Menakar Co-firing di Teluk Balikpapan

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dinilai masih sangat dibutuhkan di dalam penyediaan listrik nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi listrik yang dihasilkan dari PLTU mempunyai biaya pembangkitan lebih rendah dibandingkan teknologi lainnya, terutama teknologi energi terbarukan yakni co-firing.

Oleh: Yogi Wibawa

INDONESIA mempunyai sasaran kebijakan energi nasional untuk mencapai pemanfaatan energi baru terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi primer nasionalnya pada tahun 2025, dan sebesar 31 persen pada tahun 2050. Sasaran ini juga mulai digeliatkan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Menyandang sebagai salah satu pembangkit listrik terbesar di pulau Kalimantan. PLTU PLN Nusantara Power Up Kaltim Teluk Balikpapan memiliki kapasitas terpasang 2×110 megawatt yang digunakan menyuplai kebutuhan listrik di sub sistem Mahakam, salah satunya Kota Balikpapan. Bahkan PLTU Teluk Balikpapan menargetkan co-firing biomassa sebesar 3 persen pada akhir tahun 2023 ini.

Asisten Manajer Operasi PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkitan Kaltim Teluk, Balikpapan, Didik Laksono, mengungkapkan, sejak tahun 2022 hingga saat ini ada dua sumber biomassa sebagai penyuplai ke PLTU. Yaitu PT Teluk Borneo Nusantara atau TPAS Manggar sebanyak 400 ton dan PT AW Technology sebanyak 850 ton woodchip.

Konsumsi rata-rata bahan bakar yang digunakan PLTU Teluk Balikpapan mencapai 140 ton batubara per jam dan saat ini menggunakan dapat menggunakan biomassa sebagai bahan bakar co-firing. PLTU yang memiliki luasan lahan kurang lebih 58,8 hektare ini dapat menyuplai 35 persen pemenuhan listrik di sistem Mahakam dan 17 persen di sistem interkoneksi Kalimantan. Daya yang dihasilkan juga telah mencapai 1171,53 megawatt dengan beban Kaltim 519,10 megawatt atau masih surplus sekitar 652,43 megawatt.

“Jadi memang betul kami sub holding ini berkewajiban untuk memenuhi net zero emession,” ujar Didik Laksono, Rabu (6/9/2023).

PAPARAN: Asisten Manajer Operasi PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkitan Kaltim Teluk, Balikpapan, Didik Laksono (kiri) bersama Kepala Bidang (Kabid) EBT dan Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim, Elly Luchritia Nova (kanan) saat melakukan paparan co-firing di hadapan peserta Jelajah Energi Kaltim 2023. (FOTO: YOGI WIBAWA/BENUANTA)

Latarbelakang yang mendasari penerapan co-firing di PLTU tersebut yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022. Di mana PLTU diwajibkan melakukan transaksi karbon.

“Kita sumbangsih bauran energi nasional untuk Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui co-firing. Potensi energi terbarukan cukup besar sebenarnya untuk co-firing ini jika di-mapping, dan pemanfaatannya masih rendah yaitu 8.215,5 megawatt,” jelasnya.

Perlu diketahui, pada prosesnya energi biomassa yang disuplai ke PT PLN Nusantara Teluk Balikpapan dikumpulkan dan dicampur dengan batu bara murni. Rasionya 3 persen energi biomassa dan 97 persen batu bara. Diaduk dan dicampur lalu dikirim ke bunker untuk dibakar dalam boiler dan menjadi bahan bakar PLTU.

Berdasarkan data yang dihimpun benuanta.co.id, co-firing PLTU Teluk Balikpapan menggunakan energi biomassa dengan durasi 4 jam, PLTU menggunakan total batu bara 280 ton dicampur woodchip sebanyak 14,5 ton. Melalui subtitusi ini berhasil menghasilkan beban sebesar 100 megawatt.

Sementara itu muncul kendala yang dihadapi dalam menerapkan co-firing di PLTU. Mulai dari ketersediaan biomassa di sekitar PLTU Teluk Balikpapan sedikit. Macam biomassa tidak feasible untuk digunakan dari segi kelayakan finansial dan operasional. Termasuk kurangnya komitmen pemasok dalam pengiriman biomassa yang sering terlambat dan tidak sesuai nominasi.

“Jadi kita ada action step dalam mengatasi kendala ini. Pertama sudah mengajukan kontrak baru dengan PLN EPI. Kedua sudah terdapat hasil analisa biomassa baru yaitu Sorgum, tandan sawit dan sawdust. Ketiga kita sudah komunikasi dan penekanan untuk kesanggupan mitra dari pemasok akan pasokan biomass ke PLTU,” tandas Didik Laksono.

Limbah Penyuplai Co-Firing

Skema co-firing biomassa yaitu mencampur biomassa dengan batu bara, sehingga penggunaan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik dapat dikurangi secara berkelanjutan. Co-firing memanfaatkan biomassa dari limbah pertanian, perkebunan, dan industri pengolahan kayu sebagai pendamping batu bara dalam operasional PLTU.

Untuk dapat dimanfaatkan dalam skema co-firing di PLTU, bahan biomassa seperti sampah harus diolah terlebih dahulu. Saat ini, bentuk akhir biomassa yang siap digunakan adalah serupa pelet ikan dan woodchip atau cacahan kayu dari suplai TPAS Manggar, Balikpapan.

Kepala UPTD TPAS Manggar, Muhammad Hariyanto, menjelaskan, kerjasama dalam menyuplai pelet dan woodchip untuk co-firing PLTU sudah berlangsung sejak Juni 2022 lalu.

“Untuk produksi kita 5 sampai 10 ton woodchip dan pelet untuk PLN setiap bulannya. Walaupun memang, PLN ada permintaan yang lebih besar dari itu,” ungkap Hariyanto.

BAHAN BAKU: Pengolahaan woodchip dari TPAS Manggar sebelum disuplai menjadi bahan bakar co-firing di PLTU. (FOTO: YOGI WIBAWA/BENUANTA)

Bahan baku yang diolah menjadi pelet dan woodchip umumnya berasal dari sampah kayu dan hasil pangkasan pohon. Namun semua sampah pangkasan pohon juga tidak diolah sekaligus, melainkan bertahap setiap harinya.

Dalam pembuatan woodchip juga cukup sederhana. Petugas pengelola dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan bisa langsung memasukan limbah kayu ke dalam mesin pencacah yang mampu mencacah 800 hingga 1.000 kilogram per jam. Hasilnya limbah kayu akan menjadi lembaran-lembaran kecil cacahan yang siap dijadikan bahan bakar co-firing.

Sementara itu pembuatan pelet sedikit lebih rumit. Mulai dari sampah ranting pohon dilakukan peuyeumisasi atau biodrying kurang lebih selama 7 hari. Dilanjutkan dengan panen bendengan dan pengangin-anginan, pencacahan lalu semua bahan dimasukkan ke dalam mesin khusus dengan hasil akhir mencetak pelet atau bahan bakar jumputan padat (BBJP).

BBJP: Bentuk pelet atau Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) yang diproduksi TPAS Manggar untuk bahan bakar co-firing PLTU Teluk Balikpapan. (FOTO: YOGI WIBAWA/BENUANTA)

Adanya kerja sama co-firing tersebut limbah sampah dibayar Rp 400 per kilogram atau jika dikalkulasikan TPAS Manggar dapat meraup keuntungan hingga Rp 4 juta per bulan yang masuk dalam kas daerah.

Masa Depan Co-firing

Kendati TPAS Manggar hingga kini masih menyuplai woodchip dan pelet sebagai bahan bakar co-firing. Namun berhembus kencang TPAS Manggar bakal berhenti beroperasi di tahun 2026. Artinya salah satu distribusi woodchip kepada PLTU Teluk Balikpapan juga akan berkurang dan menyebabkan menurunnya target penerapan co-firing sebagai bahan bakar.

Persoalan ini juga memantik perhatian Dinas ESDM Kaltim. Bahkan Kepala Bidang (Kabid) EBT dan Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim Elly Luchritia Nova, menyampaikan perlu membahas lebih dalam terkait restorasi kawasan untuk menyiapkan bahan baku di luar daripada batubara.

“Mau tidak mau kita harus menyiapkan lahan, tetapi dalam praktiknya memang kesulitan. Seperti studi kasus yang di TPAS Manggar ini untuk mengetahui kayu jenis apa yang memiliki kualitas pembakaran yang baik. Saya pikir di lain waktu kita akan membahas ini dengan PLN,” kata Elly Luchritia Nova.

Meski demikian, Pemprov Kaltim sendiri tidak begitu khawatir masa depan co-firing dari woodchip sebagai bahan bakar PLTU akan berhenti disuplai. Sebab, kata Nova, pemerintah tengah gencar melakukan pemasangan PLTS yang tersebar hingga di daerah pelosok.

“PLN sendiri kebijakan dari pusat itu, tahun ini dan tahun depan mereka sudah harus memasang PLTS yang susah dijangkau oleh mereka,” tuturnya.

Memang, masa depan Co-firing di PLTU Teluk Balikpapan ini cukup menyita perhatian. Serupa Institute for Essential Services Reform (IESR). Analis Senior IESR, Raditya Wiranegara di sela-sela kunjungan ke PLTU Teluk Balikpapan dalam program bertajuk ‘Jelajah Energi Kaltim 2023’ yang berkolaborasi dengan CASE dan Dinas ESDM Kaltim menuturkan, mendukung operasi co-firing di PLTU Teluk Balikpapan, PLN menjalin kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan untuk penyediaan BBJP dari sampah dan woodchip dari limbah kayu yang bersumber dari TPAS Manggar.

PLTU: Potret PLTU PLN Nusantara Power Up Kaltim Teluk Balikpapan dari kejauhan. (FOTO: YOGI WIBAWA/BENUANTA)

Rasio co-firing yang direncanakan sejauh ini baru 5 persen. Dengan teknologi tungku bakar yang digunakan di PLTU ini, yaitu Circulating Fluidised Bed (CFB). Menurut Raditya, sebetulnya masih memungkinkan untuk ditingkatkan rasionya, paling tidak hingga 20 persen berdasarkan pengalaman dari penggunaan tungku bakar yang sama di pembangkit listrik milik Cikarang Listrindo, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

“Keberlanjutan suplai merupakan tantangan utama dari operasi ini. TPAS Manggar dijadwalkan berakhir masa beroperasinya pada tahun 2026. Oleh karena itu, PLN perlu merencanakan bagaimana akan memastikan keberlanjutan dari suplai bahan bakar ke depannya setelah TPAS Manggar ditutup, baik itu dengan mengambangkan hutan tanaman energi maupun dengan pemanfaatan limbah lainnya, seperti limbah dari perkebunan sawit,” tutur Raditya Wiranegara.

“Selain itu, rencana ini juga mesti menargetkan peningkatkan rasio co-firing sehingga emisi yang dihasilkan dapat berkurang lebih banyak lagi, tentunya dalam rangka transisi menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan,” tutupnya. (*/gio)

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2670 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *