Perlu Aturan Khusus untuk Prioritaskan Putra Putri Daerah, Ini Kata Akademisi

benuanta.co.id, TARAKAN – Kehadiran pendatang di kota yang berjuluk Bumi Paguntaka membawa dampak perkembangan bagi sebuah daerah. Namun, hal tersebut justru menciptakan sebuah ketimpangan sosial yang disinyalir dapat menimbulkan sejumlah kecemburuan sosial.

Mantan Wakil Wali Kota (Wawali) Tarakan periode 2004 sampai 2009, Thamrin A.D. menjelaskan, banyaknya pendatang yang berasal dari luar pulau Kalimantan menuju kota Tarakan hanya bertujuan transit ke sejumlah kabupaten di Kalimantan Utara (Kaltara) seperti Kabupaten Malinau, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Nunukan, maupun Kabupaten Bulungan. Karena di lokasi tersebut memiliki sejumlah industri yang masih membutuhkan sejumlah sumber daya manusia (SDM).

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1545 votes

“Keberadaan para pendatang sangat positif untuk memajukan sebuah perkembangan daerah,” ucapnya.

Ihwal sejumlah putra daerah yang masih kurang beruntung mengisi format Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Thamrin menuturkan, tentu pemerintah daerah maupun provinsi harus memiliki kebijaksanaan dalam menyikapi persoalan tersebut.

“Peraturan khusus dalam memprioritaskan putra putri daerah sangat diperlukan, hal tersebut merupakan kebijaksanaan dan ketegasan pemerintah dalam mengantisipasi rasa ketidakadilan yang dirasakan sejumlah putra daerah,” bebernya.

Thamrin menegaskan jika pemerintah setempat perlu peka terhadap para pendatang yang bakal mendominasi sejumlah jatah putra putri daerah dengan kebijaksanaan dan keseimbangan, sehingga tidak muncul kecemburuan sosial.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Kaltara, Irsyad Sudirman menjelaskan, aturan khusus oleh pemda tidak diperlukan karena sudah ada Undang-undang 32/2004 juncto UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tadi dapat dijadikan kebijakan khusus dalam bentuk surat rekrutmen tenaga Aparatur Sipil Negara (ASN) pada masing-masing daerah dengan memberikan komposisi prioritas sebesar minimal 60 sampai 80 persen untuk Sumber Daya Manusia Daerah dan 10 sampai 15 persen bagi SDM luar daerah, atau 3 banding 1.

Baca Juga :  Potensi Hujan Lebat hingga Petir Masih Terjadi di Kaltara 

“Bahwa rekrutmen memperhatikan SDM daerah dengan angka perbandingan 3 SDM daerah dan 1 SDM luar daerah. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan asal proporsional. Karena tidak semua SDM daerah memiliki keahlian yang diperlukan, maka, bagi unsur keahlian tertentu bisa didapatkan melalui jalur SDM luar daerah,” bebernya.

Irsyad menambahkan, kombinasi tersebut umumnya sudah dilaksanakan pada berbagai provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia dengan asas kompetisi dan kompetensi terbuka, dengan tujuan utamanya juga jelas agar terjadi disparitas atau kesetaraan SDM yang berguna bagi daerah dalam mewujudkan good goverment governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dalam tata birokrasi yang baik. Sedangkan bagi rekrutmen TNI/POLRI umumnya juga menerapkan komposisi yang sama dengan prosentase berbeda yang disesuaikan kebutuhan masing-masing daerah.

Irsyad menilai, UU 32/2004 juncto UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah tentang pemerintahan daerah sudah diterapkan, cuman, dalam pemahaman perundangan pusat bahwa UU 22/1999 dianggap sangat federalisme atau konsep politik di mana anggotanya terikat bersama melalui perjanjian dengan perwakilan pemerintahan. Yang di mana banyak menghilangkan kepentingan pusat di daerah sehingga keluar UU 32/2004 juncto UU 23/2014.

Baca Juga :  Gubernur Kaltara: THR Lebaran Harus Cair Tepat Waktu

“Dalam artian bahwa UU 32/2004 juncto UU 23/2014 itu merupakan win-win solution atau penyelesaian yang menguntungkan dan memuaskan semua pihak dari otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lebih dalam, Irsyad menuturkan, dalam kacamata daerah, UU otonomi yang sekarang sangat tidak berkeadilan karena seluruh mata rantai kewenangan daerah kembali ditarik ke pusat sebagai power dalam menentukan kebijakan 100 persen sebagaimana UU 22/1999 seakan di istilahkan kepala dilepas ekor dipegang, artinya pusat masih mengkhawatirkan disintegrasi atau hilangnya keutuhan, bangsa bisa terjadi jika daerah diberikan kebebasan dalam membuat kebijakan sebagaimana pemahaman di era orde baru (Orba). Terlebih lagi, dengan revisi UU 32/2004 jd UU 23/2014, seluruh kewenangan daerah dicopot, sehingga daerah tidak lagi memiliki kebijakan akomodatif terhadap pengawasan pusat.

Bagi Irsyad, hal tersebut memiliki dampak baik negatif maupun positif, untuk dampak negatifnya ialah menguatnya kepentingan pusat ke daerah yang memiliki SDA potensial, kemudian, lemahnya daerah dalam membuat program kebijakan prioritas pembangunan daerah. Sementara dampak positifnya, pemerintah daerah taat aturan, berjalannya program nasional (Prognas) yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional (RAPERNAS), tertib anggaran atau keuangan nasional, dan agenda reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN berjalan tertib.

Menyikapi hal tersebut, Irsyad memberikan saran serta masukan dari berbagai macam sudut pandang mulai sisi politik, sisi ekonomi, maupun sosial dan budaya. Dari sisi politik, ia membeberkan jika hantu atau trauma masa lalu segera dihilangkan, karena pusat selalu khawatir dan beranggapan, daerah tidak memiliki SDM berkualifikasi, Kepala daerah terpilih tidak cakap yang berakibat pada Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).

Baca Juga :  Buka Bersama, Pj. Wali Kota dan Gubernur Bagikan Bantuan Beras ke Petugas Kebersihan

Pada sisi ekonomi, negara perlu melakukan rekonsiliasi nasional, karena masih ada anggapan bahwa, Potensi ekonomi daerah akan hilang dari pusat jika diperlakukan secara federatif dalam bingkai NKRI. Berkaca pada hasil Otonomi Daerah (OTDA) 1999 sampai 2003. Jika daerah sejahtera, maka negara akan bangkrut dan hal tersebut berbahaya bagi konsep NKRI.

Pada sisi sosial dan budaya, dengan kehadiran negara, tidak perlu diartikan secara harfiah, cukup simbolisasi, kondisi tersebut berdasarkan, menguatnya sikap priomodialisme atau perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai. di daerah terhadap negara. Sehingga negara mengkhawatirkan terjadi disintegrasi. Semakin meruncing konflik berbau SARA (berkaca pada kasus konflik Sampit, Ambon, Poso). Akibat mengecilnya peran negara secara harfiah.

Semua alasan di atas sebenarnya hanya klise yang selalu di dengungkan dari masa lalu, namun kondisi pada situasi tersebut memang sengaja diciptakan oleh rezim negara agar nasionalisme tetap terjaga. Hal Ini lah yang membuat bangsa Indonesia tidak maju dan hanya berkutat pada masalah yang berulang-ulang.

“Revolusi mental yang sebenarnya harus dimulai dari daerah, kalo negara hanya menerima hasil perkembangannya, Karena euforia reformasi, hingga sekarang memang masih bergelora. Tapi jika daerah terus diperlakukan dan dicurigai, justru daerah tidak berkembang ke arah yang positif,” tutup Irsyad.(*)

Reporter: Okta Balang

Editor: Ramli

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *