Duka dan Trauma Warga Pesisir 

Curahan Hati Korban Kebakaran Belakang BRI

SUARA tiang besi milik PLN berbunyi dua belas kali sebagai penanda tepat pukul jam 12 malam. Yusuf tampak bersiaga sambil menyalakan senter yang berada di kepalanya.

Sejumlah remaja dan dewasa berkerumun di tiap-tiap badan jalan semenisasi. Layaknya terjadi peristiwa besar, masing-masing masyarakat mempersenjatai diri dengan kayu ulas, besi, mandau, parang serta samurai.

Suara riweuh, wajah tegang, pria-pria muda lalu berlarian mengejar target yang mereka cari, malam itu. Sayangnya, target mereka berhasil lolos.

Para warga di belakang Hotel Topik dan belakang BRI sedang tidak merasa aman setelah beberapa kali terjadi percobaan pembakaran, belakangan ini.

Pria misterius yang mereka cari konon melakukan percobaan pembakaran di sebuah rumah kosong padat penduduk. Beberapa kali percobaan, selalau diketahui warga yang melintas.

Warga bersepakat melakukan ronda malam, hingga berkeyakinan bakal menangkap basah pria-pria misterius itu. Bagaimana warga di dua daerah pesisir padat penduduk ini tidak kesal, sudah empat kali percobaan pembakaran terjadi.

Percobaan pembakaran pemukiman padat penduduk selalu dilakukan dengan menyiram minyak tanah pada rumah warga, Masing-masing di antaranya RT 25, RT 22 berlokasi di belakang Hotel Topik, RT 20 dan RT 19 berlokasi belakang BRI.

Pelaku yang masih misterius keberadaannya itu digadang-gadang warga diduga sebagai orang suruhan oknum tak bertanggung jawab. Diduga pelaku diberi tugas dan target untuk membakar rumah warga.

Warga masih belum dapat memastikan ciri-ciri pelaku detail si pelaku. Namun informasi yang beredar di tengah masyarakat menyebutkan pelaku memiliki tubuh yang kecil.

Warga menilai orang misterius tersebut memiliki keahlian khusus dalam melarikan diri. Namun keberadaannya masih menjadi misteri.

Pelaku percobaan pembakaran diduga  mengalami luka serius pada bagian tubuhnya saat melakukan aksi di RT 20 belakang BRI. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah ceceran darah di sepanjang wilayah Selumit Pantai.

Orang misterius itu kini menjadi incaran warga lantaran kerap menebar terror. Hingga kini, pelaku percobaan pembakaran ini akhirnya dalam lidik pihak Kepolisian.

RT 25 dan RT 22 belakang Hotel Topik memiliki akses jalan yang sempit. Belum lagi sebagian rumah warga berbahan kayu.

Sementara, daerah RT 20 dan RT 19 hanya berjarak 3 meter dengan pembatas jalan semenisasi. Pada beberapa pekan lalu, sebagian rumah warga di RT 20 menjadi puing-puing pasca dilahap si jago merah. Seakan disengaja, kini giliran RT 19 yang menjadi incaran percobaan pembakaran.

Harus diakui, Kelurahan Selumit Pantai merupakan wilayah padat penduduk yang diisi oleh nelayan, pengusaha dan para pedangan.

Sebagian wilayah telah ditimbun oleh tanah dan berubah menjadi kawasan yang tertata, sisanya bangunan tersebut masih berdiri di atas air laut.

Duka dan Trauma Warga Pesisir

Belakangan ini, Kota Tarakan menjadi langganan kebakaran khususnya daerah pesisir. Pasca kebakaran yang menimpa Beringin 4 dan Belakang BRI.

Kebakaran masih menyisahkan duka bagi sejumlah korban kebarakan di RT 20, harta benda dan kenangan telah hangus terbakar. Hal tersebut sungguh dirasakan oleh Yusuf. Tanpa sehelai baju, Yusuf dengan santai duduk diemperan semenisasi, dini hari.

Yusuf memandang puing rumahnya yang rata dengan tanah. Ya, rumah Yusuf ludes terbakar pada Selasa (22/8) lalu.

Ia hanyalah nelayan kecil yang tinggal dan hidup di daerah pesisir. Kini ia harus memulai dari nol untuk membangun rumahnya kembali.

Ia menuturkan, sebelum api menghanguskan puluhan rumah di RT 20 Kelurahan Selumit pantai pada pukul 03.00 WITA. Yusuf kala itu baru saja merehatkan badannya di rumah setelah 10 hari berada di atas laut.

“Pak, Api besar di belakang rumah,’’ Yusuf mengingat kalimat anaknya yang membangunkan tidurnya.

