Catatan:
H. Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)
PERSOALAN manusia sampai hari ini, bukan pada Tuhannya, tetapi dengan sesama manusia. Terhadap Tuhan, kita tidak ada masalah. Karena Tuhan sudah menitipkan petunjuk (jalan hidup). Bagi muslim, ada al Qur’an. Ada as Sunnah yang menguraikan petunjuk itu. Juga ada para ulama.
Ketika tidak menjalankan perintahNya, Tuhan tidak langsung menampar pipi Anda. Mengapa? Ya, itu tadi. Sudah beri petunjuk. Tinggal pilih. Jalan yang benar, atau jalan yang sesat. Tetapi sebagaimana janjiNya, hukuman pasti ada, kelak di kehidupan yang kekal.
Persoalan antar-sesama manusia tidak jarang melahirkan permusuhan. Perkelahian, bahkan fitnah. Karena sesama kita tidak lagi saling menghargai hak masing-masing. Kita sering lupa, bahwa orang lain juga punya hak yang tidak boleh dilanggar. Kelihatannya memang sepele. Tetapi, hak menjadi sangat penting lantaran dimiliki semua orang.
Dalam konteks ilmu hukum, hak merupakan sesuatu yang melekat, baik ditinjau dari aspek fisik personal maupun aspek eksistensial universal. Posisi hak, juga telah diletakkan dalam semua aspek hukum. Filosof dan ahli hukum, Amerika Serikat, Prof Ronald Myles Dworkin, mengatakan, adanya hukum lantaran adanya hak.
Di antara hak-hak itu, ada “hak hidup”. Di mana, hak paling azasi ini bukan hanya berkaitan dengan aspek fisik manusia melainkan juga aspek eksistensialnya. Hak ini sama sekali tidak boleh dirampas atas nama apapun.
Namun yang paling sering jadi masalah di tengah masyarakat adalah, “hak bebas berkehendak” (freewill). Hak ini yang sering disalahgunakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Seakan-akan hak bebas berkehendak identik dengan suka-suka tanpa peduli hak orang lain.
Beda, kebebasan berkehendak antara manusia dengan binatang. Perilaku binatang berdasarkan insting. Sedangkan manusia berbuat berdasarkan kehendak atau niat. Atas dasar hak, munculah aturan-aturan dari pemerintah.
Dan kebebasan untuk melakukan sesuatu harus diimbangi dengan nalar – kemampuan berpikir dengan akal sehat. Akal sehat yang akan membatasi kebebasan seseorang untuk berbuat sesuka hati.
Ada contoh menarik tentang penyalah-gunaan hak bebas. Tahun 1855, Majelis Hakim Pengadilan Colmar memutuskan sebuah sengketa mengenai pembuatan cerobong asap. Perkara itu bermula dari dua orang bertetangga yang tinggal di rumah susun.
Katakanlah, si Fulan dan si Fulin. Si Fulan bertempat tinggal di lantai yang lebih tinggi dari si Fulin, yang memungkinkan si Fulan menikmati pemandangan lewat jendela. Si Fulin yang iri terhadap si Fulan, lantas membangun cerobong asap hanya untuk menghalangi pandangan si Fulan.
Pengadilan Colmar yang memeriksa cerobong asap itu memastikan, cerobong asap tersebut palsu. Palsu yang dimaksud dalam peristiwa ini adalah, cerobong dibangun si Fulin bukan atas dasar kebutuhan, melainkan hanya untuk menghalangi pandangan si Fulan ke luar rumah.
Atas dasar penyalahgunaan hak, pengadilan kemudian memerintahkan agar cerobong asap milik si Fulin dibongkar. Kita memang punya hak bebas. Namun hak kebebasan itu bukan berarti suka-suka. Ada aturan yang mengatur kebebasan itu.
Kalau pun tidak ada aturan, bagi manusia yang punya akal sehat, tentu akan berpikir; kalau saya begini…, begitu.., orang lain bagaimana? Dulu, ketika saya masih di SD, guru mengajari kami etika.
Misalnya, tidak boleh bertamu ke rumah orang lain pada jam-jam istirahat. Batas waktu bertamu tidak boleh lewat dari jam 10 malam karena si empunya rumah mau istirahat. Musik harus dihentikan dibawah jam 10 malam, kecuali ada kesepakatan dengan para tetangga.
Orang-orang dulu, meskipun pendidikan formalnya rendah, bahkan mungkin tidak ada, dan belum tahu aturan. Namun, mereka punya kemampuan berpikir tentang, bagaimana menghargai sesama.
Adagium lama bilang: “jika engkau ingin dihargai, maka hargai orang lain. Sebelum melakukan sesuatu, sebaiknya cubit dirimu sendiri. Kalau engkau di posisi dia, bagaimana perasaanmu”. (**)