Politik Identitas, Warisan Perpecahan untuk Anak-Cucu Kita

Oleh : Agus Dian Zakaria Jurnalis dan pegiat Literasi Kaltara

“Kalau bukan orang Jawa mana bisa jadi presiden”, “Jangan pilih capres dari keturunan Yaman”, “Jangan pilih calon pemimpin Kafir”, “Dia itu Keturunan Cina mana bisa menang”, “Calon pemimpin harus orang Islam”, “Kita pilih dia karena seiman”. Tulisan ini saya awali dengan menukil beberapa celotehan masyarakat yang kerap terdengar di tengah pembahasan politik baik di jalan, warung kopi, pelabuhan, warteg, pangakalan ojek, pasar, pangkas rambut, dan berbagai ruang sosial lainnya. Tentu kalimat ini terdengar sensitif dan provokatif. Meski pahit, namun tak bisa dipungkiri nada sumbang hasil doktrin Politik Identitas ini telah melekat dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia merupakan bangsa yang tumbuh dari berbagai keanekaragaman suku, agama, Ras dan golongan. Keberagaman yang dimiliki Indonesia menjadi simbol kekayaan sekaligus pembeda yang mengesankan betapa negeri kita amat spesial di planet ini. Tidak berlebihan, jika dunia melihat Indonesia sebagai negara yang unik, lantaran berhasil menyatukan berbagai bangsa dan Kerajaan dalam sebuah komunitas besar bernama negara.

Keberagaman dalam persatuan bangsa Indonesia tidak hadir secara instan, keberagaman itu dipupuk sejak lama dari berbagai peristiwa yang melahirkan kebanggan terhadap entitas dan identitas pada masyarakatnya. Rakyat Indonesia sejak lampau dikenal sebagai bangsa yang menjunjung kultur-budaya sebagai identitasnya. Kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap identitas secara emosional melahirkan fanatisme dan militansi pada sebagian kelompok masyarakat. Namun begitu, fanatisme dan militansi terkadang menjadi pisau bermata dua yang dapat menjadi berkah maupun prahara. Terbentuknya Indonesia dari penyatuan berbagai identitas yang diikat sebuah sistem negara, dapat dianggap cukup berhasil lantaran menciptakan solidaritas dan jiwa nasionalis bagi rakyatnya. Namun harus diakui, dalam perjalanannya upaya pemerintah tak jarang dihadapkan oleh tantangan persoalan sosial dan politik yang kompleks pada isu identitas yang cukup potensial melahirkan konflik horizontal.

Menjelang pemilu 2024, kita dapat melihat bayang-bayang politik identitas mulai terasa. Berbagai narasi berbau politik identitas mulai digaungkan baik secara langsung maupun di laman media sosial, mulai dari adanya julukan calon presiden dari Yaman, capres yang dijuluki sebagai representasi orang Jawa, bahkan isu adanya dukungan pengusaha Tionghoa pada salah satu kandidat Bakal Calon Presiden (Bacapres) tertentu. Hal itu hanya segelintir isu dari sekian banyak narasi “berbau” politik identitas menjelang pemilu 2024. Kita semua menyadari bahwa memainkan strategi politik identitas masih dianggap jurus efektif dalam memenangkan kontestasi. Sebagian orang pun sepakat jika Politik identitas dianggap strategi yang mudah dan murah serta mampu meraup suara sekaligus menjatuhkan lawan politik yang memiliki latar belakang berbeda. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua, tiga pulau terlewati. Mungkin pepatah itu yang menggambarkan ekspektasi pelaku “Poltik Identitas”. Meski demikian, hal tersebut tak selalu berbanding lurus dengan harapan.

Berkaca dari Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 lalu, kita menyadari kentalnya strategi politik identitas bermain. Pada Pilkada DKI Jakarta, pasangan Anies-Sandi sukses memenangkan kontestasi meski hal tersebut dianggap buah dari “memainkan” politik identitas. Setali tiga uang (pribahasa), rupanya Pilkada DKI Jakarta berhasil menginspirasi pelaku politik dan akhirnya strategi politik identitas kembali dinyalakan pada Pilpres 2019. Namun sayang, narasi identitas yang dibuat sangat kontras tak mampu mendulang kesuksesan untuk kedua kalinya. Pun begitu, kegagalan strategi politik identitas pada Pilpres 2019, tidak membuat “Politik Identitas” Sepi peminat. Seiring waktu berlalu, isu politik identitas justru semakin marak dan masif bahkan hingga pelosok daerah.