Sontak hal tersebut membuat ia panik dan segera menyelamatkan anak dan istrinya. Titik awal sumber api dengan rumah Yusuf hanya berjarak 10 meter. Tak ada barang-barang yang sempat ia selamatkan saat peristiwa berlangsung. Baginya anak dan istrinya selamat, itu sudah lebih dari cukup.

Ia hanya bisa duduk meringkuk sambil memandang pasrah rumah yang pernah dibangun dengan susah payah.

Akibat kehilangan rumah, Yusuf harus membawa istri dan ke empat anaknya untuk tidur di atas kapal miliknya.

“Bertahun-tahun lamanya saya membangun rumah, hanya butuh waktu dua jam saja untuk menghanguskan semua kenangannya. Allah yang memberi, Allah juga yang mengambil,” kenang Yusuf.

Menurutnya, bantuan pemerintah tidaklah cukup untuk membangun rumah di tengah langka dan mahalnya harga kayu saat ini. Kini, Yusuf harus menambah pengeluaran baru untuk membayar rumah sewa seharga Rp 1 juta perbulan.

“Waktu mamakku masih hidup, dialah yang harus ku bikin bahagia setelah itu baru istriku,” ucap Yusuf yang memiliki tattoo motif batik di lengan dan di badan yang kini tampak pudar.

Siapa sangka, Yusuf yang berwajah sangar dan memiliki tatto merupakan anak yang berbakti kepada orang tua.

“Dari 10 anak yang ku punya, kau lah yang paling berbeda. Sekalipun kau hanya nelayan kecil kau tetap setia merawat aku, bahkan kediamanku pun kau bangunkan,” kenang Yusuf mengingat perkataan mendiang ibunya.

Yusuf merupakan pria keturunan Sulawesi Selatan yang lahir dan besar di Bumi Paguntaka.

Dalam bertutur kata, nada bicara Yusuf terdengar tenang dan sabar. Kesehariannya, Yusuf bekerja layaknya warga pesisir pantai pada umumnya.

Sekali melaut, ia hanya mendapatkan keuntungan sebanyak Rp 1 juta. Hal tersebut belum dipotong ongkos BBM untuk melaut, kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sekolah anak.

Yusuf tumbuh dan besar tanpa sosok seorang bapak. Keadaan tersebut memaksanya untuk hidup mandiri tanpa perlindungan dan kasih sayang seorang bapak.

Ibunya hanyalah seorang buruh cuci warga keturunan Tionghoa. Kondisi ekonomi membuat ia tidak pernah merasakan bangku sekolah.

Disaat seumurannya masih menuntut ilmu di bangku sekolahan. Yusuf sudah berjuang mengadu nasib dengan bekerja serabutan. Otot-otot besar di badan dan tangannya mengambarkan jika ia terbiasa dengan pekerjaan berat.

Yusuf sesekali menyalakan senter yang melekat di kepalanya dan kembali melanjutkan pembicaraannya. Masih terekam jelas di kepalanya, sebuah percakapan bersama mendiang ibunya.

“Mak, aku mau berumah tangga,” kenang Yusuf kepada mendiang almarhumah mamaknya.

Usai menyampaikan keinginannya, Yusuf pun berani memperkenalkan calon pendamping hidupnya kepada sang ibu.

Pada usia 23 tahun, Yusuf sudah memiliki sebuah rumah yang ia beli seharga Rp 500 ribu kala itu. Sembari mengumpulkan hasil tangkapan laut, Yusuf menyicil bahan material guna membangun rumahnya.

Dahulunya, daerah belakang BRI masih dipenuhi dengan hutan mangrove. Masarakat hanya menggunakan jembatan tradisional dengan pancang dari kayu bakau dan hanya menggunakan papan dua lembar dengan lebar 80 cm sebagai jalannya.

“Jembatan masih menggunakan dua papan, jika tidak berhati-hati pasti akan jatuh ke lumpur. Yang penting sampai ke rumah,’’ kenangnya belakang BRI 40 tahun lalu.

Kini ia telah memiliki 4 orang anak. Dua di antaranya lebih memilih bekerja dari pada melanjutkan kuliah, dan dua lainnya masih duduk di bangku kelas 3 SMA dan Kelas 4 SD.

Yusuf menaruh harapan besar kepada kedua anaknya yang masih bersekolah. Ia berkomitmen menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Yusuf rela menggadaikan BPKB sepeda motor hanya untuk membiayai sekolah anak.

“Saya tidak pernah mengeyam pendidikan, kalau ada urusan dengan pemerintah saya selalu ajak anak saya karena saya tidak bisa baca dan tulis,” tuturnya. (*)

Reporter : Okta Balang

Editor: Nicky Saputra 

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2631 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *