Dari Labeling hingga Bullying: Mengeksplorasi Dinamika Sosial dalam Pendidikan

Penulis: Wiliah, S. Pd.

PENDIDIKAN diharapkan menjadi panggung utama bagi pertumbuhan dan perkembangan setiap individu. Di dalam lingkungan pendidikan, peserta didik harus mendapatkan dukungan, bimbingan, dan kesempatan untuk berkembang secara optimal. Sayangnya, dalam realitas yang kompleks, kita sering dihadapkan pada tantangan besar. Salah satunya adalah masalah perilaku bullying atau perundungan yang marak terjadi di sekolah. Bullying bukan hanya merupakan masalah antar pribadi, tetapi juga mencerminkan keadaan sistemik dan budaya di dalam lembaga pendidikan.

Salah satu budaya yang marak terjadi dalam lembaga pendidikan adalah labeling. Secara umum labeling dapat diartikan sebagai identitas yang diberikan lingkungan berdasarkan ciri atau perilaku yang ditampilkan dalam hubungan sosialnya. Teori labeling berkembang dari sebuah teori sosiologi yaitu sociology of deviance yang dibuat oleh Howard Becker. Dalam konteks pendidikan, siswa menjadi pihak yang sering diberi julukan.

Labeling pada siswa adalah pemberian julukan, cap, atau label terkait dengan kemampuan, potensi atau perilakunya. Dalam buku Deviance in Classrooms yang ditulis oleh Hargreaves, Hester, dan Mellor, menjelaskan bahwa proses labeling pada siswa bermula pada guru yang membuat spekulasi berdasarkan kesan pertama yang diperolehnya melalui penampilan, kemampuan, dan antusiasme siswa serta relasinya dengan teman-teman sekelasnya. Dari hal tersebut memunculkan persepsi yang seiring waktu akan terbukti atau terbantahkan. Pada akhirnya, muncullah label terhadap siswa.

Pemberian label pada siswa sebenarnya bisa bermakna positif atau negatif. Dengan memberikan label positif pada siswa, maka sebenarnya guru telah mendorong siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai yang juga positif. Saat guru memberikan label positif seperti “Si A jago matematika” maka siswa yang bersangkutan bisa menjadi lebih bersemangat dan prestasinya meningkat. Namun, guru juga harus berhati-hati agar label yang diberikan tidak membatasi potensi anak untuk berkembang di bidang yang lain. Jangan sampai label yang diberikan justru menutup harapan siswa untuk mencoba minat, kegiatan dan hal-hal baru.

Sebaliknya, pemberian label juga dapat menjadi kontraproduktif dan membentuk perilaku menyimpang jika diberi label negatif. Siswa yang dijuluki “bodoh” oleh guru, bisa menjadi bahan olok-olokan siswa lainnya. Akibatnya, siswa tersebut akan menjaga jarak dengan teman- temannya dan jika menghadapi kesulitan akan menutup diri dan merasa tidak percaya diri.

Lebih parahnya, siswa tersebut akan meyakini bahwa dirinya memang bodoh, merasa tidak berdaya dan berputus asa untuk terus berusaha mengembangkan potensi dirinya. Siswa yang mendapat label seperti jelek, bodoh, pemalas, rajin, pintar atau cantik di sekolah secara tidak langsung menjelaskan identitas diri seseorang membuat siswa yang mendapatkan label seperti ini terdorong untuk menyesuaikan diri dengan label tersebut atau mengalihkan dirinya sesuai label yang diterima
Penting untuk diingat bahwa bullying bukan hanya gejala yang terjadi secara spontan, melainkan perilaku berulang yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan.

Bullying terjadi dalam berbagai konteks, karena dapat terjadi di dalam keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, dalam masyarakat, termasuk dalam lingkup satuan pendidikan. Dalam banyak kasus, lingkungan sekolah yang mendukung atau bahkan memicu perilaku bullying dapat memiliki akar yang mendalam dalam kebiasaan guru memberi label kepada siswa. Hal tersebut menepis anggapan bahwa sekolah merupakan tempat yang aman dan bebas dari kekerasan, karena kekerasan justru seringkali terjadi dengan melibatkan aktor-aktor di sekolah.

Dengan memahami jenis-jenis bullying, perilaku bullying dalam konteks pendidikan, dan analisis mendalam kebiasaan guru memberi label, kita telah menyaksikan betapa kompleksnya interaksi sosial di dalam kelas dan koridor sekolah. Studi kasus konkret seperti yang disampaikan diatas memperlihatkan dampak nyata dari labeling terhadap prestasi dan perilaku siswa, membawa kita untuk lebih memahami kerentanan dan kompleksitas dunia psikologis siswa yang diberi label.

Namun, kita tidak boleh hanya merinci masalah tanpa menawarkan solusi yang konkrit. Strategi lembaga pendidikan, sebagaimana dibahas dalam bagian terakhir, memberikan panduan bagi pendekatan yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan ini. Penguatan kompetensi guru, pendidikan anti-bullying dan pembentukan budaya sekolah yang positif adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk merespons dan mencegah praktik kebiasaan guru memberi label yang dapat memicu perilaku bullying. Sebagai pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan, kita memiliki tanggung jawab bersama untuk membentuk lingkungan belajar yang adil, inklusif, dan memajukan potensi setiap siswa. Langkah-langkah konkret dan komitmen untuk mendukung pertumbuhan positif siswa adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga membentuk karakter, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Melalui pemahaman mendalam tentang masalah bullying dan implementasi strategi yang efektif, kita dapat bersama-sama merintis jalan menuju sekolah-sekolah yang menjadi tempat di mana setiap siswa dapat tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut, meraih potensi mereka secara penuh, dan menjadi kontributor positif untuk masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, kita mewariskan warisan pendidikan yang membentuk individu dan membangun fondasi bagi masa depan yang lebih baik.(**)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2374 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *