SEBAGAI provinsi termuda di Indonesia, Kalimantan Utara (Kaltara) terus berusaha meningkatkan lapangan pekerjaan untuk menekan angka pengguran yang setiap tahunnya menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) besar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara. Meski ada penurunan, namun angkanya belum signifikan sehingga perlu perhatian khusus agar angka pengangguran tak meningkat pesat setiap tahunnya. Mencegah hal itu, Pemprov Kaltara harus benar-benar serius dalam menangani pengangguran.
Angkatan kerja pada dasarnya merujuk pada kelompok penduduk yang berada pada pasar kerja, yaitu penduduk yang siap terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif. Dalam hal ini, terdiri dari mereka yang bekerja dan menganggur. Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Utara pada tahun 2019 sebesar 335.108 jiwa, dan pada tahun 2020 menjadi sekitar 347.731 jiwa. Selama kurun waktu 2019–2020, terjadi penambahan jumlah penduduk yang masuk dalam angkatan kerja sebesar 12.672 jiwa. Terdapat pula perbedaan yang cukup menyolok pada jumlah angkatan kerja menurut jenis kelamin, dimana jumlah angkatan kerja laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan angkatan kerja perempuan. Disadur dari “Buku Angkatan Kerja Provinsi Kalimantan Utara 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik Kaltara” angkatan kerja laki-laki sejumlah 232 ribu jiwa (66,73 persen) sedangkan angkatan kerja perempuan berjumlah 115 ribu jiwa atau sekitar 33,27 persen dari total angkatan kerja.
Selama kurun waktu 2019–2020 jumlah angkatan kerja laki-laki mengalami peningkatan sebesar 3.974 jiwa, dan jumlah angkatan kerja pada perempuan meningkat sebesar 8.649 jiwa. Menurut daerah tempat tinggal terlihat bahwa jumlah dan persentase angkatan kerja di perdesaan lebih kecil dibanding dengan jumlah dan persentase angkatan kerja di perkotaan. Tercatat pada Tabel 2.2, untuk daerah perdesaan terdapat sekitar 132 ribu orang angkatan kerja atau sekitar 38,03 persen, sedangkan di perkotaan terdapat sekitar 215 ribu orang angkatan kerja atau sekitar 61,97 persen dari total angkatan kerja.
Selanjutnya bila diamati menurut kelompok umur, persentase terbesar dari angkatan kerja berada pada kelompok umur 25–54 tahun yang mencapai 69,59 persen. Sedangkan pada kelompok umur 15–24 tahun terdapat sekitar 15,76 persen dari total angkatan kerja dan 14,65 persen berumur 55 tahun ke atas. Keadaan ini didasarkan pada kondisi bahwa untuk penduduk usia kerja berumur 15–24 tahun, dimungkinkan cenderung masih melanjutkan pendidikan sehingga sedikit yang masuk dalam golongan angkatan kerja, sedangkan penduduk usia kerja berumur 55 tahun ke atas dimungkinkan sudah merupakan usia pensiun dan tidak bekerja lagi sehingga sedikit yang masuk dalam golongan angkatan kerja.
Menurut data Sakernas 2020, diperoleh informasi bahwa penduduk usia kerja di Provinsi Kalimantan Utara lebih banyak yang masuk dalam angkatan kerja dibanding bukan angkatan kerja. Dari persentase penduduk bukan angkatan kerja bulan Agustus 2020 tercatat sebanyak 33,49 persen dari jumlah penduduk usia kerja, terdiri dari 8,14 persen penduduk yang sekolah, 20,68 persen penduduk yang mengurus rumah tangga dan 4,68 persen penduduk yang mempunyai kegiatan lainnya.
Penduduk bukan angkatan kerja perempuan didominasi oleh penduduk yang mengurus rumah tangga. Dari 52,38 persen penduduk bukan angkatan kerja perempuan, sebagian besar (40,44 persen) mempunyai kegiatan mengurus rumah tangga dan sisanya (11,94 persen) terdiri dari mereka yang bersekolah dan mempunyai kegiatan lainnya. Sedangkan untuk penduduk laki-laki, kegiatan mengurus rumah tangga justru merupakan bagian terkecil. Dari 17,09 persen penduduk bukan angkatan kerja laki-laki, hanya 3,52 persen yang mempunyai kegiatan mengurus rumah tangga, sedang bersekolah sekitar 7,26 persen dan 6,30 persen mempunyai kegiatan lainnya.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah. TPAK diukur sebagai persentase jumlah angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) terhadap jumlah penduduk usia kerja. Semakin tinggi TPAK menunjukkan semakin besar bagian dari penduduk usia kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan produktif memproduksi barang dan jasa, dalam kurun waktu tertentu. TPAK di Kalimantan Utara pada Agustus 2020 tercatat sebesar 66,51 persen. Hal ini berarti bahwa dari 100 orang penduduk usia kerja, sekitar 67 orang termasuk angkatan kerja. Atau dapat diartikan dari 1.000 orang penduduk usia kerja sekitar 665 orang diantaranya aktif secara ekonom
Apabila dikaitkan dengan isu gender, menunjukkan bahwa TPAK laki-laki jauh lebih besar dari pada TPAK perempuan, masing-masing sebesar 82,91 persen dan 47,62 persen. Di Indonesia khususnya di Kalimantan Utara pembagian tugas dalam keluarga sebagian besar rakyat memposisikan pria yang berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan mengurus rumah tangga menjadikan kesempatan bekerja untuk perempuan menjadi lebih kecil. Sementara itu bila dibedakan menurut daerah, TPAK di daerah perkotaan dan perdesaan hampir seimbang yaitu masing-masing sebesar 66,33 persen dan 66,80 persen.
Dilihat menurut jenjang pendidikan, TPAK untuk Perguruan Tinggi tercatat paling tinggi yaitu 89,29 persen, diikuti Pendidikan SMA/SMK sebesar 71,84, Pendidikan SD ke Bawah 63,29 persen dan yang terendah adalah SMP/MTS/Sederajat 50,33 persen. Secara umum seperti yang terlihat pada Gambar 2.3, terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan maka tidak selalu TPAK-nya semakin tinggi pula.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) memberikan indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka. TPT dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pengangguran terbuka dengan jumlah angkatan kerja, dinyatakan dalam persentase. Ukuran ini dapat digunakan untuk mengindikasikan seberapa besar penawaran kerja yang tidak dapat terserap dalam pasar kerja di Kalimantan Utara.
TPT di Kalimantan Utara pada Agustus 2020 tercatat sebesar 4,97 persen yang berarti bahwa dari 100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 5 orang yang menganggur. Bila dilihat menurut jenis kelamin, TPT perempuan lebih tinggi dari pada TPT laki-laki, tercatat masing-masing sebesar 5,09 persen dan 4,73 persen. Berdasarkan tipe daerah terlihat bahwa TPT untuk daerah perkotaan sebesar 5,74 persen, lebih besar dibandingkan dengan TPT daerah perdesaan yang tercatat sebesar 3,73 persen sebagai bagian efek dari adanya industrialisasi.
Pengangguran terjadi sebagai akibat dari tidak sempurnanya pasar tenaga kerja, atau tidak mampunyai pasar tenaga kerja dalam menyerap tenaga kerja yang ada. Kondisi tersebut mengakibatkan timbulnya sejumlah pekerja yang tidak diberdayakan dalam kegiatan perekonomian. Hal ini terutama terjadi di daerah perkotaan dimana antara permintaan dan penawaran tenaga kerja tidak seimbang.
Angka pengangguran di Kaltara turut menjadi perhatian para ekonom di provinsi termuda ini. Seperti yang diutarakan Dr. Ana Sriekaningsih, SE, MM. Pengangguran terbuka terdiri dari mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha dan mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
Menurut Dr. Ana, dengan adanya data yang menunjukkan angka penurunan penggangguran terbuka, menurutnya hal itu pertanda baik karena perekonomian yang membaik tercermin dari menurunnya jumlah pengangguran terbuka dan tingkat pengangguran terbuka. Selain itu, kualitas hidup masyarakat juga akan dapat meningkat jika pengangguran terbuka menurun.
Data pengangguran terbuka di Kaltara hingga kini BPS mencatat sebanyak 16.343 orang. Masih banyaknya jumlah pengangguran ini dikatakan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tarakan tersebut, dapat disebabkan beberapa hal seperti ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas sehingga tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah dan masih tingginya angka pengangguran meskipun sudah ada penurunan.
“Hal tersebut akan menimbulkan masalah, tidak hanya menimbulkan masalah-masalah di bidang ekonomi, melainkan juga berbagai masalah di bidang sosial. Maka dari itu pemerintah selayaknya tidak hanya fokus pada bantuan tunai saja tetapi juga memikirkan dan membuka lapangan pekerjaan,” ungkap Dr. Ana.
Lanjutnya, program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat yang masuk dalam pengangguran atau miskin. “Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen,” ujarnya.
Ekonom mencermati keadaan apalagi ditambah kondisi pandemi Covid-19 masih melanda Indonesia, khususnya Kaltara, perlu pemerintah mendukung pertumbuhan para pelaku UKM. “Salah satu upaya yang pemerintah perlu terus-menerus dikembangkan adalah Usaha Kecil Mikro (UKM) Konsep sektor informal dan usaha mikro menarik perhatian dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak karena sektor kegiatan usaha ini menyangkut pemberdayaan perekonomian rakyat,” jelasnya.
Lebih jauh dikatakan Dr. Ana, pemerintah harus berupaya sekuat tenaga untuk mengatur dan mengarahkan sektor-sektor produktif, investasi publik dan regulasi yang lebih mengarah pada penyediaan lapangan kerja. “Oleh sebab itu, kebijakan Pemerintah tentunya akan lebih berpihak kepada masyarakat miskin yang disebabkan oleh pengangguran, sehingga kepentingan masyarakat miskin akan menjadi prioritas dalam pembangunan,” tandasnya.
Menekan angka pengangguran di Kaltara bukanlah hal mudah, namun perlu dilakukan dengan baik dan benar. Tak serta merta membuka lapangan pekerjaan yang banyak, juga dibutuhkan keterampilan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul di bidangnya masing-masing. Dengan mendukung penuh program pemerintah dalam mengatasi pengangguran di masa pandemi Covid-19, Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Malinau perkuat program pelatihan kerja kepada masyarakat khususnya pemuda untuk memberikan pembekalan memasuki dunia kerja.
Kepala Disnaker Malinau, Irwan Darma mengatakan penguatan program pelatihan untuk memberikan kemampuan bidang kerja kepada masyarakat yang ingin melakukan usaha atau mencari pekerjaan. “Kami memiliki beberapa program kerja, termasuk orientasi pelatihan kerja. Nantinya dapat meningkatkan kemandirian peserta yang mengikuti program ini dengan memberikan bekal ilmu untuk terjun ke dunia kerja,” ungkap Irwan kepada Benuanta.
Dalam pelaksanaan orientasi pelatihan kerja, Irwan menjelaskan peserta yang mengikuti program ini nantinya akan diberi bimbingan dan bekal ilmu sesuai dengan jenis pelatihan yang dipilih para peserta.
“Banyak pelatihan yang bisa diambil sesuai dengan kebutuhan atau pilihan peserta diantaranya ada pelatihan otomotif, pembangunan, kerajinan tangan,” ujarnya.
“Dari semua pelatihan itu tentunya akan sangat berguna untuk para peserta, bekalnya bisa dibuat untuk membuka usaha atau bekerja di perusahaan,” tambahnya.
Tak hanya itu, selain kemampuan pada bidang yang disediakan, peserta juga akan diberikan alat-alat yang sesuai dengan program pelatihan yang mereka ikuti. “Ada alat bengkel, alat pertukangan hingga alat kesenian kerajinan tangan atau alat yang sesuai dengan pelatihan mereka. Jadi, jika mereka tidak bekerja, mereka bisa menggunakan alat itu untuk membuka usaha,” pungkasnya.
Irwan berharap melalui pelatihan kerja ini, agar perusahaan yang membutuhkan SDM tidak lagi mencari pekerja dari luar wilayah Malinau karena bisa merekrut langsung para peserta yang telah mengikuti pelatihan kerja tersebut.
Tak hanya di Malinau, hal serupa juga dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan seperti yang dilakukan Walikota Tarakan dr. H. Khairul, M. Kes yang membuka kegiatan pelatihan 10 kejuruan teknik las SMAW 6G, teknologi informatika dan komunikasi di Aula UPTD Lembaga Latihan Kerja Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, Kelurahan Kampung Enam, beberapa waktu lalu.
Walikota Khairul mengharapkan setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan ini, para peserta dapat menjadi terampil dan berdaya saing serta memiliki kemauan untuk berwirausaha mandiri sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran di Kota Tarakan.
Ia pun berpesan kepada para peserta agar semaksimal mungkin dapat menyerap ilmu pengetahuan yang dilakukan selama pelatihan. Tak sedikit masyarakat yang ingin mengikuti kegiatan ini tidak dapat kesempatan sebab, jumlah yang disediakan terbatas.
“Harus betul-betul diperhatikan proses pelatihan ini dan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya ilmu yang didapatkan itu bisa dimanfaatkan,” ujar Walikota Tarakan, dr. H. Khairul, M.Kes kepada benuanta.co.id, usai mengunjungi beberapa lokasi pelatihan, Selasa (8/6).
Pelatihan ini memberikan keterampilan teknis atau pendidikan vokasi, kata Khairul memang sangat bergantung pada keterampilan dan keilmuan. “Terampil itu kan sangat tergantung dari usaha dia untuk mencoba melakukan pekerjaan itu. Kalau tidak, ilmunya tahu tapi tidak terampil dalam melakukan pekerjaan itu,” terangnya.
“Saya harap mereka betul-betul memperhatikan apa yang disampaikan instruktur, dikerjakan dilakoni dengan serius karena waktunya (pelatihannya) ada yang hanya 33 hari ada yang 50 hari. Tidak terlalu banyak waktunya,” tukasnya. (osa/gik/ram/nik)