Oleh: Fajar Mentari, S.Pd
(Tokoh Intelektual Muda & Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kaltara)
TULISAN ini dilatarbelakangi oleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang saat ini ramai dijadikan ‘tameng’ untuk mengelabui publik terhadap perilaku korup para pejabat. Nyaris setiap tahun media massa selalu kebanjiran iklan ucapan selamat kepada beberapa lembaga pemerintah atas pencapaian opini WTP.
Kementerian atau lembaga pemerintah di pusat dan daerah kini punya kegemaran baru, yakni gemar berburu opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Memang menjadi wajar jika WTP diburu karena merupakan opini tertinggi dari BPK terhadap laporan keuangan yang memenuhi standar akuntansi pemerintah.
Kualitas opini WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat memiliki peranan penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan kata lain, semakin baik opini yang diperoleh, maka akan semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat.
Secara nasional, capaian opini WTP atas LKPD menunjukkan perkembangan yang sangat positif di mana perolehan opini WTP mengalami peningkatan signifikan pada seluruh tingkatan pemerintahan.
Sejatinya perolehan opini WTP dapat memberikan keyakinan kepada publik bahwa kepala daerah memiliki komitmen kuat dan integritas yang tinggi dalam mendorong terwujudnya pengelolaan pemerintahan daerah yang baik dan bersih (good governance and clean government), terutama pada aspek penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Hal tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa kepala daerah telah melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pengemban amanat rakyat.
Selain Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) – (Unqualified Opinion), ada juga Opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP) – (Modified Unqualified Opinion), Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) – (Qualified Opinion), Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) – (Disclaimer of opinion), dan Opini Tidak Wajar (TW) (Adverse Opinion).
Opini WTP diberikan jika laporan keuangan dalam segala hal yang material sudah sesuai dengan standar akuntansi keuangan. WTP-DPP jika dalam keadaan tertentu auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporannya. WDP jika ada ketidaksesuaian yang material pada satu atau beberapa pos laporan keuangan, namun tidak mempengaruhi kewajarannya secara keseluruhan. Sementara, TMP jika auditor dibatasi geraknya, tidak bisa mengumpulkan bukti audit dengan nilai sangat material sehingga kewajaran laporan keuangan diragukan. Sedangkan TW jika laporan keuangan mengandung salah saji yang sangat material atau sangat menyesatkan sehingga tidak disajikan secara wajar.
Pencapaian opini WTP menjadi sebuah kebanggaan dan prestasi. Sebab, bagi awam, penerima opini WTP dipahami sebagai lembaga yang paling bersih dan berprestasi yang oleh karenanya harus ditunjukkan kepada seluruh masyarakat. Tentunya dengan tujuan agar muncul pencitraan positif bagi Pemerintah Daerah (Pemda) bahwa roda pemerintahan telah akuntabel dan bersih. Sehingga wajar saja jika Pemda terus berusaha untuk mendapat opini WTP dari BPK.
Perburuan WTP, agaknya lebih kepada mengejar image sukses seorang kepala daerah dalam masa kepemimpinannya. Sebuah upaya memunculkan pemikiran di masyarakat bahwa daerah yang memperoleh WTP sama halnya dengan mendapat pengakuan good governance dan bebas dari praktik penyimpangan khususnya korupsi.
Namun, benarkah WTP adalah stempel bebas korupsi? jawabnya tidak! Sebab, pemberian opini WTP sebenarnya hanyalah bentuk apresiasi atas pemeriksaan laporan keuangan yang dinilai sudah sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Sampai dengan saat ini belum ada indikasi bahwa pemerintah atau sebuah lembaga pemerintah baik di pusat dan di daerah yang mendapatkan opini WTP, maka sekaligus bisa dinyatakan bahwa pemerintahan yang dijalankannya adalah pemerintahan yang bersih (clean goverment). Faktanya opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).
Tidak sedikit pejabat daerah yang begitu membanggakan keberhasilannya meraih opini WTP dengan serta merta mengaitkannya sebagai daerah yang bebas korupsi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa klaim tersebut tak beralasan.
WTP itu masih belum menjamin potensi penyimpangan anggaran tidak terjadi. Karena audit BPK itu hanya memeriksa secara formil bukan materiil. Banyak daerah yang dapat WTP tapi masih juga ada temuan korupsi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Penilaian BPK terhadap laporan keuangan itu cuma untuk menunjukkan pengelolaan, bukan penyimpangan. Artinya secara administratif bisa dipertanggungjawabkan, tetapi belum tentu secara hukum. Karena, WTP tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi potensi korupsi.
Di level diskursus birokrasi pemerintahan, audit keuangan banyak dipersepsikan sebagai kegiatan pemeriksaan keuangan yang komprehensif, yaitu untuk menemukan penyimpangan dan pengidentifikasian tindakan koruptif.