Oleh: Yogi Wibawa, Redaktur Pelaksana Benuanta
SIAPA yang tak gemar dengan es teh. Minuman sederhana yang menyegarkan, menenangkan, dan penuh makna. Segelas es teh cukup mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh-temeh. Begitu pula kehidupan, seharusnya dijalani dengan keseimbangan antara canda tawa, rasa hormat, dan saling mendukung.
Belakangan ini, Gus Miftah menjadi sorotan setelah candaan yang dianggap tidak pantas terhadap seorang penjual es teh di suatu pengajian. Sebagai seorang yang juga sering hadir untuk melakukan peliputan di depan publik, saya memahami bahwa candaan yang tidak tepat dapat menimbulkan salah tafsir bahkan melukai hati. Kendati saya pun selalu percaya setiap kesalahan adalah ruang untuk belajar dan memperbaiki diri.
Sebagai penggemar bahkan sempat melakoni peran sebagai pedagang es teh, saya selalu menganggap minuman sederhana ini sebagai simbol kesejukan di tengah teriknya matahari. Tetapi di balik segelas es teh yang menyegarkan, ada perjuangan seorang pedagang kecil yang mencari nafkah dengan keringat dan doa.
Adakalanya saat dagangan tak laku, sementara pengaharapan begitu besar. Berdiri berjam-jam, mengatur barang dagangan. Saban hari menghadapi balasan senyum yang kadang enggan singgah di wajah pelanggan. Itu semua mengajarkan saya untuk menghormati setiap usaha kecil, karena di baliknya ada kerja keras yang sering tak terlihat.
Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa mendukung pedagang kecil bukan hanya dengan membeli dagangannya, tetapi juga dengan menjaga perasaan mereka.
Soal Gus Miftah yang viral dibahas selama sepekan ini, secara pribadi saya tidak begitu mengenalnya. Namun yang saya tahu dia memiliki gaya unik sebagai pendakwah dengan aksesoris kacamata hitam yang selalu melekat dalam aktivitas dakwahnya. Dalam gaya berbeda itu, terkadang ada kekhilafan yang perlu diperbaiki. Namun, mari kita tidak tergesa-gesa menghakimi. Setiap orang memiliki niat baik, meski caranya kadang kurang tepat.
Langkah Gus Miftah yang segera meminta maaf atas kejadian viralnya dengan pedagang es teh juga menuai apresiasi, termasuk saya secara pribadi. Tidak semua orang berani meminta maaf, terlebih di tengah kerasnya tekanan publik. Langkah itu menunjukkan kebesaran hati dan tanggung jawabnya, bahkan kabar teranyar dia rela nian meninggalkan jabatan sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Peristiwa ini bukan hanya pelajaran untuk Gus Miftah. Ini pengingat bagi semua insan manusia, termasuk saya sendiri, bahwa setiap kata selalu akan didengar dan diingat banyak orang. Terlebih dakwah bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga menjaga adab dan menghormati semua pihak.
Bercanda adalah bagian dari kehidupan yang sering menghadirkan kehangatan. Rasulullah SAW, teladan mulia yang menjadi panutan kita, juga gemar bercanda. Namun, candanya selalu menjaga adab yaitu tidak menyakiti, tidak merendahkan, dan penuh hikmah. Tawa yang dihadirkan Rasulullah selalu membangun, tidak pernah meruntuhkan.
Sementara manisnya es teh, seperti hidup, ada pada keseimbangan antara rasa dan penghargaan. Semoga dari peristiwa ke depan, pedagang es teh hanya sibuk menuang gula, bukan malah menahan luka. (*/gio)