Penulis:
Agus Haryanto
Statistisi Ahli Muda BPS Tarakan
Ketika berita tentang pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) secara resmi diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia, jutaan pekerja di republik ini menyambut dengan antusias. Bonus tahunan ini dianggap sebagai rejeki tambahan yang digunakan untuk perayaan lebaran, tapi apakah THR ini mampu mendorong daya beli masyarakat karena ketidakstabilan ekonomi hari ini masih menjadi sebuah misteri.
Idealnya, bonus seperti THR tidak berfungsi sebagai expense untuk kebutuhan hidup namun menambah alokasi saving atau investasi. Sayangnya, tak dipungkiri bahwa kondisi ekonomi saat ini menjadi salah satu faktor mengapa THR habis tak tersisa.
THR secara signifikan meningkatkan jumlah uang beredar yang otomatis mengungkit daya beli masyarakat. Dengan naiknya peredaran uang di tengah masyarakat, secara teori ekonomi, dalam kondisi tertentu, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, baik lewat konsumsi maupun investasi, sepanjang Bank Indonesia bisa menjaga dari sisi moneternya, misalnya dengan menjaga keseimbangan suku bunga dan volume uang beredar dengan baik. Akan tetapi ketika jumlah uang yang beredar meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan produksi barang dan jasa, maka harga-harga akan naik secara konstan atau yang kita kenal dengan inflasi.
Pemerintah Indonesia untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonominya, selalu menyimpan asa pada faktor musiman seperti hari-hari besar keagamaan atau bulan tertentu. Perekonomian Indonesia selama ini memang didominasi oleh konsumsi rumah tangga masyarakat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) komponen belanja konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2024 mencapai Rp11.964 triliun. Artinya, konsumsi rumah tangga masyarakat berkontribusi sebesar 54,04 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai Rp22.139 triliun.
Meskipun pemerintah sangat berharap Ramadan dan Lebaran 2025 menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal I-2025, agar tidak jatuh di bawah angka 4,9 persen, menggantungkan asa pertumbuhan ekonomi pada konsumsi rumah tangga harus diwaspadai.
Daya beli masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat pendapatan dan inflasi. Jika masyarakat kehilangan pekerjaan dan berkurangnya mesin pertumbuhan lantaran efisiensi anggaran, tingkat pendapatan masyarakat tidak mengalami kenaikan, maka daya beli masyarakat akan tergerus dan konsumsi akan menurun. Meskipun, inflasi kini tak terlalu menjadi momok mengingat,dalam dua bulan terakhir malah deflasi yang menurut BPS tercatat sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 dan 0,48 persen pada Februari 2025.
Tahun ini, banyak pihak meragukan bahwa ”kisah cinta” antara inflasi, pertumbuhan ekonomi dan daya beli ini akan kembali bersemi. Inflasi, yang seringkali menjadi ‘orang ketiga’ dalam hubungan mesra antara daya beli dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi, kini menunjukkan sinyal yang berbeda.
Deflasi yang tercatat pada awal tahun 2025, yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti diskon tarif listrik, telah mengubah lanskap ekonomi. Beberapa kebijakan pemerintah saat ini membuat kisah cinta ini menjadi lebih rumit. Kebijakan efesiensi dan badai gelombang PHK pada beberapa industri padat karya membuat ending yang tak terduga. Dimana faktor-faktor eksternal dan kebijakan pemerintah memainkan peran yang sangat mempengaruhi hubungan ketiganya.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, dan daya beli masyarakat. Hal ini meliputi evaluasi kebijakan efisiensi anggaran, dukungan terhadap industri padat karya, dan pengelolaan ekspektasi inflasi di tengah peningkatan permintaan musiman.
Pemerintah juga perlu memperkuat faktor-faktor ekonomi yang lebih fundamental, seperti investasi dan produktivitas, untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hingga akhirnya negara ini bisa menjadi negara yang ”terus terang terang terus” sebagaimana sebuah iklan produk lampu. (ram)