WTP Bukan Ukuran Pemerintahan Bebas Korupsi, Lepas Kolusi dan Bersih dari Pemborosan

Saya menilai bahwa transparansi keuangan daerah masih kurang memuaskan. Ada banyak Pemda yang enggan untuk membuka laporan keuangan kepada masyarakat, padahal masyarakat berhak untuk mengetahui kondisi keuangan yang dikelola. Terlebih lagi jika ada permintaan dari publik.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1586 votes

Sebagai contoh dekat, belum lama ini Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia kota Tarakan meminta soal transparansi penggunaan anggaran Humas dan Protokol Pemda Provinsi Kalimantan Utara agar ditransparansikan data terkait audit secara prosedur dan mekanisme penggunaan anggarannya.

Berdasarkan uraian dan fakta di atas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa opini WTP atas LKPD yang diberikan oleh BPK belum menjamin penyelenggara pemerintahan daerah lepas dari jeratan tindak pidana korupsi. Hal ini lebih disebabkan pada ruang lingkup pemeriksaan BPK yang masih terbatas pada proses penatausahaan dan pertanggungjawaban.

Selain untuk mengejar citra pengelolaan uang yang bertanggungjawab pada masyarakat, entitas pemerintahan juga mengejar penghargaan dari Kementerian Keuangan yang jumlahnya ternyata mencapai miliaran rupiah apabila bisa mencapai target WTP. Sehingga menurut saya adalah hal yang wajar jika ada yang berani memberikan “suap” ratusan juta rupiah kepada auditor BPK. Tergantung besaran reward dari pemerintah pusat untuk daerah yang memperoleh WTP.

Nilai suap pun bervariasi, dari puluhan juta rupiah hingga miliaran rupiah, tergantung besaran reward-nya. Dalam sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik, misalnya, seorang auditor BPK bernama Wulung disebut menerima uang Rp. 80 juta.

Nilai suap tersebut, sebenarnya relatif kecil dibanding reward dari pemerintah pusat untuk daerah yang memperoleh WTP. Penghargaan itu berupa kucuran Dana Insentif Daerah (DID), yang kemudian DID itu dimanfaatkan untuk kepentingan belanja daerah atau dimanfaatkan untuk belanja kepentingan kepala daerah.

Karena WTP menjadi kriteria utama, tentu tidak semua daerah mendapatkan DID. Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) APBD yang tepat waktu juga menjadi penilaian penting.

Pemberian predikat WTP akan memudahkan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah untuk mencairkan anggaran. Kalau laporan keuangannya baik, maka pencairan dana dari pusat ke daerah atau anggaran lainnya akan semakin mudah.

Patut diwaspadai, jangan sampai perburuan reward atas WTP menjadi awal siklus lingkaran korupsi. Jika oknum BPK sebagai auditor eksternal bisa dipengaruhi bahkan gampang dibeli, lalu supreme auditor internal di kelembagaan juga main mata, maka dipastikan siklus korupsi akan terjadi.

Indikatornya adalah ketika kelembagaan atau Pemda sudah berlomba-lomba mendapatkan opini WTP, misalnya dengan merekayasa laporan keuangan atau bekerja sama dengan pihak luar dan untuk memberikan privilege ke auditor. Lalu untuk itu semua pihak ketiga memberikan sesuatu karena ada urusan yang dalam laporan itu, sehingga opini yang seharusnya bukan WTP, tapi dipaksakan menjadi WTP.

Tapi, tentu bukan semata uang yang jadi tujuan Pemda berburu WTP. Toh jumlahnya tidak terlalu besar. Malah relatif kecil untuk ukuran Pemda yang memiliki potensi pemasukan ratusan miliar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pencapaian WTP sebenarnya sudah merupakan kewajiban pemerintah. Sehingga yang diberikan seharusnya bukan penghargaan, tapi hukuman bagi entitas pemerintahan yang tidak mendapatkan WTP. Penghargaan dan hukuman memang dapat dilakukan sebagai langkah awal, agar entitas pemerintah dapat memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Namun, pemerintah juga harus mengantisipasi efek negatif yang terjadi akibat penghargaan dan hukuman tersebut.

Karenanya, kebanggaan berlebihan memperoleh WTP itu menjadi tidak tepat, itu adalah hal yang keliru. Apalagi penyajian laporan keuangan WTP sebenarnya adalah kewajiban, bukan prestasi. Tak perlu digembar-gemborkan dan malah menjadi semacam euforia belaka.

Adalah penting merubah paradigma daripada memburu WTP, Pemda lebih baik menyusun laporan keuangan berdasarkan asas manfaat yang bukan hanya bersandar pada deretan angka. Sebab ukuran keberhasilan yang sebenarnya, terletak pada kemampuan mengentaskan persoalan kemiskinan, pengangguran, atau masalah ekonomi.

Percuma meraih opini WTP jika rakyat tetap hidup dalam kubangan kemiskinan. Jangan bangga dengan WTP jikalau masih banyak pengangguran dan Kemiskinan. Jika itu yang terjadi, opini WTP hanya menjadi prestasi kosong di atas kertas tanpa bukti nyata yakni kemakmuran rakyat.

Jika paradigma asas manfaat ini yang menjadi rujukan, maka Pemda tak perlu lagi repot mengejar WTP. Karena, WTP sendiri yang akan datang sebagai bukti dari sebuah pemerintahan yang gemilang dan tolak ukur kesuksesan seorang kepala daerah.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *