WTP Bukan Ukuran Pemerintahan Bebas Korupsi, Lepas Kolusi dan Bersih dari Pemborosan

Masyarakat umum dan banyak birokrat juga belum paham betul dengan kebenaran sifat audit keuangan. Mereka mempersepsikan jika opini hasil audit WTP, maka pengelolaan keuangan telah dinyatakan bersih dari penyimpangan. Masih banyak yang terpana ketika sebuah instansi pemerintah mendapatkan opini WTP, tetapi dalam hitungan bulan kemudian beberapa pejabat di instansi tersebut tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
2018 votes

Sebegitu dianggap penting dan berharganya WTP sampai-sampai sebagian Pemda menempuh semua cara. Harus tegas dikatakan bahwa berburu opini WTP sah-sah saja, malah sebuah keharusan agar pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan taat asas. Akan tetapi, perburuan itu menyesatkan bila dilakukan dengan cara tak terpuji. Cara tak terpuji itulah yang tersurat dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.

Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Kementerian Agama (Kemenag) 2012 lalu. BPK menyerahkan hasil audit dengan status WTP kepada menteri agama (Menag). Tapi beberapa hari setelahnya, KPK malah membongkar korupsi pengadaan Al-qur’an di kementerian ini. Ada juga kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. Namun, BPK tetap memberikan opini WTP atas penyajian laporan keuangan Kemenpora.

Upaya pemerintah untuk mencapai audit BPK dengan opini sempurna ini ternyata menciptakan peluang kolusi antara auditor dengan lembaga pemerintah.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya sudah ada enam kasus suap atau gratifikasi yang melibatkan 23 auditor BPK sejak 2005 – 2017. Auditor dimaksud menerima sogokan agar memberikan opini WTP terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga pemerintah. Dan di 2018, ICW mencatat, setidaknya ada 10 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK walau daerahnya sudah menerima predikat WTP. Para kepala daerah itu terdiri dari bupati, walikota, hingga gubernur.

Penangkapan kepala daerah penerima predikat WTP ini menjadi anomali. Alasan banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT oleh KPK tetapi tetap mendapat opini WTP dari BPK, itu lantaran praktik suap yang dilakukan kepala daerah tersebut tidak memengaruhi laporan keuangan.

Sehingga, kasus korupsi seperti “suap” masih mungkin terjadi meski BPK sudah memberi label predikat WTP. Mereka terima suap biasanya tidak bisa dideteksi dengan audit, karena itu mereka menerima suap.

Publik prihatin, sangat prihatin, opini WTP dijadikan alat transaksi suap. Kasus transaksional opini WTP harus dijadikan pembelajaran bagi kementerian/lembaga untuk tidak perlu mengambil jalan pintas demi menggapai kebanggaan opini WTP. Hal itu harus dicapai dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang melanggar hukum.

Demikian juga BPK yang notabenenya sebagai institusi pemberi opini, sangat perlu untuk mencegah sekecil apa pun celah terciptanya hubungan kolutif antara auditor dan lembaga yang diaudit. Para penyelenggara negara, termasuk BPK haruslah sadar sepenuhnya bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir. Itu hanya sasaran antara, sedangkan tujuan utamanya ialah keuangan negara dikelola sepenuhnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Predikat WTP dari BPK biasanya hanya berdasar audit berbasis sampel, oleh karenanya mungkin saja lolos dari perhatian BPK. Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri.

Pada umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tidak mungkin memeriksa seluruh transaksi, apalagi pada perusahaan besar atau entitas pemerintah yang menggunakan anggaran besar. Diperlukan biaya besar dan waktu lama untuk memeriksa seluruh populasi. Manfaat informasi dalam laporan keuangan juga sia-sia (menjadi basi) jika waktu pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan segera untuk pengambilan keputusan.

Penggunaan sampling merupakan praktik yang lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko terjadinya salah saji material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisis risiko dan metoda sampling yang tepat, maka risiko tersebut dapat diminimalisir.

Situasi itu sangat menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat “rekayasa” yang disusun sangat rapi sehingga sulit dideteksi. Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum (KPK, red).

Dengan keterbatasan audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk menjamin opini WTP bebas dari korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel audit, karena tidak semua transaksi diperiksa. Bisa terjadi, untuk sejumlah transaksi yang tidak diambil sebagai sampel, justru terjadi korupsi. Apalagi jika sifatnya penyuapan kepada pejabat publik, sangat sulit dideteksi dari transaksi yang diaudit.

Berdasarkan banyak di pemberitaan media massa yang bisa kita perhatikan secara seksama, seruan saya agar BPK jangan seperti sebelum-sebelumnya yang dengan gampangnya memberikan WTP, karena WTP tidak menjamin keuangan sehat dan transparan, bahkan terkadang WTP dimanfaatkan untuk menutupi kasus-kasus penyimpangan keuangan di daerah.

Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjual-belikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi buruk. Sebab, masyarakat tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah. Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *