“Saya selalu mendoakan orang-orang dan hal-hal baik yang selalu mengingat manusia lainnya. Berharap kehidupan yang kita semua jalani apa adanya membawa keberkahan tersendiri, terlebih pemulung seperti saya,” Petronella Inaleing
JAUH dari riak-riak kemewahan. Melakoni hari sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Hake Babu, Kota Tarakan selama belasan tahun ikhlas dijalani Petronella Inaleing. Sebuah gubuk reyot berukuran 4×3 meter yang tak jauh dari lokasi TPA menjadi saksi bisu wanita berusia 44 tahun ini membesarkan anak-anaknya hingga bisa menampung menantu dan cucunya.
Sejatinya menjadi pemulung bukanlah pilihannya. Siapa pun pastinya tak ingin menjadi pemulung yang saban hari harus bergelut dengan sampah hingga cacing. Namun kata Nella, begitu sapaan akrabnya, semua ini sudah menjadi ketentuan dan ditetapkan Yang Maha Kuasa.
Tak pernah sedikit pun terlintas di benak Nella bisa menjadi pemulung di tanah perantauan. Wanita berdarah Adonara, Nusa Tenggara Timur ini terjebak gonjang-ganjing rumah tangga yang harus memaksanya melakoni pekerjaan ini. Pada tahun 2008 saat masih berusia 29 tahun, Nella memutuskan meninggalkan suami dengan membawa kedua anaknya dari Malaysia ke Kabupaten Nunukan.
Keputusan besar yang diambilnya tersebut karena sudah tak tahan dengan perlakuan suaminya yang tempramental. Tak lama di Nunukan, ia pun memberanikan diri ke Tarakan dan tinggal bersama sepupunya. Bak jatuh tertimpa tangga, alih-alih berhasil kabur dari kejamnya mantan suami ia harus bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) dengan upah Rp 40 ribu sebulan.
Tak bertahan lama, tepatnya pada tahun 2009 seseorang menawarkan tempat tinggal berupa gubuk yang hanya cukup untuk tidur. Awalnya ia diminta untuk menjaga lahan tersebut dengan turut bekerja sebagai pemulung di TPA Hake Babu.
“Waktu itu saya bingung bagaimana kerja dengan sampah. Bagaimana cara memilihnya. Apalagi baunya saya di awal sangat tidak tahan dan muntah-muntah. Pakai sarung tangan, saya buka plastik banyak sekali ulatnya. Saya takut,” kenangnya.
Kendati demikian, lambat laun ia pun bisa menyesuaikan diri untuk tinggal di gubuk itu. Kini, genap 14 tahun sudah Nella menjalani profesi menjadi pemulung dan mampu menafkahi dan menyekolahkan buah hatinya.
Meski bergelut kemiskinan, Nella masih mendapatkan hak sebagai warga miskin di Indonesia. Bantuan dari pemerintah berupa PKH mengantarkannya pada kehidupan yang apa adanya, namun melimpah akan rasa syukur.
Di gubuk deritanya itu juga bergantungan seragam sekolah putranya yang merupakan bantuan dari Dinas Sosial Tarakan. Gubuk yang hanya cukup untuk makan dan tidur sudah terbilang sangat tidak layak. Selain bersebelahan dengan tempat sampah, ia tak bisa berbuat banyak karena gubuk kumuh itu didirikannya di atas tanah milik orang lain.
“Ada beberapa kali orang-orang kaya nawarin saya mau diperbaiki rumah ini. Tapi memang tidak bisa, yang punya lahan juga tidak mau. Saya disuruh cari tempat lain saja kalau mau renovasi ke yang lebih bagus. Pernah juga orang pemerintah datang ke sini, tapi ya bagaimana lagi memang tidak bisa rumah ini ya begini saja,” katanya.
Menyandang sebagai janda dan pemulung tak membuat Nella kenyang dan berhenti atas rasa syukur. Terlebih lagi momen bulan suci ramadan 1444 Hijriah ia yang beragama Katolik tetap berdampingan dengan sang putri yang telah mualaf dan menjalankan ibadah puasa.
Berkat rasa syukur itu juga bantuan datang silih berganti. Bukan hanya sembako seperti kebutuhan dapur, uang tunai juga pernah sesekali ia dapatkan dari sosok dermawan yang tak sengaja melintas.
“Saya selalu mendoakan orang-orang dan hal-hal baik yang selalu mengingat manusia lainnya. Berharap kehidupan yang kita semua jalani apa adanya membawa keberkahan tersendiri, terlebih pemulung seperti saya,” tutupnya. (*)
Reporter: Endah Agustina
Editor: Yogi Wibawa