutan lain Provinsi Kaltara. Mulai dari kuli bangunan, montir bengkel hingga tenaga kesehatan dan birokrat.
Lahir di Kecamatan Long Nawa, Kabupaten Bulungan yang saat ini menjadi Kabupaten Malinau pada 17 November 1966 silam. Ingkong Ala menempuh pendidikan dasar di SDN 009 Mara I, Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kabupaten Bulungan.
Jarak dari rumahnya ke sekolah juga tak main-main, ratusan kilometer jaraknya. Meski begitu Ingkong Ala kecil dengan tenang hati melewati hutan rumba dan sungai hanya untuk bisa bersekolah.
“Saya tinggalkan Long Nawang itu gara-gara pendidikan. Orang tua saya ingin melihat saya sukses bersekolah, makanya saya dibawa dari Long Nawan menyusuri hitan rimba dan sungai hanya untuk bersekolah. Karena dulu SD terdekat dari Kampung saya hanya SDN 009 Mara I,” ujar Ingkong, kepada benuanta.co.id, Ahad (9/6/2024).
Selama menjalani pendidikan sekolah dasar, Inkong mengaku kehidupannya masih berjalan normal. Bermain selayaknya anak-anak seusiannya. Saat lulus sekolah dasar pada tahun 1980, keadaan mulai berubah, Ingkong Ala memiliki tekad untuk menyelesaikan pendidikannya hingga di Sekolah Menengah Atas (SMA) ke Kecamatan Tanjung Selor dan meninggalkan orangtuanya di kampung halaman.
“Saat itu orang tua tidak melarang, justru mereka sangat mendukung keputusan saya. Masalahnya ialah cara saya bertahan hidup dan membayar biaya sekolah, jika nanti saya ke Tanjung Selor,” ucapnya.
Persoalan biaya hidup dan pendidikan membuat Ingkong Ala harus putar otak untuk mencari penghasilan sendiri.
“Awalnya saya masuk Sekolah Rakyat (SR) yang saat itu sekolah hebatlah di jamannya. Tapi di situ jam sekolahnya dari pukul 07.00 sampai pukul 14.30 WITA. Makanya saya memutuskan untuk pindah sekolah ke SMP I Tanjung Selor,” bebernya.
Meskipun hal itu diakui olehnya sebagai keputusan yang sangat berat, namun agar dirinya tetap bisa bersekolah sembari bekerja. Ingkong pun mengaku tidak menyesal harus kembali mengulang kelas.
“Dulu itu saya bekerja sebagai pembantu tukang (bangunan) dengan upah Rp 150 perak saat itu. Tapi para mandor tukang saat itu hanya mau menerima pelajar yang bisa kerja dari Pukul 12.00 sampai pukul 18.00 WITA, setengah hari kerjalah intinya. Sedangkan sekolah SR saat itu jam pulangnya 14.30, jadi para mandor nggak mau terima saya. Makanya saya pindah ke SMP I karena jam pulangnya lebih cepat, jadi saya kalau pulang sekolah bisa langsung kerja sebagai tukang bangunan,” ucap Ingkong dengan mata yang berkaca-kaca sembari mengingat kehidupan masa lalunya.
Pekerjaannya sebagai kuli bangunan itu dijalaninya sejak kelas 1 SMP hingga lulus bangku SMA Negeri I Tanjung Selor. “kurang lebih 6 tahunan saya kerja jadi kuli bangunan karena saya juga menabung untuk biaya pendidikan SMA dan perguruan tinggi,” lirihnya.
Usai SMA, Inkong pun harus kembali merantau untuk dapat berkuliah Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda yang jaraknya kurang lebih 720,9 kilometer dari Bulungan.
Meski diterima menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi di Unmul, namun Ingkong hanya menyelesaikan 3 semester saja. “Saya waktu di Samarinda kuliah tapi sambil bekerja jadi montir bengkel dan pekerjaan itu hampir setahun saya lakukan, setelah itu saya berhenti kuliah dan pulang kampung ke Long Nawan,” bebernya.
Ingkong mengaku nekat berhenti kuliah karena saat itu sedang dibuka penerimaan CASN formasi kesehatan di Long Nawan dengan lulusan SMA Jurusan IPA. Pada zaman itu pelajar lulusan SMA jurusan IPA dapat mendaftar CASN farmasi kesehatan dengan catatan akan kembali menjalani pelatihan kesehatan negara jika berhasil lulus CASN.
