PENGRAJIN IKAT KEPALA KHAS SUKU TIDUNG YANG BIASA DISEBUT SINGAL, MERASAKAN ANGIN SEGAR SEMENJAK BERLAKUNYA PERATURAN WALI KOTA (PERWALI) NOMOR 7 TAHUN 2021, TENTANG PAKAIAN DINAS BAGI APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TARAKAN. BAGAIMANA PROSPEKNYA KE DEPAN?
APARATUR Sipil Negara di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan wajib mengenakan seragam batik dan singal khas Tarakan per 1 Juli 2021. Hal ini dikatakan Chelsea selaku pengelola UMKM Center sangat tepat, pasalnya dapat melestarikan budaya dan menumbuhkan iklim ekonomi yang lebih baik.
Di UMKM Center, singal dibanderol seharga Rp 120 ribu dan dapat juga dilakukan pembelian di Baloy Adat Tidung Kelurahan Kampung Enam.
Kepada koran Benuanta, Chelsea mengemukakan, ia mengawali pembuatan Singal pada Maret tahun 2020. “Kita awalnya biasa produksi atas permintaan Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata Kota Tarakan,” ungkapnya pada Kamis, 26 Agustus 2021.
Ia mengakui terdapat penurunan jumlah produksi saat sebelum pandemi Covid-19 melanda. Sejak awal produksi, Chelsea dapat memproduksi Singal sebanyak 50 sampai 100 buah singal per hari, namun kini turun menjadi hanya 30 sampai 50 buah singal dalam kurun waktu dua hari.
Bahkan, diawal penjualannya masih minim jumlah pembeli yang memesan padanya. Namun, sejak terbitnya kebijakan Walikota Tarakan yang mewajibkan ASN menggunakan singal, penjualannya pun dibanjiri pembeli dari kalangan ASN. Terutama saat kegiatan APEKSI, para tamu dari luar daerah pun melonjak membeli produknya.
Adapun dikatakan Chelsea hanya terdapat satu jenis Singal yang diproduksinya, guna menggencarkan sosialisasi ke masyarakat. “Satu jenis dulu supaya masyarakat tidak bingung,” sambung dia.
Meski begitu, pembuatan atribut kebudayaan tersebut juga melirik segmentasi pasar, selera kekinian dan peruntukan pemakai. “Misalkan untuk para pimpinan, tetua itu ada singalnya langsung dipakai. Kemudian untuk tamu biasanya agak lebih tinggi,”jelasnya.
Chelsea yang memiliki 4 orang tim, nantinya bakal membuat Singal yang ramah dengan selera nilenial disertai harga yang terjangkau.(*)
Pelestarian Singal Mempertegas Salah Satu Identitas Budaya di Tarakan
Singal, salah satu perlengkapan busana tradisional laki-laki suku Tidung, berupa kain yang digunakan sebagai penutup kepala, menjadi salah satu busana dan pakaian identitas budaya Kota Tarakan turun temurun.
Dengan berukuran 1 meter bujur sangkar, yang dilipat diagonal dari sudut ke sudut dan diikat di kepala, singal kerap menjadi busana andalan dalam acara adat maupun pernikahan suku Tidung.
Budayawan Kaltara, Datuk Norbeck mengatakan, bentuk dari singal terdapat 2 jenis, ada yang disebut singal tangkub dan yang kedua disebut singal tanjak. Kedua nama singal ini berasal dari kata dasar bahasa daerah Tidung. Secara umum yang menggunakan singal tangkub merupakan pria yang berusia diatas 60 tahun.
Dijelaskan Datuk Norbeck, Singal tanjak memiliki sudut kain ke atas dan terbuka. Singal tanjak terdiri dari 3 macam yakni Tanjak Bengkulung atau tanjak yang mengarah belakang, Tanjak Temagot ke kanan, dan Tanjak Kait ke kiri.
“Yang dipakai sehari-hari biasanya adalah Tanjak Bengkulung, namun biasanya karena sering digunakan tanjaknya tidak berdiri lagi dan rebah,” ujar Datuk Norbeck.
Singal dengan tanjak ke kiri biasanya dipakai oleh orang-orang dulu, jarang ditemui atau digunakan sekarang. Orang dulu menggunakan tanjak kiri untuk mengayau atau menyerang dan berperang.
“Jika untuk acara adat, biasanya yang digunakan tanjak kanan, kalau tanjak belakang sehari-hari. Kalau sekarang sudah tidak ada yang pakai tanjak kiri, kalaupun ada pasti dipertanyakan,” terangnya.
Datuk Norbeck juga menceritakan, orang-orang Malaysia menyebut ikat kepala serupa dengan sebutan tanjak atau tenggolok, berbeda dengan adat Tidung di Tarakan yang menyebut tanjak hanyalah bentuk atau sudut dari kain singal.
Menurut pantauan Datuk Norbeck, di Malaysia secara umum memakainya dengan tanjak ke sebelah kiri, kalau ke kanan hanya orang-orang tertentu atau keluarga kerajaan, berbeda dengan adat Tidung disini semuanya menggunakan tanjak dengan sudut ke kanan.
“Kemudian kain singal biasanya bermotif batik, setelah mengenal batik orang tidung juga menggunakan singal batik yang tentunya terinspirasi dari batik Jawa, karena namanya budaya juga tidak harus berasal dari produk buatan sendiri,” tuturnya.
Orang Jawa membuat dan menggunakan batik, dan menyebar hingga orang Tidung pun mengenal dan juga suka dengan batik hingga memakainya, orang Jawa membuat kain untuk singal biasanya disebut iket, kalau yang sudah jadi namanya Blangkon.
“Tapi mereka (orang Jawa) tidak memakai semua motifnya, ada beberapa motif yang dibuat khusus atau diberikan untuk orang diluar pulau jawa,” sebutnya.
Datuk Norbeck memberikan contoh, busana khas negara Arab yakni gamis sering digunakan masyarakat negara penghasil minyak tersebut. Namun Arab jarang memproduksi pakaian atau busana khas mereka sendiri melainkan diproduksi oleh negara lain seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Vietnam.
“Dalam artian budaya suatu bangsa atau suku tidak harus diproduksi oleh kalangan mereka sendiri,” jelasnya.
“Dulu sudah ada hubungan dengan orang Jawa dan kemudian melakukan pemesanan kain bermotif, ada singal peninggalan kakek saya namun sudah lapuk dan saya bawa ke Jogja untuk menanyakan asal usul motif batik tersebut. Orang Jogja tahu dan mengatakan motif singal tersebut merupakan motif buatan Solo, mereka tau motif tersebut bukan motif untuk Jawa namun motif pesanan dari luar Jawa yang diproduksi mereka (Orang Jawa),” tambahnya.
Datuk Norbeck lanjut menjelaskan, saat ini membuat batik bukanlah hal yang sulit. Contohnya di Malinau, Tarakan bahkan Kaltara sudah mempunyai pengrajin atau pembuat batik sendiri, kedepannya nanti bisa membuat motif khusus untuk singal adat Tidung.
Kebijakan Walikota juga mewajibkan PNS menggunakan singal seminggu sekali setiap hari kamis, selain menjadi salah satu cara singal bisa dikenal masyarakat luas, hal tersebut juga menjadi bentuk pelestarian budaya dan membuat singal laku di pasaran.
Menurut pantauan Datuk Norbeck, masyarakat juga suka menggunakan singal, uniknya anak-anak muda juga menyukainya, padahal anak muda pada umumnya kurang tertarik dengan pakaian-pakaian adat.
Cara melipat singal dulu sedikit berbeda dengan yang sekarang, cara mengikatnya tetap sama, tapi karena kerap dilipat dan ditindis singal jadi terlihat gepeng, kalau yang diikat dikepala terlihat gepeng.
Terdapat dua orang pengrajin pembuat singal di Kota Tarakan, yang pertama bernama Usman, lalu orang UMKM bernama Chelsea yang merupakan keturunan Tionghoa.
“Chelsea membuat yang praktis sehingga berbentuk gepeng, berbeda dengan Usman yang membuatnya di dalam kotak sehingga bentuknya tetap berisi dan tidak gepeng,” sebutnya.
Karena hal tersebut harganya menjadi berbeda, jika menggunakan kotak pasti diberikan harga kemasan jadi lebih mahal, namun kualitasnya lebih bagus dibandingkan singal yang gepeng. Namun dengan bentuk gepeng dan berisi juga tidak akan mengubah makna singal.
Awal mula budaya menggunakan singal juga masih belum diketahui, yang pasti singal dengan motif batik sudah ada sejak batik sudah dikenal di Kalimantan.
“Untuk singalnya sendiri mungkin sangat jauh sebelum itu, sebab budaya menggunakan singal di Kaltara bukan hanya digunakan Bulungan dan Tidung, suku-suku yang berada di Tana Tidung juga menggunakan singal, seperti orang Berusu, Agabag, bahkan Lundayeh juga menggunakan singal. Singal Tidung hampir sama dengan singal lainnya, namun suku lain kebanyakan menggunakan tangkup,” terangnya.
Datuk Norbeck juga sangat mengapresiasi langkah pemerintah dalam melestarikan singal, dan banyak hal positif yang didapatkan dari pelestarian tersebut, kain singal jadi banyak terjual bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan dan mempertegas salah satu identitas budaya Kota Tarakan.
“Saya kira adanya singal modifikasi juga diminati anak muda, namun tentu kita berharap generasi muda mengenal, menyukai dan mengetahui budaya tradisi di daerahnya, karena yang namanya tradisi pasti melewati berbagai macam proses dan memiliki nilai-nilai luhur,” tutupnya.(*)
Singal di Mata Kawula Muda: Gebrakan Pelestarian Budaya
Antusias pemuda di Kota Tarakan terkait penggunaan Singal (Ikat Kepala Khas Suku Tidung), yang kini menjadi kewajiban Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan untuk mengenakannya.
Hal itu telah diatur melalui Peraturan Wali (Perwali) Kota Tarakan Nomor 7 Tahun 2021 dan Surat Edaran (SE) Wali Kota Tarakan Nomor : 060/532/ORG yang mewajibkan seluruh PNS pria di lingkungan Pemkot Tarakan wajib menggunakan Singal dan Batik Tarakan.
Kaum muda pun tak ingin kalah mengumandangkan melestarikan budaya tersebut, berbagai sikap dan respon kian mengalir deras terhadap singal.
Seperti halnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Tarakan, yang turut mengapresiasi kebijakan tersebut serta berbela rasa untuk terlibat melestarikannya.
“Saya melihat bahwa Kota Tarakan merupakan daerah yang sangat kaya akan nilai-nilai budaya serta historisnya, tentunya ini menjadi warisan yang sangat berharga dari leluhur dan wajib untuk kita lestarikan dan jaga,” ujar Sekretaris GMKI Cabang Tarakan, Agung Wiranto.
Tak hanya ingin menggunakan singal sebagai respons kebanggaan, ia pun mendorong agar kedepannya lebih banyak lagi nilai-nilai budaya yang dilestarikan melalui kebijakan pemerintah agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” sambung Agung.
Sama halnya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Tarakan, organisasi mahasiswa yang bernuansa Islam ini pun menilai penggunaan singal bagi masyarakat Kota Tarakan merupakan sebuah langkah konkret dan perlu diberikan apresiasi. “Upaya ini memberikan edukasi kepada masyarakat tentang budaya lokal di tengah maraknya akulturasi budaya asing,” tutur Ketua Umum PC PMII Tarakan, Mohd Nizam.
Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT) ini menganggap memberikan Multiplier Effect, di antaranya peningkatan ekonomi kreatif berbasis lokal dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan produksi batik.
Sejatinya, kaum muda telah terbukti memberikan pengaruh di setiap masanya. Beragam karya dan perjuangan hendaknya ditunaikannya, terutama dalam melestarikan budaya bangsa.
Sementara itu, Presiden Mahasiswa STMIK PPKIA Tarakanita Rahmawati, Eva Clara Wati Situmorang memastikan pihaknya bakal selalu mendukung dengan penggunaan singal, lantaran hal itu menurutnya memajukan aset kebudayaan daerah dan kestabilan iklim ekonomi. “Tentu sangat membanggakan, kita menyambut baik dan harapannya agar dapat melibatkan mahasiswa dalam pelestariannya,” ucap kader GMKI Cabang Tarakan itu.
Pun demikian, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tarakan akui bangga dengan Pemerintah Kota Tarakan yang membukakan pintu seluasnya bagi pelestarian budaya.
“Alhamdulillah denga adanya kebijakan tersebut kami merasa senang. Karena selain bisa memperkenalkan budaya Kota Tarakan juga bisa menambah minat masyarakat, baik yang dari Tarakan maupun luar Tarakan, untuk membeli atau menggunakan singal tersebut yang berujung pada peningkatan pendapatan khususnya bagi UMKM kita,” imbuh Ketua Umum HMI Cabang Tarakan, Muhammad Nazar.
Lanjut Nazar, pihaknya mengajak masyarakat bumi Paguntaka belajar dari Kalimantan Selatan, betapa terkenal dan bangganya masyarakat Kalsel untuk menggunakan Sasirangan yang merupakan salah satu atribut kebudayaan lokal.
Meski begitu, tantangan demi tantangan kerap hadir ditengah antusiasnya generasi muda dalam menggunakan singal.
Gebrakan ini juga mengundang respons Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Tarakan yang menilai bahwa penggunaan batik dan singal merupakan ikhtiar untuk merawat keindonesiaan.
“Kami dari GP Ansor Kota Tarakan mendukung penuh langkah Pemkot membuat kebijakan wajib memakai batik dan singal. Saran kami agar kedepannya ada upaya lagi agar semua elemen masyarakat dapat cinta dan menggunakan singal,” tandas Sekretaris GP Ansor Kota Tarakan, M. Zaid Hadi.(*)
Reporter : Kristianto Triwibowo