Penulis:
Agus Haryanto
Statistisi Ahli Muda BPS Tarakan
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Tiap-tiap manusia di negara ini memiliki hak yang sama salah satunya adalah hak kebebasan untuk berpendapat yang tercantum pada Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum juga menjelaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu cara penyampaian pendapat tersebut adalah dengan mengemukakan kritik terhadap kebijakan atau kondisi yang dirasa tidak sesuai yang diharapkan, dengan tujuan dapat memberikan pandangan atau masukan kepada pihak yang berkepentingan agar dapat meninjau ulang segala kebijakan yang dirasa tidak sesuai. Masih segar dalam ingatan kita beberapa kritik yang dilontarkan semacam slogan “Indonesia Gelap”, lagu kelompok musik sukatani yang berjudul “bayar, bayar, bayar” atau berbagai ulasan kritis terhadap pemerintah oleh media tempo yang dimuat dalam “bocor alus politik”.
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam kritik selama disampaikan dengan baik, tapi yang ditemui saat ini ada banyak pemimpin yang alergi akan kritik, kuping mereka akan merasa gatal dan kepala mereka menjadi panas apabila kebijakan yang mereka ambil mendapat kritikan dari masyarakat atau orang yang dipimpinnya. Mereka merasa kritikan menjadi batu sandungan yang harus segera disingkirkan atau jika perlu segera dilenyapkan. Alih-alih berterima kasih, yang ada sang pengkritik akan balik diserang sebagai pihak yang usil, iri hati, sentimen atau tak bisa diajak bekerja sama. Pada era Orde Baru, kritik malah menuai penjara bahkan kematian. Seolah-olah kritik adalah prilaku yang tidak pantas dan layak hanya dilakukan oleh musuh negara.
Jika kritik yang seharusnya menjadi koreksi dan bahan refleksi bersama dianggap tabu dan diharamkan, maka masyarakat akan sulit untuk berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik. Kritik yang sehat seharusnya merupakan bagian dari proses pembangunan yang mengarah pada kebaikan bersama dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun, ketika kritik dipandang sebagai ancaman atau gangguan, proses pembangunan yang seharusnya progresif dan inklusif dapat terhambat.
Ketika orang yang berbeda pendapat atau mengkritik dianggap sebagai ancaman, maka esensi demokrasi dan kebebasan berpendapat seakan hanya menjadi slogan belaka. Semangat untuk maju dan berubah ke arah yang lebih baik menjadi terhambat oleh ketakutan dan ketidaksamaan dalam menyikapi kritik.
Kritikan adalah bagian dari harga yang harus dibayar untuk melewati keadaan biasa-biasa saja. Terkadang kita semua lebih senang mendapat masukan yang positif, pujian dan penghargaan. Hal tersebut memang baik untuk mengetahui bahwa telah berada di jalur yang tepat dan sebagai support untuk pencapaian. Tetapi merasa gerah dan terganggu jika ada kritik seolah pengkritik adalah penghalang sebuah pencapaian. Mari jauhkan diri dari praktik feodalisme dalam berpikir dan buka diri untuk menerima pandangan dan masukan dari orang lain dengan pikiran yang terbuka.
Memahami bersama bahwa saat masih ada kritik yang dilontarkan berarti masih ada yang peduli dan kritis terhadap apa yang sedang dirasakan atau sedang berlangsung. Kritik bukanlah melodi berisik yang mengganggu sehingga membuat terusik. Janganlah menepuk dada ketika tidak ada kritik yang muncul yang sejatinya bukanlah keberhasilan tapi lebih kepada sikap apatis. (rm)