Di daerah-daerah tertentu kita dengan mudah menemukan Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) yang menggunakan embel identitas tertentu. Misalnya latar belakang paguyuban, organisasi, agama, bahkan berpenampilan dengan memakai atribut khas daerah saat tampil di publik dengan maksud menyampaikan identitasnya. Tentu hal tersebut bukan suatu yang dilarang, namun alangkah baiknya jika figur yang tampil dalam gawean politik dapat memakai pakaian formal mewakili semua kalangan.

Harus diakui, politik identitas tidak dapat terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Presiden Ir Soekarno dahulu pernah memproklamirkan politik identitas dengan maksud membangun kemajemukan. 78 tahun lalu tepatnya pada 1 Juni 1945, Bung Karno pernah berbicara di hadapan forum Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mengisyaratkan pentingnya politik identitas untuk mencapai tujuan bersama. Ia mengatakan, “Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam”

Ia dengan lantang menganjurkan agar setiap identitas wajib memperjuangkan kaumnya dalam politik untuk mendapatkan keadilan pada hak-haknya. “Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen, itu adil,”ungkap Bung Karno.

Walau begitu, ungkapan Bung Karno kala itu, dianggap sebagai upaya membangkitkan semangat rakyat Indonesia yang baru akan memulai peradaban baru pasca kemerdekaan. Namun rasa-rasanya pesan tersebut sudah tak relevan digunakan pada agenda politik di masa kini. Alasannya tak lain dan tak bukan ialah perkembangan zaman yang menyebabkan pola pikir masyarat dan kondisi politik hari ini telah mengalami banyak perkembangan dan inovasi yang jauh berbeda dari masa lampau. Pun demikian, bangsa kita telah melalui beberapa pengalaman kelam dari fanatisme dan emosional yang berakar dari kampanye identitas.

Beberapa catatan kelam yang lahir dari Konflik SARA yang mencoreng perjalanan bangsa Indonesia. Sebut saja peristiwa kerusuhan Poso 1998, Kerusuhan Sambas 1999, kerusuhan Ambon 1999, kerusuhan Sampit 2001, Kerusuhan Tarakan 2010. Meski beberapa konflik dari isu SARA pernah tersulut, namun hal itu dapat tertangani meski dalam upaya tidak mudah.

Semua menyadari kondusifitas bukanlah hal abadi dalam peradaban. Selalu ada faktor yang menjadi potensi konflik, kapan pun dan di mana pun. Amat mungkin salah satunya disebabkan oleh politik Identitas. Dalam beberapa dekade kontestasi pemilu, tidak sedikit figur politik memanfaatkan ikatan emosional dalam Identitas untuk meraup suara maksimal. Meski terlihat lazim, namun solidaritas yang terbangun tak jarang melahirkan sentimentil antar kelompok yang berangkat dari fanatisme itu sendiri. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran terciptanya konflik horizontal yang laten.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan. Pengertian politik juga dikenal sebagai segala urusan dan tindakan, mencakup kebijakan, siasat, dan sebagainya terkait dengan pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Adapun identitas dalam KBBI diartikan sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus jati diri seseorang atau kelompok. Lantas apa dan bagaimana Politik Identitas bekerja hingga dianggap berbahaya?

Achmad Fachrudin dalam buku bejudul Konflik Politik Identitas, politik identitas ialah aliran politik yang melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti suku, agama, etnisitas, gender, dan jenis kelaminnya.

Politik identitas juga bisa dimaknai sebagai aktivitas yang menjadikan identitas, baik agama, etnis, kebudayaan maupun bahasa, sebagai metode atau strategi guna memperoleh suatu kekuasaan tertentu.

Jika melihat dari pandangan Guru Besar Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof Dr M Arskal Salim GP menyebutkan politik identitas ialah aksi-aksi yang bergerak untuk meraih tujuan politik tertentu dengan mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama. Umumnya, politik identitas dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem.

Bercermin dari sejarah, meski fenomena politik identitas diperkirakan sudah ada sejak sebelum perang Dunia Kedua, namun lahirnya istilah “politik identitas” sendiri pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit hitam Amerika Serikat Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Politik identitas lahir dari kebutuhan untuk membentuk gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton daripada nilai strategis perbedaan. Sederhananya, politik identitas ialah orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka. Kelompok kulit hitam di Amerika Serikat yang saat itu merasa kerap dinomorduakan, membuat kelompok tersebut harus memperjuangkan hak-hak dengan membangun kekuatan.

