Gelombang Golput 2024 Bakal Luput?

GOLPUT istilah yang naik daun jelang kontestasi politik. Seraya tak pernah absen, golput yang disingkat dari golongan putih adalah sikap apatis, cuek, atau tidak cawe-cawe dengan keadaan politik.

Istilah ini tampaknya masih menghiasi basis kalangan tertentu, pemilih muda dan pemula. Kendati upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus digalakkan untuk menarik perhatian para generasi muda namun masih ada juga yang tidak mau tahu tentang demokrasi negara sendiri.

Basis pemilih pemula dan muda terbagi menjadi dua. Generasi z (gen z) yang berada pada rentang usia 17-24 tahun, sedangkan generasi Y berada pada umur 25-39 tahun.

Seperti yang diungkapkan Ferdian, mahasiswa semester III ini baru saja menginjak usia 19 tahun. Artinya, momen 2024 nanti adalah perdana dirinya harus menentukan pilihan legislatif maupun eksekutif idamannya. Meski begitu, ia belum tahu kemana arah tujuan suaranya akan berlabuh.

Ia mengaku mengetahui beberapa politisi yang menghiasi layar handphonenya untuk maju sebagai calon presiden (capres) seperti, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Bukannya buta tuli, ia masih ragu dan masih ingin melihat pemetaan program ketiganya ke depan.

“Sebenarnya saya tahu saja. Tapi saya belum lihat prospek yang baik dari ketiganya sih,” katanya.

Di usia belianya Ferdian tak mau salah pilih. Meskipun ia dibayang-bayangi oleh sikap tidak mau tau politik.

“Berpolitik itu menurut saya rumit. Karena ya saat ini semakin kompleks, belum lagi calon legislatifnya. Banyak kalangan terjun langsung dengan visi misi yang masih abu-abu,” sambungnya.

Berbeda dengan Agus (24) yang baru saja menyandang gelar sarjana pendidikan tentu memiliki suara penuh dalam menunjang angka basis pemilih pemula. Pada pemilihan umum (Pemilu) 2019 lalu, dirinya menyempatkan hadir datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Meski masih meraba lantaran perdana memilih, ia memantapkan diri melayangkan alat coblos dan melubangi kertas suara.

Saat mendatangi TPS, Agus mengakui minimnya literasi dirinya soal politik, apalagi caleg. Namun, itu mampu ditepisnya lantaran dirinya sempat melihat beberapa baliho caleg di sepanjang jalan yang unjuk gigi.

“2019 saya tidak tahu dan malas juga mencari tahu. Waktu itu saya sibuk belajar saja. Saat saya kuliah juga tidak terlalu intens membahas soal politik. Tapi saya mencoblos dan tidak golput,” tegasnya.

Menurutnya, golput bukanlah suatu hal yang buruk. Namun, versi politik di Indonesia, memilih saat pemilu adalah hak bagi setiap orang. Bukan kewajiban. Artinya, setiap orang berhak menentukan suaranya untuk politisi. Hal itulah yang mendasari jika golput itu boleh-boleh saja.

Sebagai generasi Z, Agus berpandangan kaum muda penting untuk terjun ke politik. Asal, politik yang digaungkan mampu merubah rezim dinamika politik yang lebih baik dan tidak kotor. Kotor yang dimaksud Agus seperti memaksa dengan iming-iming sejumlah uang (money politik).

“Itu bagi orang yang bisa dibeli saja suaranya. Tidak munafik, semua orang butuh uang. Tapi sistematika politik ke depan itu jadi taruhannya,” imbuhnya.

Pada generasi milenial tidak adanya tawaran atau janji politik yang dilontarkan oleh caleg maupun capres terhadap generasi milineal menjadi salah satu alasan untuk apatis terhadap pemilu, sehingga memilih menjadi golput saja. Bahkan tidak ada figur yang diinginkan atau sesuai dengan selera dari generasi milineal juga menjadi alasan agar golput saja dari pemilu.

“Parpol tentunya dinilai gagal. Karena tidak bisa menawarkan janji politik yang diinginkan generasi milineal dan membuat memilih agar tetap golput. Bahkan sudah tidak bisa memenuhi janji politik sebelumnya kemudian kembali mencalonkan diri ke pileg atau pilres, jadi salah satu alasan apatis terhadap pesta demokrasi. Lebih baik tidak memilih kalau peserta pemilu nya tetap seperti yang lalu-lalu,” beber David (30).

Muak dan bosan menjadi alasan David dalam mengidentifikasi golput dikalangan pemuda maupun milenial. Terlebih janji-janji politik yang itu-itu saja dan tidak terealisasi.

Sementara itu, Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.

Pada Pemilu 2024, pemilih yang terdaftar didominasi oleh pemilih muda. Berdasarkan data KPU, terdapat 56,4 persen pemilih muda dapat pemilu 2024, yang artinya sudah melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Kalimantan Utara (Kaltara) yang merupakan provinsi baru juga tak mau absen untuk menekan angka apatis pemilih. Komisioner KPU Kaltara, Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia (SDM) KPU Kaltara, Hariyadi Hamid memetakan sejumlah faktor mengapa golput dapat terjadi. Kategori utama golput adalah tidak datang ke TPS untuk mencoblos. Variasi sebab dan alasannya juga telah dipelajari pihaknya seperti tidak memilih karena sakit, di luar daerah atau tidak memiliki akses memilih. Kendati begitu, ketidakmauan memilih lah yang masuk ke dalam indikasi golput.

Sejauh ini, belum ada data pasti mengenai jumlah golput di Kaltara. Tetapi jika melihat dari angka peserta pemilu yang datang ke TPS kemudian dikurangi total pemilih, pada 2019 berada diangka 79 persen. Artinya terdapat kisaran 11 persen yang absen ke TPS yang di dalamnya kalangan golput.

“Mendeteksinya (golput) itu susah. Karena harus kita tahu sebab-sebabnya. Kemudian kenapa tidak mau datang memilih. Tapi kalau gerakan ada beberapa lah yang menyatakan untuk tidak memilih,” bebernya.

Tidak ada calon yang disukai adalah satu dari sekian alasan golput yang ditemui oleh KPU Kaltara. Menurut Hariadi, gerakan golput ini ada yang terorganisir ada juga yang tak terorganisir. Adapun beberapa orang yang terorganisir tak banyak, inilah yang kemudian dianggap perlu diberikan pencerahan. Macam-macam alasan yang melatarbelakangi gerakan golput terorganisir ini misalnya paham kanan bahwa negara ini tidak sesuai dengan pemahaman agamanya. Fenomenanya ini dibeberapa daerah terlihat menonjol, namun di Kaltara tak begitu tampak.

Trennya sendiri pun menurutnya juga masih dapat dikendalikan. Pada 2019 jalannya politik dinilai lebih terpolarisasi sehingga angka golput masih bisa ditekan dibanding pemilu 2014 silam. 14 Februari menggrayangi dinamika politik, Hariadi masih belum dapat melihat angka golput nantinya. Hal inipun tentunya kembali kepada persaingan politik yang mana para calon harus mampu membersamai gerakan golput, jika tidak maka tren golput akan naik kembali.

“Ya kita lihat pengaruhnya tentu lebih banyak di capres dan cawapres. Misalnya para calon ini tidak bisa menarik perhatian atau kepentingan dari gerakan golput ini ya pastinya mereka akan menggaungkan dan muncul kembali misalnya tidak mau ke TPS,” tuturnya.

Anti politik begitu kental dikalangan pemilih muda, seperti kalangan mahasiswa yang berada paham kiri pun dengan kalangan sosialis juga komunis. Ia pun mulai membuka kembali data nasional yang mulai menguat untuk gerakan golput. Kaltara sendiri adalah wilayah yang masih berpotensi kecil untuk munculnya gerakan anti politik ini.

Hariyadi mengakui, gerakan golput ini didominasi oleh kelompok pemuda. Rerata banyak pemuda terpapar paham kanan maupun kiri, yang masing-masing paham tentu dapat berdampak pada angka golput. Pihaknya pun mencoba melihat kembali pengaruh golput di era digital ini. Terlebih jika melihat kembali presentase kalangan pemuda dalam menunjang suara pemilu sebanyak 53 persen.

“Secara kelembagaan KPU tentu mengantisipasi. Makanya kita paling fokus ke situ dibandingkan basis lain. Pertama memang menghindari golput dan pendidikan politik pemilu,” pungkasnya. (*)

Reporter: Endah Agustina

Editor: Yogi Wibawa

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2639 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *