Penulis:
Stevanus Ronaldo, S.Tr.Stat
Statistisi Ahli Pertama BPS Provinsi Kalimantan Utara
Memahami data dengan benar terkadang cukup rumit dan membingungkan, terlebih ketika dibarengi rasa ragu dan kebimbangan akibat banyaknya sudut pandang yang muncul. Kita bisa posisikan diri sebagai masyarakat, sebagai pengambil kebijakan, sebagai pembuat program, sebagai pengkritik, sebagai orang yang terpaksa terbawa arus, atau bahkan sebagai perancang arus. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya kita, sebagai masyarakat, memahami dan merespons data dengan pikiran logis dan kritis, walaupun tidak memahami secara mendalam konteks yang disampaikan? Dan bagaimana pengambil kebijakan bisa mulai menerapkan prinsip antifragile dalam alur kerjanya?
Sering kali, indikator-indikator kinerja yang disusun dengan rapi dan stabil dari tahun ke tahun justru dapat menjadi jebakan. Terlalu rapi dan indahnya data perlu dipertanyakan, sebab bisa menyembunyikan dinamika yang sesungguhnya terjadi. Narasi data yang “indah” cenderung lebih berbahaya karena manusia memiliki kecenderungan psikologis untuk menciptakan cerita agar kejadian-kejadian yang kompleks terlihat masuk akal. Ini yang dikenal sebagai narrative fallacy—kekeliruan dalam membangun narasi dari sesuatu yang sebenarnya bersifat acak.
Dalam praktik pemerintahan, kesalahan narasi ini bisa sangat kentara. Misalnya, ketika target tidak tercapai, narasinya menjadi, “Target tidak tercapai karena COVID, tetapi tetap terjadi pertumbuhan positif.” Atau “Pembangunan jalan terhambat karena cuaca ekstrem, namun capaian tetap 87% dari target.” Bahkan ketika target penurunan kemiskinan gagal, muncul narasi seperti, “Karena pandemi, kami gagal mencapai target. Namun intervensi Bansos telah menyelamatkan ribuan warga dari jatuh ke bawah garis kemiskinan.” Ini adalah contoh framing kegagalan sebagai setengah keberhasilan. Padahal, narasi seperti ini cenderung mengabaikan bahwa asumsi dasar dalam perencanaan tidak tahan terhadap guncangan, serta gagal belajar bahwa kejadian luar biasa bisa selalu terjadi.
Akibatnya, para pemimpin bisa terlena dalam ilusi kontrol. Masyarakat disuguhi cerita, bukan kenyataan. Institusi tidak membangun ketangguhan untuk menghadapi ketidakpastian. Seperti yang dikatakan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan, akan selalu ada kejadian ekstrem yang dapat melumpuhkan sistem apabila tidak ada pelajaran yang dipetik dari kegagalan sebelumnya.
Namun, kita juga harus realistis. Dalam dunia birokrasi, narasi tidak melulu merupakan penyimpangan logika, tetapi bisa menjadi bagian dari strategi komunikasi. Maka, penting bagi kita untuk menemukan titik temu antara narasi yang logis dan narasi yang politis. Pendekatan yang disebut soft honesty bisa menjadi solusi. Misalnya, “Capaian belum maksimal karena adanya dinamika lapangan yang tidak seluruhnya dapat diprediksi,” atau “Kami mencatat beberapa indikator kunci terganggu dan telah menyiapkan alternatif kebijakan adaptif.” Dengan begitu, narasi menjadi produktif dan bukan sekadar menenangkan.
Pertanyaannya kemudian, jika semuanya terlihat baik-baik saja di atas kertas, mengapa kita perlu repot mengubah cara membaca data? Sebagai bahan refleksi, kita perlu bertanya: apakah data yang kita miliki sudah cukup untuk menjelaskan realitas masyarakat di perbatasan seperti Krayan atau Sebatik? Apakah tidak ada hal-hal penting yang mungkin terlewat karena tidak tertangkap oleh data resmi? Tidak adanya bukti bukan berarti bukti tidak ada. Data makro yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti BPS menggeneralisir kondisi secara menyeluruh, yang bisa menutupi realitas sesungguhnya di lapangan.
Sebagai contoh, angka kemiskinan yang menurun secara agregat bisa menipu. Bisa jadi yang mengalami peningkatan kesejahteraan hanyalah kelompok masyarakat perkotaan, sementara masyarakat pedalaman tetap tertinggal. Inilah pentingnya memahami keterbatasan data kita. Data makro dari BPS memang penting, tapi tidak cukup. Kita memerlukan data mikro yang menggambarkan kondisi nyata hingga ke desa-desa terpencil.
