Suara Keadilan

Catatan 
H. Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)

KEPOLISIAN Resort (Polres) Tarakan baru-baru ini didemo lagi. Dan, entah kapan lagi. Kali ini, pendemonya datang dari kalangan mahasiwa: HMI, GMNI dan advokad dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hantam serta sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Resah (Amarah). Mereka menuntut penegakan hukum yang adil dan transparan.

“Kami datang karena kecintaan kami pada pak polisi”. Kami hadir untuk meminta agar hukum benar-benar ditegakkan dan tidak pandang bulu,” begitu harapannya. Tuntutan mereka sederhana. Pun, tidak sulit untuk diterjemahkan, meski pun materi yang disampaikan relatif beragam.

Tetapi, esensi tuntutannya hanya berkisar pada “penegakan hukum” (law enforcement). Penegakan hukum oleh pihak kepolisian, belakangan menjadi sorotan banyak pihak, tak terkecuali, masyarakat di level akar rumput (grass root level).

Secara empiris, penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari harapan dan rasa keadilan atau (sense of justice), di mana, di berbagai wilayah masih sering terjadi ketimpangan penanganan masalah terutama ketika masyarakat berhadapan dengan korporasi.

Baca Juga :  Kisah Cinta Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli

Ini bukan rahasia. Bahwa ketika polisi dan penegak hukum lainnya menangani suatu perkara dengan kasta berbeda, penegak hukum justru terkesan lebih mepet ke pagar korporasi yang strata sosialnya lebih tinggi. Istilah populernya, oligarki.

Kesan keberpihakan inilah yang menjadi friksi hingga memantik maraknya aksi demonstrasi massa di sejumlah wilayah. Padahal, polisi bahkan TNI adalah milik rakyat. Lahir dan tumbuh di tengah rakyat. Gajinya pun dari rakyat melalui pajak yang makin menyusahkan rakyat.

Penegakan hukum yang digugat kalangan masyarakat dan kaum terpelajar belum lama ini, itu merupakan sebuah hipotesis yang masih memerlukan diskusi tentang makna “rasa keadilan” dan “kepastian hukum”. Aristoteles, filsuf asal Macedonia pernah mengatakan, “keadilan merupakan faktor terpenting dalam hukum, sebagaimana bayi yang lahir dari kandungan ibunya. Sebab, keadilan sudah ada jauh sebelum adanya hukum”.

Ketimpangan penegakan hukum ditilik dari sudut pandang kepastian hukum dan rasa keadilan, itulah yang ungkapkan oleh Alif Putra Pratama SH,M.Hum – advokad muda dari LBH Hantam dalam orasinya. Alif mengatakan, ada realitas penanganan kasus yang berbeda. Banyak masyarakat yang sudah membuat laporan tetapi tidak ada respons yang serius dan transparan.

Baca Juga :  Kisah Cinta Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli

Selain menyoal lambannya penanganan laporan dan pengaduan, Alif menilai ada tebang pilih dalam mengelola setiap kasus. “Kami melihat penanganan perkara yang melibatkan pejabat sangat cepat ditangani, sementara masyarakat biasa ada yang laporannya sudah beberapa tahun belum ada kabar,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Oleh sebab itu, Alif meminta pihak kepolisian memberikan informasi secara berkala dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan mengenai perkembangan hasil penyidikan kepada pelapor. “Ini penting mengingat banyaknya kasus yang kami laporkan maupun yang diadukan tidak jelas perkembangan penyidikannya,” beber Alif.

Ekspresi keprihatinan ini tak hanya dirasakan oleh kalangan advokad, tetapi juga masyarakat. Mereka juga berjihad melawan ketimpangan hukum walau pun resonansi kebebasan berpendapat itu ibarat raungan sirine dalam ruang tertutup yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Baca Juga :  Kisah Cinta Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli

Menyoal penegakan hukum berarti menyuarakan “kepastian hukum” dan “rasa keadilan”. Hanya saja, dua kata tersebut menurut advokad senior, Prof OC Kaligis, ibarat saudara kembar yang tidak mungkin bertemu dalam ruang proses hukum.

Artinya, keduanya tidak mungkin diwujudkan dalam satu kasus secara bersamaan sehingga salah satunya harus dikorbankan. Bila penegak hukum memilih kepastian hukum (legal certainty) dan mengorbankan keadilan, maka berlakulah adagium Yunani yang mengatakan, “Lex dura, sed tamen scripta” – hukum memang kejam tetapi begitulah yang tertulis”.

Begitu pun sebaliknya, kepastian hukum dikorbankan untuk mencapai keadilan adalah dilema tetapi sesungguhnya filosofi hukum memang bersifat kompromi dan berasaskan moral. Karena itu, esensi keprihatinan masyarakat terhadap hukum adalah, keadilan serta kepekaan nurani penegak hukum dalam menangani suatu perkara.(**)

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *