Dinasti Politik Bisa Merusak Tatanan Demokrasi

DINASTI politik telah mengakar di dalam tatanan politik Indonesia. Dalam konteks politik, hal tersebut justru dapat merusak tatanan demokrasi karena pada hakekatnya demokrasi menghadirkan pemerintah dari rakyat untuk rakyat, bukan golongan yang berkuasa. Lantas bagaimana para akademisi melihat fenomena yang sedang terjadi.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Kaltara, Irsyad Sudirman, M.A., M.I.P menjelaskan bahwa dinasti politik merupakan upaya mempertahankan atau meraih kekuasaan melalui regenerasi keturunan urutan keluarga oleh golongan tertentu yang berkuasa.

Politik dinasti memiliki dua kutub positif maupun negatif. Dalam hal ini Irsyad menjelaskan, dampak positifnya secara kultural masyarakat Indonesia menganut paham patrilineal atau adat di dalam masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Maka politik dinasti denga pola kultur masyarakat Indonesia yang sudah mengakar, akan dapat membantu menghilangkan berbagai elemen kekuasaan yang dianggap merusak tatanan sosial dan kebijakan.

Sementara, dampak negatifnya dari politik dinasti akan mengakibatkan fungsi Partai Politik (Parpol) tidak berjalan dengan baik dalam sudut pandang demokrasi seperti rekrtutmen, partisipasi maupun agregasi atau aktivitas tuntutan politik kelompok maupun individu yang digabungkan ke dalam program kebijakan.

‘’Akibatnya parpol hanya dijadikan mesin politik golongan tertentu untuk memperkaya diri. Bagi mereka yang berada di luar golongan tersebut dengan mudah dimanipulasi,’’ tutur Irsyad melalui pesan singkat.

Saat disinggung soal dinasti politik dapat merusak  demokrasi lantaran tidak memberikan kesempatan masyarakat lain untuk memimpin. Irsyad membeberkan dua alasan pokok terhadap fenomena tersebut. Dalam konteks masyarakat Asia, dalam kultur confusianism atau filsafat yang mengajarkan bahwa harmoni ditemukan dengan mengikuti tindakan dari kesalehan, rasa hormat, ritual agama dan dharma.

Artinya, dinasti politik diperlukan sebagai keseimbangan kekuasaan terhadap golongan-golongan perusak. Secara tradisional masyarakat Asia seperti Asia Timur, Timur Tengah, Asia Kecil serta Asia Tenggara lebih suka dengan kepemimpinan pola dinasti politik yang melahirkan otoritarianism atau bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan. Contohnya kerajaan maupun devine teori atau perintah ilahi yang dianut berbagai agama kontemporer.

Kemudian alasan selanjutnya Irsyad menerangkan, dalam konteks masyarakat Eropa dan Amerika dalam filsafat trias politica atau teori pembagian kekuasaan seperti eksekutif, yudikatif maupun legislativ di artikan bahwa politik dinasti dapat menghambat kompetensi seseorang dalam ranah kepemimpinan.

‘’Dalam konteks politik modern system yang berlaku adalah demokrasi politik, maka fenomena tersebut sangat benar dapat merusak tatanan demokrasi. Karena demokrasi secara defisional menghadirkan pemerintah oleh rakyat, bukan golongan yang berkuasa,’’ bebernya.

Berbicara peraturan terkait dinasti politik, Irsyad menyebutkan dalam revisi Undang-Undang (UU) 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dengan dikeluarkan UU 12 tahun 2008 merupakan wujud nyata secara eksplisit dilarangnya praktik politik dinasti dengan lahirnya UU No 1 tahun 2015 tentang pilkada.

Jika dilihat berdasarkan UU No Tahun 2015 tentang pilkada pada pasal 7 poin R disebutkan bahwa tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam hal tersebut menjelaskan bahwa Petahana (Incubent) tidak boleh memiliki saingan calon yang memiliki konflik kepentingan. Artinya jika petahana maju sebagai calon, maka calon saingannya tidak boleh yang memiliki konflik kepentingan langsung dengan petahana. Kecuali sudah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Sebagai contoh yang di atas, Irsyad menerangkan semisal ayahnya maju gubernur untuk satu periode, maka anaknya tidak boleh menjadi Bupati di periode satu. Kecuali ayahnya sudah dua periode menjadi gubernur, maka anaknya boleh maju di periode.

Irsyad membeberkan contoh yang bukan termasuk dalam politik dinasti, Presiden Jokowi memiliki kedudukan sebagai kepala negara, sementara anaknya sebagai Wali Kota Solo, sedangkan menantunya Bobby Nasution merupakan Wali Kota Medan. Hal tersebut bukanlah hal yang dimaksud, karena maju dalam kompetisi yang berbeda artinya memiliki wilayah yang berbeda. Sementara, contoh politik dinasti seperti, ayahnya bupati, istrinya sekda, anaknya Kepala Dinas (Kadis) BKD, menantunya Kadis PUPR.

‘’Hal tersebut sejalan dengan pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa hak persamaan di muka hukum dan pemerintahan serta tidak diperlakukan secara diskriminatif,’’ terangnya.

Dalam hal tersebut, ada banyak masyarakat yang salah memahami makna tersebut karena petahana adalah warga negara yang memiliki hak yang sama di muka hukum dan pemerintahan. Selama hal tersebut tidak dicabut oleh hukum tetap.

Ada banyak contoh kasus di sejumlah daerah terkait hubungan dinasti politik dengan korupsi. Namun, Irsyad menilai bahwa kasus tersebut tidak bisa digeneralisir yang menjadi permasalahan indikasi korupsi diterapkan di Indonesia masih abu-abu. Terkadang, faktor ketidaksengajaan bisa dijadikan alasan korupsi.

Pada umumnya, kasus yang sering terjadi adalah Kepala Daerah (KDH) bisa ayah atau suami, dan pemenang tender perusahaan anak atau istri. Atau minimal ada nama keluarga KDH yang dimenangkan dalam proyek tertentu atau nomor rekening perbankan keluarga KDH.

Lebih dalam, sebenarnya dalam aturan keuangan KDH bisa mendapat upah dari proyek yang dikeluarkan sebagai imbal jasa yang besarnya telah diatur. Namun, dalam perspektif KPK hal tersebut merupakan korupsi, sedangkan dalam perspektif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hal itu masuk upah Pokja (Kelompok Kerja) pengadaan.

‘’Biasanya dalam aturan kelompok kerja KDH masuk sebagai ketua dan sekretaris sebagai penanggung jawab,’’ singkatnya.

Bagi Irsyad, fenomena politik dinasti adalah sebuah keniscayaan dalam alam demokrasi. Tinggal bagaimana seluruh elemen bangsa menyikapi, dan bagaimana juga seluruh elemen bangsa memahami makna tersebut secara adil serta bersinergi untuk membangun kesadaran, kecerdasan politik masyarakat sampai terbangunnya identitas akal sehat yang disepakati bersama tentang politik dinasti. Keterlibatan petahana atau keluarganya dalam pilkada dapat mengegasikan (Menolak) upaya perwujudan pilkada yang jujur dan berkeadilan. Namun, dalam persepsi bahwa ada juga petahana yang jujur dan baik yang bekerja untuk mengabdi guna menciptakan kesejahteraan dalam pembangunan melalui program yang visioner.

“Janganlah ada tirani di alam demokrasi, karena tirani yang paling kejam adalah tirani di bawah perisai hukum,” tutupnya. (*)

Reporter: Okta Balang

Editor: Nicky Saputra

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2703 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *