Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta program penurunan stunting atau kekerdilan dijalankan dengan fokus dan tepat sasaran, bukan sekadar seremonial berupa pemberian makanan tambahan (PTM) dan gizi yang selalu dilakukan pada akhir tahun.
Hal tersebut disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko seusai mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden terkait percepatan penurunan kekerdilan, secara daring di Jakarta, Selasa.
“Sesuai arahan bapak Presiden, laju penurunan stunting per tahun minimal tiga (3) persen. Ini membutuhkan langkah fokus, tepat sasaran, dan terpadu, bukan seremonial untuk menghabiskan anggaran seperti sebelum-sebelumnya,” ujar Moeldoko dalam siaran pers Kantor Staf Presiden.
Moeldoko menyampaikan, program percepatan penurunan kekerdilan akan dilakukan secara terpadu, di bawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan BKKBN, dengan anggaran belanja sebesar Rp50 triliun.
“Langkah ini diambil karena sebelumnya percepatan penurunan stunting melibatkan 19 kementerian/lembaga. Ini yang dinilai bapak Presiden tidak efektif sehingga ke depan lebih disederhanakan,” jelas Moeldoko.
Selain itu, kata Moeldoko, percepatan penurunan kekerdilan harus memanfaatkan program Satu Data Indonesia agar intervensi pada daerah-daerah yang memiliki prevalensi kekerdilan tinggi bisa tepat sasaran.
“Jika ini dilakukan maksimal, target penurunan stunting menjadi 14 persen pada 2024 dapat tercapai,” tambah Moeldoko.
Dalam rapat terbatas yang digelar secara daring tersebut, Moeldoko juga menyampaikan beberapa rekomendasi untuk penurunan kekerdilan secara nasional. Di antaranya, perlunya dukungan pemerintah pusat berupa pendampingan teknis, barang, dan dana setidaknya untuk tiga provinsi dengan kekerdilan tertinggi, yakni NTT, Sulbar, dan Aceh.
“KSP juga meminta bapak Presiden memimpin Gerakan Nasional Posyandu Aktif, sebagai garda terdepan cegah stunting,” ujar Moeldoko.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tingkat nasional, tahun 2021 angka kekerdilan secara nasional turun sebesar 3,3 persen per tahun, yakni dari 27,7 persen pada 2019 menjadi 24,4 persen pada 2021. Penurunan tersebut dinilai belum signifikan karena masih di atas standar WHO yakni 20 persen.(*)
Sumber : Antara