“Karena saya lulus jadi saya ikutilah latihan Nakes itu sembari melanjutkan kuliah di STIE Bulungan Tarakan,” tuturnya.
Walaupun pada saat itu secara ekonomi kehidupan Ingkong sudah perlahan membaik. Belasan tahun menjadi ASN membuat Ingkong tersadar dengan kondisi pembangunan di Long Nawan yang merupakan kampung halamannya. Pikirannya selalu terbayang ingin lebih banyak berkontribusi dalam pembangunan di daerahnya. Perasaan itu diperparah saat mengingat kembali kondisi Long Nawan yang sangat jauh berbeda dengan Kota Samarinda. Tamparan kenyataan itu membuat tekad Inkong bulat untuk meninggalkan profesinya sebagai ASN.
Sekitar tahun 1999, ia mengeluti bisnis kayu Gaharu. Dari bisnis tersebut Ingkong kemudian mengajak pengusaha lain untuk urunan modal agar bisa membangun jalan perbatasan dengan membagi profit keuntungan.
“Karena saat itu untuk logistik masyarakat kita sangat mengandalkan logistik dari Malaysia dan pembangunan jalan perbatasan itu merupakan pembangunan pertama, jadi saya perintisnya,” jelasnya.
Di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha dan seorang birokrat membuat fokusnya terbelah dua. Inkong sempat mengajukan surat pengunduran diri sebagai ASN, namun saat itu pengunduran dirinya ditolak oleh Pemerintah Kabupaten Malinau.
“Dari tahun 1999 sampai 2002 saya beberapa kali mengajukan pengunduran diri tapi ditolak oleh Yansen Tipa Padan yang saat itu merupakan Sekda Malinau, alasan beliau saat itu pemerintah masih butuh saya di Long Nawan. Hingga akhirnya di tahun 2003 saya resmi berhenti. Saya merasa percuma menjadi ASN karena saya saat itu tidak bisa total dalam bekerja dan lebih sibuk menjadi pengusaha,” imbuhnya.
Beringsut ke periode tahun pembentukan Kabupaten Malinau sebagai daerah baru, Ingkong juga sempat mendapat tawaran menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malinau lewat penunjukan langsung. Kesempatan emas tersebut berkali-kali dipertimbangkannya. Sebab, mendiang orang tuanya memiliki pesan agar Ingkong Ala dapat membantu masyarakat untuk membangun jalan di daerah pedalaman.
“Jujur secara pribadi saya saat itu sangat dilema karena saya tinggal menunggu pelantikan saja. Tapi ayah saya bilang, bak kamu itu masih muda kesempatan berpolitik masih banyak, tapi tidak dengan membangun jalan perbatasan. Jika tidak kamu lakukan sekarang maka tidak adalagi yang bisa melakukannya,” tuturnya.
“Saat itu kondisi medan masih hutan rimba. Saya melakukan survei hingga ke Malaysia dan bertemu beberapa pihak yang menudukung penuh proyek ini. Lalu tanpa saya ketahui di sela survei saya, ayah saya ternyata sudah meninggal dunia,” sambung Ingkong Ala.
Mendengar kabar duka tersebut, tanpa pikir panjang Ingkong Ala memutuskan kembali ke kampung halamannya. “Saya langsung berlari ke dalam hutan untuk kembali ke rumah. Saya berlari selama kurang lebih 5 jam, dalam hutan naik perahu lewati sungai selama 2 jam dan naik pesawat lagi hingga akhirnya sampai di rumah untuk melihat almarhum ayah saya,” kenangnya.
Meski diterpa duka yang mendalam. Di sisi lain Ingkong juga bangga bisa melaksanakan pesan terakhir dari mendiang ayahnya untuk membangun jalan perbatasan pertama, bersamaan dengan 7 menara BTS di yang ada di Long Nawan dan sekitarnya.
“Banyak momen bersejarahnya, tapi bagi saya pribadi yang terpenting keinginan ayah saya sudah berhasil saya lakukan hingga akhirnya saya putuskan berpolitik seperti saat ini,” pungkasnya.
\\Bersambung..(*)
Reporter: Osarade
Editor: Yogi Wibawa