Meraba Program Tapera di Kaltara

benuanta.co.id, TARAKAN – Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Program inisiatif pemerintah dalam membantu masyarakat menabung agar bisa memiliki hunian berpotensi menjadi angan-angan belaka.

Selain memantik reaksi keras dari kalangan pekerja dan pengusaha. Program Tapera juga menyita perhatian dari para praktisi di Tanah Air.

Menurut kaca mata Akademisi Ekonomi di Kalimantan Utara (Kaltara), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., Tapera memiliki niat yang baik dari pemerintah jika dijalankan sesuai dengan misinya untuk membuat perumahan bagi rakyat. Sehingga, pemerintah juga ikut andil dalam peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun, saat ini masyarakat dihadapkan dengan persoalan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Seperti kasus mega korupsi APBN, Jiwasraya, timah dan sebagainya.

“Kita masyarakat sekarang disuguhkan dengan tidak amanahan mengelola keuangan negara maupun keuangan badan usaha milik negara. Pada posisi ini, maka masyarakat sebagian mempertanyakan keamanahan pemerintah dalam rencana Tapera ini,” jelasnya kepada benuanta.co.id, Selasa (11/6/2024).

Lebih jauh dijelaskannya, jika persoalan ini ditarik ke daerah seperti Provinsi Kaltara, tentu tidak cocok dengan kondisi pekerja yang ada. Profil dari pekerja formal di Kaltara dari tahun ke tahun dinilai mengecil, lantaran meningkatnya pertumbuhan pekerja informal dalam hal ini pedagang kaki lima (PKL). Baik di Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan dan lainnya.

“Tapera itukan pemotongan gaji, kalau pekerjanya informal gaji dari mana. Kalau pemotongan pekerja formal di Kaltara juga sebagian besar sudah memiliki rumah,” sambungnya.

Fakta di lapangan, program Tapera yang masih angan-angan ini dihadapkan dengan perumahan bagi pekerja yang sudah tersedia. Seperti, di wilayah Juata Korpri Tarakan yang diperuntukkan untuk pegawai di instansi tertentu. Celakanya, fasilitas yang disediakan pun juga tak digunakan dengan baik untuk kalangan pekerja. Beberapa petak rumah terlihat tak berpenghuni, lantaran beberapa pekerja memilih untuk memiliki rumah sendiri.

“Malah pegawai memilih hidup di wilayah kota. Karena akses lebih nyaman. Apalagi pegawai negeri sekarang lebih banyak yang punya rumah dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki rumah,” imbuhnya.

Dalam program Tapera ini, menggambarkan bahwa pekerja yang memiliki rumah dianggap tak memiliki rumah lantaran harus tetap mendapatkan potongan dari gaji yang didapatkan per bulannya.

Menurut Margiyono, terdapat ketidakadilan yang memungkinan berpotensi konflik di kalangan pekerja. Sebab bagi pekerja yang memiliki rumah harus memberikan sedikit penghasilannya untuk pekerja yang belum memiliki rumah. Terlebih, kalangan pekerja yang memiliki rumah dinilai juga tidak membutuhkan program Tapera ini.

“Kemudian di Kaltara ini banyak juga pekerja musiman. Misalnya pas hari-hari besar kedatangan dan keberangkatan penumpang itu meningkat drastis. Artinya kepemilikan rumah di sini itu jadi prioritas,” tegas Margiyono.

Pakar Ekonomi Kaltara, Dr. Margiyono, S.E., M.Si. (ist)

Selain persoalan di atas, dana Tapera juga tidak cukup untuk biaya pembuatan perumahan di Kaltara. Hal ini terjadi, karena kebutuhan pembuatan perumahan cukup mahal sehingga tidak sebanding bahkan kurang jika harus menunggu dana Tapera.

Berbeda halnya dengan wilayah Pulau Jawa, yang menjadi pusat industri dengan jumlah pekerja yang sangat besar. Sehingga dana Tapera yang dikumpulkan cukup besar.

“Kalau di Kaltara itu struktur ekonominya dari sisi pekerja tidak terlalu besar, karena pekerja di sini juga sedikit. Tidak seperti di Jawa yang jadi industri. Porsi Tapera tidak memungkinkan jika harus dilakukan di Kaltara, itu secara mikro regional,” beber Margiyono yang juga sebagai dosen Universitas Borneo Tarakan.

Margiyono mengungkapkan, wacana Tapera ini tak mendapatkan respon positif dari kalangan masyarakat khususnya pekerja. Saat ini juga sudah terdapat beberapa program perumahan seperti KPR Subsidi Selisih Bunga (SSB), KPR Subsidi Likuiditas Pembiayaan Perumahan (SLPP), Program Sejuta Rumah, Bedah Rumah dan sebagainya.

Dari program yang sudah ada, masyarakat yang memiliki rumah namun tidak layak dapat memilih program bedah rumah. Sementara untuk yang tidak memiliki rumah dapat memilih program KPR. Seharusnya, program yang sudah ada ini lebih difokuskan lagi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Menurut saya skema perumahan ini sudah ada tinggal ditingkatkan, tidak perlu membuat opsi baru yang mana masih utopis (khayalan). Jika dijalankan dengan baik program yang sudah ada maka permasalahan perumahan rakyat di Indonesia akan teratasi,” pungkas Margiyono. (*)

Reporter: Endah Agustina

Editor: Yogi Wibawa

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2636 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *