Jakarta – Kehadiran versi terbaru dari film populer Indonesia tahun ini, “KKN di Desa Penari”, cukup membuat publik merasa heran. “Apa lagi yang harus dijelaskan?,” mungkin menjadi pertanyaan yang menyelimuti.
Namun, “KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni”, dengan tambahan durasi sebanyak 40 menit tersebut, agaknya memang diperlukan guna menghormati karya asli berupa utas Twitter dan buku dari @SimpleM81378523 yang viral beberapa waktu itu.
Alur masih mengikuti Nur (Tissa Biani), Widya (Adinda Thomas), Ayu (Aghniny Haque), Bima (Achmad Megantara), Anton (Calvin Jeremy), dan Wahyu (Fajar Nugraha) yang melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di sebuah desa terpencil di Jawa TImur.
Namun, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa desa yang mereka pilih bukanlah desa biasa. Pak Prabu (Kiki Narendra) sang kepala desa telah memperingatkan mereka untuk tidak melewati batas gapura terlarang.
Beberapa hari di desa tersebut, mereka mulai merasakan keanehan. Bima mengalami perubahan sikap dan program KKN mereka akhirnya berantakan.
Mereka pun mendapatkan teror sosok penari misterius menyeramkan. Lalu, mereka terancam tidak bisa pulang dengan selamat dari desa yang dikenal dengan sebutan desa penari tersebut.
Film yang memiliki versi extended tentu tak bisa lepas dari perbandingan dengan film pertamanya. Dengan membawa tagline “Luwih Dowo, Luwih Medeni”, yang berarti “(Durasi) Lebih Panjang, Lebih Mengerikan”, film ini bisa dibilang membawa kedua elemen tersebut dengan rapi.
Jika di film pertama dengan durasi asli (versi uncut) selama kurang lebih 130 menit, di film versi terbarunya, kini memiliki runtime selama kurang lebih 170 menit. Sutradara Awi Suryadi memanfaatkan waktu tambahan tersebut untuk memberikan lebih banyak detail baik untuk drama, penceritaan dan penyuntingan (editing) yang lebih mulus.
Banyak adegan baru yang disematkan menambah bumbu dari cerita — entah itu sisipan guyonan khas Jawa Timur yang menggelitik, petunjuk-petunjuk yang sebelumnya terlewat, pengenalan karakter yang lebih masuk akal, hingga tentu saja, elemen horor yang menegangkan.
Rentetan adegan dan babak dibungkus lebih rapi dan tidak terburu-buru dan melompat-lompat seperti di film pertamanya. Adaptasi naskah yang dilakukan pun agaknya lebih mirip dan lebih menghormati karya aslinya.
Beberapa tahun belakangan, terdapat cukup banyak film dengan durasi lebih dari 90 dan 120 menit. Tak hanya di Indonesia, di luar negeri pun, pemilihan durasi lebih dari “waktu wajar” tersebut juga menjadi pertimbangan berat, baik bagi rumah produksi atau studio, eksibitor, hingga calon penonton.
Namun, dengan banyaknya film dengan durasi panjang, agaknya dapat menjadi angin segar bagi para pembuat film untuk berkarya sesuai dengan waktu tayang yang mereka inginkan dan terasa ideal bagi penceritaannya.
Memang, film dengan waktu tayang panjang dapat menjadi tantangan bagi pembuat film: bagaimana agar penonton tidak bosan, bagaimana membuat ceritanya tidak bertele-tele dan tetap padat, hingga bagaimana aspek teknis yang diperlukan agar semua yang menontonnya merasa betah saat menyaksikan film tersebut.
Beberapa film global dengan durasi panjang populer belakangan ini termasuk “Avengers: Endgame” (181 menit), “Black Panther: Wakanda Forever (161 menit), dan “Avatar: The Way of Water” (162 menit).
Sama seperti “KKN di Desa Penari” yang berhasil menjadi film terlaris di Indonesia, film-film itu merupakan bukti bahwa penonton pun mau menyaksikan film kesukaannya terlepas dari lama atau tidaknya durasi.
Sebuah film mungkin harus sepanjang yang dibutuhkan untuk menceritakan kisahnya dengan cara yang menarik, dengan cara yang terus memikat penonton di sepanjang film, memancarkan diskusi baru, dan memberikan pengalaman sinematik yang berkesan.
“KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni” cukup berhasil membawa ketiga hal tersebut di atas. Dengan penceritaan dan penyuntingan yang lebih apik, membuat film ini layak untuk disaksikan kembali.
Film ini tayang di bioskop Indonesia mulai Kamis (29/12). Selain tayang di Indonesia, “KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni” juga akan hadir di beberapa negara seperti SIngapura dan Malaysia.
Setelah credit title, jangan segera beranjak dari kursi Anda karena akan ada kejutan berupa cuplikan yang tak kalah mengerikan dari film terbaru Kimo Stamboel “Sewu Dino”, yang juga merupakan adaptasi dari karya Simpleman. *
Sumber : Antara