Selain itu, kita harus kritis terhadap sumber data. Sebelum menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan, penting untuk memahami metodologi di balik data tersebut. Contoh yang sering diperdebatkan adalah garis kemiskinan BPS. Pada tahun 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan di Kalimantan Utara sebesar Rp876.375 per bulan atau sekitar Rp29.212 per kapita per hari. Banyak masyarakat mempertanyakan: “Kalau penghasilan saya Rp30.000 per hari, berarti saya tidak miskin? Tapi bayar kos, listrik, gas, dan makan saja tidak cukup!”
Jawabannya adalah memahami bahwa unit analisis dalam perhitungan kemiskinan BPS adalah rumah tangga, bukan individu. Maka, angka per kapita adalah hasil dari pembagian total pengeluaran rumah tangga dengan jumlah anggota. Sebagai contoh, rumah tangga yang tidak tergolong miskin di Kalimantan Utara rata-rata memiliki 4 anggota, sehingga total pengeluaran rumah tangganya menjadi sekitar Rp3.600.000 per bulan. Dalam praktiknya, pengeluaran dilakukan secara kolektif dalam satu dapur: air galon, makanan pokok, rokok, kebutuhan anak, dan lainnya dibagi bersama. Jika analisis dilakukan per individu, akan muncul distorsi makna. Misalnya, bayi tidak bisa membelanjakan sendiri makanannya, tetapi secara statistik pengeluarannya dihitung setara dengan orang dewasa. Tentu ini menyisakan ruang pertanyaan untuk kelompok tertentu, seperti yang tinggal sendiri di kos, yang mungkin tidak terakomodasi dalam pola ini.
Konsistensi dalam pengukuran juga menjadi hal penting. Harus ada standar nasional yang konsisten agar data bisa akurat dan dapat dibandingkan. Di saat yang sama, masyarakat sebagai pembaca juga harus kritis. Bisa saja datanya benar dan metodologinya benar, tetapi narasinya menciptakan ilusi. Narrative fallacy sangat kuat di sekitar kita. Kita suka menyederhanakan hal kompleks. Contohnya, ketika terlambat masuk kantor karena macet, kita mulai menarasikan: “Andai saya bangun lebih awal, saya tidak terjebak macet,” atau “Seharusnya saya cek Google Maps.” Padahal, bisa saja walaupun kita bangun lebih awal, tetap ada kecelakaan atau iring-iringan kendaraan di depan. Kita terlalu cepat membentuk narasi yang masuk akal untuk menjelaskan sesuatu yang acak.
Terakhir, penting untuk mendorong transparansi data. Sejarah ditulis oleh para pemenang, begitu pula data. Banyak data yang tidak pernah dipublikasikan karena dianggap gagal. Ini yang disebut Taleb sebagai silent evidence. Kita sering membaca cerita sukses tentang wirausahawan yang tidak lulus kuliah tapi sukses, atau pemerintah daerah yang berhasil menurunkan stunting. Tapi, bagaimana dengan ribuan orang yang mengikuti cara hidup yang sama dan gagal? Atau daerah-daerah lain yang tidak bisa meniru keberhasilan penurunan stunting? Tidak ada yang mencatat atau menuliskan kegagalan. Akibatnya, kita tidak belajar dari kegagalan, dan cara kita membaca data pun menjadi bias.
Pada akhirnya, memahami dan merespons data tidak cukup hanya dengan membaca angka-angka yang tersaji. Kita perlu membangun cara pandang baru, yang lebih kritis, lebih skeptis, namun tetap solutif dan adaptif. Pemerintah perlu mulai membiasakan diri dengan praktik antifragile, bukan hanya membangun sistem yang tampak teratur, tetapi yang tahan terhadap guncangan. Masyarakat pun harus dibekali dengan literasi data yang tidak sekadar memaknai nominal, tetapi mampu menangkap konteks dan logika di balik penyusunan data tersebut. Data bukan sekadar alat konfirmasi, melainkan bahan refleksi. Dengan begitu, kita tidak lagi terjebak dalam narasi semu yang membius, melainkan mampu membangun kebijakan yang lebih tangguh dan manusiawi di tengah dunia yang penuh ketidakpastian. (rm)