Catatan sejarah politik identitas sejatinya merupakan misi melawan ketidakadilan atas deskriminasi terhadap ras, kelas, gender, etnisitas dan kelompok minoritas sosial lainnya. Namun, di era politik modern, politik identitas bukan hanya sebuah alat perjuangan, namun merupakan wadah menjadi alat perebutan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Politik Identitas pun tak mustahil digunakan untuk mendiskreditkan kelompok atau kaum tertentu dalam melampiaskan hasrat sentimentil. Setidaknya beberapa peristiwa akibat dugaan penyalahgunaan politik Identitas pernah terjadi di belahan dunia.

Di India, kita pasti pernah mendengar konflik muslim dan Hindu di Delhi yang puncaknya meletus pada 2020 lalu. Kerusuhan bermula dari unjuk rasa kaum muslim yang memprotes Amendemen Undang-Undang Kewarganegaraan yang kental nuansa anti-Islam.

Di Myanmar kita mengetahui adanya Diskriminasi dan peristiwa pembantaian etnis Rohingnya yang didasari sentimentil kepentingan politik yang terjadi sejak tahun 1942 hingga 2019 silam. Lalu di Swedia adanya seorang politisi anti-imigran yang membakar salinan Alquran di dekat Kedutaan Besar Turki di kota Stockholm untuk meraup simpati masyarakat anti Islam.

Politisi tersebut ialah Rasmus Paludan yang merupakan pemimpin partai Stram Kurs (Garis Keras) sayap kanan Denmark. Di Jerman kita mengingat pembantaian umat Yahudi yang dilakukan Partai Nazi sebagai tindakan gerakan politik antisemitisme. Partai Nazi memanfaatkan kekuasaannya untuk menyasar dan menyingkirkan orang Yahudi dari masyarakat Jerman. Di antara tindakan antisemitisme lainnya, rezim Nazi Jerman memberlakukan undang-undang diskriminatif dan kekerasan terorganisasi yang menyasar kaum Yahudi Jerman.

Bahkan di Indonesia, kita kerap menjumpai peristiwa pencegahan bahkan pelarangan pembangunan gereja dengan alasan tertentu yang dibungkus dalih regulasi. Tentu hal tersebut mustahil terjadi jika Indonesia bukanlah negara berpenduduk mayoritas muslim.

Sebenarnya, tidak sedikit perangkat pemerintah yang telah mewanti para figur agar tidak bermain-main dengan strategi politik identitas. Namun nampaknya hal masih dianggap sepeleh oleh keterbatasan kerangka berpikir pada figur tertentu. Politik identitas bak mata pedang yang bisa menjadi marketing yang efektif namun bisa menjadi ancaman nyata jika sang politkus kebablasan menggunakannya,

Penulis sepakat jika ada yang beranggapan jika Politik Identiitas bisa dianggap wajar dalam mengelolanya. Benar demikian jika gaya kampanye figur hanya sebatas memperkenalkan asal-usul saja. Namun jika figur terlalu mencolok membawa misi-visi tertentu bagi kelompoknya, maka hal ini tentu saja berpotensi melahirkan sentimentil antar kelompok dan menciptakan demokrasi yang tidak sehat.

Menurut Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro, politik identitas yang destruktif dan politisasi agama merupakan bahaya yang perlu diwaspadai bersama, terutama menjelang momentum politik. Sebab, politik identitas dan politisasi agama dapat menjadi akselerator bagi rontoknya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horizontal berkepanjangan

Kita mengetahui bersama jika politik memegang peranan penting dalam role kehidupan. Politik ialah alat dari segala hajat sosial khalayak, mulai dari urusan sandang, papan, pangan, hutang bahkan urusan ranjang. Tidak sepenuhnya benar, jika kita beranggapan semua bentuk politik Identitas bersifat negatif.

Namun yang perlu digaris bawahi, ialah kecenderungan politik Identitas yang kerap menghasilkan eksklusifitas dan privilege kaum tertentu. Ibarat api dalam sekam, konflik SARA bisa terjadi kapan saja dan di mana saja jika pemerintah tak tegas mencegah liarnya politik identitas.

Jika politik identitas selalu dianggap wajar, bukan tidak mungkin anak-cucu kita hanya mewarisi kebencian dan kecemburuan sosial, yang akhirnya membawa bangsa kita menuju gerbang perpecahan. Sepertinya ini terlihat terlalu jauh, untuk orang yang masih berfokus pada kepentingan hari ini.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2620 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *