Kebijakan Tarif PCR, Memang Selalu Memancing Jelata (Mesti) Suudzon

Oleh : Agus Dian Zakaria

(Jurnalis/Pegiat Literasi)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1212 votes

SEBENARNYA kita patut mengapresiasi atas keikhlasan pemerintah yang (tegas) menurunkan tarif PCR untuk kesekian kalinya. Kebijakan yang Amazing ini, tentu bukanlah gebrakan kali pertama. Kita ketahui bersama, di awal pandemi covid-19 harga PCR sempat menembus angka Rp 900 hingga 1 juta. Dan tertanggal 16 Agustus 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi memperbarui penetapan tarif tertinggi pemeriksaan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Rp495 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali, serta Rp525 ribu untuk luar Pulau Jawa dan Bali. Rasa senang itu berlanjut setelah pemerintah kembali menurunkan HET menjadi 275 hingga 300 ribu rupiah yang berlaku saat ini.

Dengan kebijakan ini, setidaknya akang bakso, abang Siomay, Pakde martabak, abang kontraktor, dan om-om tambang sedikit bernapas legah karena cost untuk mudik, (eh) maksudnya pulang kampung saat akhir tahun dapat diminimalisir.

Pertanyaan yang muncul, mengapa kebijakan penurunan HET Swab PCR selalu diawali masifnya gelombang protes dan kritik masyarakat. Dari pandangan jelata seperti kami, hal ini jelas menimbulkan pertanyaan besar apakah kebijakan harga bergantung kepada persoalan ketersediaan barang, strategi penangganan covid, atau intervensi masyarakat?

Belum klimaks perasaan Suudzon khalayak, Menteri Kesehatan (Menkes), Lord Budi Gunadi mengeluarkan pernyataan yang bisa membuat kita bersorak bangga. Doi menyebut, India mampu menetapkan harga tes PCR-nya hanya Rp160 ribu karena bahan baku dan produksi test kit-nya dibuat di dalam negeri.

Bukannya tidak bersyukur nih Lord. Pertanyaannya, apakah Indonesia yang merupakan salah satu negara terbesar dan memiliki SDM cukup harus terus mengantungkan impor bahan baku dari negara lain. Mungkin pertanyaan ini terkesan cukup negatif dan berpotensi dicap sebagai jelata nyinyir karena tidak melihat dari segi positifnya. Benar, mungkin biaya produksi yang tidak murah serta pemanfaatan tidak dimaksudkan dalam jangka panjang jika melihat kondisi dan situasi. Namun setidaknya, keberanian memproduksi sendiri membuat Indonesia jauh lebih tangguh dan siap menghadapi ancaman pandemi jika kembali terjadi di kemudian hari.

Sementara itu, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo dalam sebuah pemberitaan laman Jawa Pos tertanggal 3 September tahun lalu (2020), kala itu, menyebut ada sebuah Rumah Sakit yang sempat memasang tarif sampai Rp2,5 juta rupiah. Padahal, Satgas Covid-19 kala itu sudah menegaskan jika HET PCR tidak lebih dari Rp500 ribu rupiah.

Nah, karena Statment Pak Doni pada September 2020 menegaskan harga maksimal tes PCR (cuma) Rp500 ribu, kita yang jelata ini kembali berpikir keras, sebab berselang sebulan tepatnya pada 5 Oktober 2020, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Surat Edaran nomor HK. 02.02/I/3713/2020 yang disahkan oleh Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Prof. dr. Abdul Kadir, yang menetapkan HET untuk pemeriksaan RT-PCR termasuk pengambilan swab sebesar Rp.900 ribu rupiah. Batasan tarif tersebut berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan RT-PCR atas permintaan sendiri/mandiri. Hal ini sontak menimbulkan kebingungan, lantaran pernyataan yang berbenturan antara tarif maupun kebijakan penggunaan.

Bukannya tanpa alasan, Abdul Kadir menjelaskan penyebab turunnya harga tes swab PCR lantaran harga-harga komponen alat pemeriksaan seperti reagen, APD, hingga alat sekali pakai sudah mengalami penurunan. Cukup masuk akal, namun rasa-rasanya jawaban itu tetap membuat ada yang mengganjal di benak jelata seperti saya. Tapi mau bagaimana lagi, atas kemaslahatan ummat kita dituntut harus saling mengerti dan memahami sejak dini (hehe).

Abdul Kadir mencontohkan, pelbagai Alat Pelindung Diri (APD), seperti masker, hazmat, sarung tangan yang sebelumnya cukup mahal, sehingga hal tarif Swab PCR kala itu mengacu pada harga APD. Menelaah pernyataan ini, cukup lancang jika kita mengasumsikan Fasilitas Kesehatan (faskes) menganut asas keadilan dalam penerapan harga. Memang benar, tampaknya harga PCR di Indonesia sangat bergantung pada pasaran dunia.

Catatan saja nih, kalau penurunan HET mengikuti harga dan Ketersediaan APD lainnya, mengapa HET yang ditegaskan Doni Monardo lebih murah sebulan setelah HET Rp 900 ribu resmi ditetapkan. Padahal jelas, kala itu harga APD masih tinggi-tingginya. Bahkan tidak sedikit, masyarakat yang mencurahkan kekesalannya lantaran adanya aktivitas penimbunan APD oleh beberapa pelaku usaha untuk mendapat keuntungan melimpah.

Menurunnya tarif PCR wajib diapresiasi, namun yang jadi pertanyaan, Masa iya Doni Monardo keliru menyebut nominal di tahun lalu, atau malah sebaliknya. Bagaimana masyarakat dapat mempercayai indikator penyebab penetapan tarif sementara klarifikasi dan fakta berjalan tidak searah.

Adalah hal yang wajar jika khalayak merespon kebijakan ini dengan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya sedang terjadi dan mengapa penurunan harga selalu diawali sikap plin-plan yang terganggu atas respon masyarakat.

Kita juga sudah menyaksikan bersama bagaimana gelombang kritik membuat negara pusing tujuh keliling. Itu baru membahas soal harga PCR saja, belum lagi soal kebijakan penggunaan yang dinilai lucu-lucu sedap.

Masih ingat, pada 24 Oktober lalu pemerintah mengeluarkan aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat saja, namun tidak berlaku pada angkutan darat seperti transportasi darat seperti bus, kereta, dan lainnya. Diskrimasi aturan ini membuat sekelas mantan menteri kece seperti Ibu Kita Susi Pudjiastuti angkat bicara. Bahkan, hal itu juga melahirkan seruan dari warganet agar syarat tes PCR dihapuskan. Warganet +62 ini memang lancang.

Saya yang jelata mulai berpikir lagi, jika syarat perjalanan udara tidak berubah, apa mungkin harga PCR saat ini dan sebelumnya masih sama. Tentu saja berat, bertahan dari bacotan dan serangan hastagh masyarakat.

Semua memahami, sulit mencegah masyarakat untuk tidak bepergian di masa pandemi, namun sekali lagi tuntutan ekonomi membuat masyarakat dihadapkan pilihan yang sulit. Sungguh tidak elok rasanya, momentum ini termanfaatkan untuk menghasilkan cuan.

Dalam situasi pandemi, tidak seharusnya birokrasi menjelma menjadi Korporasi. Alih-alih menanggani pendemi, pencegahan terkesan membebani dan akhirnya memaksa masyarakat bersikap anti Hierarki.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *