Miris! Kasus Melibatkan Anak di Bawah Umur Meningkat di Nunukan

benuanta.co.id, NUNUKAN – Selain Pemohon Dispensasi menikah di bawah umur, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Kabupaten Nunukan juga mencatat kasus anak di bawah umur mengalami peningkatan pada tahun 2023 yakni 30 kasus.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DSP3A Nunukan, Endah Kurniawati menyampaikan, kasus anak yang terjadi di Nunukan rata-rata di usia di bawah 17 tahun dan didominasi anak perempuan sekitar 70 hingga 80 persen.

Kasus anak di bawah umur di Kabupaten Nunukan pada tahun 2022 sebayak 25 kasus, dan mengalami peningkatan pada tahun 2023 sebanyak 30 kasus.

Baca Juga :  Akhir Desember Kasus Kadis DPMD Nunukan Diputuskan Tim Hukdis

“Mereka adalah korban, tapi jika melihat latar belakang mereka sudah mengenal namanya pacaran hingga ada persetubuhan hingga hamil, akhirnya pihak perempuan melapor tidak terima, sehingga laki-laki mendapat hukuman karena sebagai pelaku,” kata Endah, Selasa 12 Maret 2024.

Dia juga menjelaskan, kategori kasus anak, pertama anak sebagai pelaku, korban dan saksi. Walaupun dia sebagai pelaku bisa meminta didampingi oleh pihak DSP3A Nunukan. Soal mediasi akan dilihat dari kasusnya.

Baca Juga :  SMAN 1 Sembakung Rutin Razia Bulanan Antisipasi Pelajarnya Bawa Rokok ke Sekolah

Dia juga mencontohkan yang bisa dimediasi tidak sampai diproses hukum, seperti pencurian atau melakukan kesalahan pertama kali dan tidak berulang-ulang sehingga ada tim yang akan menangani kasus tersebut yakni Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Lapas Nunukan khusus penanganan kasus anak.

“Jarang terjadi mediasi karena rata-rata kasus anak ini selalu berulang-ulang, walaupun ada paling sekitar 5 persen,” jelasnya.

Banyak faktor kasus anak di bawah umur, salah satunya adalah faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar rumah anak. Misalnya, faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, pergaulan, dan lingkungan masyarakat. Termasuk, pengaruh dari dunia maya, yakni penggunaan gadget yang tanpa aturan dan tidak ada edukasi dari orang tua maupun keluarganya.

Baca Juga :  47 PMI Bermasalah Lagi-lagi Dipulang dari Malaysia

Anak yang kerap mengakses konten kekerasan, bisa saja meniru konten tersebut. Misalnya, game online maupun film yang berisi kekerasan.(*)

Reporter: Darmawan

Editor: Ramli

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *