Belum Ada Vaksin untuk Flu Babi Afrika
DINAS Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kaltara telah mengetahui soal adanya isu penyebaran virus African Swine Fever (ASF) 3 distrik di Malaysia. Bahkan saat ini pihak DPKP Kaltara telah menindaklanjuti arahan dari Dirjen Pertanian soal flu babi Afrika itu.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kaltara Wahyuni Nuzband mengatakan, langkah-langkah yang pihaknya telah lakukan saat ini diantaranya pemantauan kasus ASF di Kaltara, antara lain menindaklanjuti pelaporan kematian babi hutan.
Dari laporan yang ada, terdapat laporan kematian babi yang disaksikan oleh warga. Bahkan di Nunukan beberapa ekor babi ditemukan mati dan hanyut di sungai. Menurut data populasi ternak Tahun 2020, populasi ternak babi di Kabupaten Nunukan mencapai 4.090 ekor, Kabupaten Malinau 12.702 Ekor dan Kota Tarakan 5.504 ekor.
Pada 30 Maret 2021, Dinas Pertanian Dan Ketahanan Pangan menerima informasi adanya kematian babi hutan secara tidak wajar yang dilaporkan oleh Petugas Kesehatan Hewan Kabupaten Nunukan Kecamatan Tulin Onsoi.
Pihaknya telah mendapatkan informasi akurat mengenai pengakuan warga melihat babi hanyut di sungai Nunukan. Bahkan ada sampel yang telah diambil untuk diuji di laboratorium untuk memastikan penyebab kematian pada babi itu di tengah isu ASF yang beredar. “Jadi, untuk hasil uji sampel babi pada laboratorium hasilnya belum keluar,” jelas Wahyuni.
Sejauh ini, berdasarkan hasil pemantauan di Kabupaten Malinau belum ditemukan adanya dugaan kejadian penyakit ASF. Namun berdasarkan hasil pemantauan juga diketahui bahwa masih terdapat peternakan babi yang memanfaatkan limbah sisa makanan dari hotel dan bandara (swell feeding) sebagai bahan pakan ternak mereka.
Kondisi ini tentunya berbahaya dan dapat meningkatkan resiko kejadian penyakit ASF. Pihak membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan telah melakukan langkah edukasi kepada para peternak untuk tidak menggunakan limbah pakan dari restoran, bandara ataupun pelabuhan guna mencegah kejadian penyakit ASF .
“Meskipun penyakit ASF tidak bersifat zoonosis namun memberikan dampak kerugian ekonomi yang besar bagi peternak babi,” ujarnya.
Berdasarkan hasil pemantauan di pedagang babi, sejauh ini daging babi masih diperjual belikan. Masyarakat umumnya belum menerima informasi yang cukup terkait penyakit ASF. “Mayoritas daging babi yang diperjualbelikan adalah daging babi hutan yang berasal dari wilayah hutan Kabupaten Malinau,” ucapnya.
DPKP Kaltara telah melaksanakan profiling dan pemetaan peternakan babi di Kaltara. Kemudian pelaporan melalui ISIKHNAS (integrasi sistim kesehatan hewan nasional). Pembinaan kepada pelaku usaha peternakan babi dan pengambilan sampel untuk pengujian ASF telah dikirim BVET Banjarbaru dan hasilnya belum keluar.
DPKP Kaltara berencana akan melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada masyarakat yang memiliki babi bersama Balai Karantina Pertanian Tarakan. “Jadi nanti kita akan melakukan sosialisasi KIE ASF bersama Balai Karantina Pertanian Kelas II Tarakan,” tambahnya.
Lanjut Wahyuni, ASF memang tidak termasuk kedalam penyakit zonoosis namun penyakit ini dapat memberikan dampak kerugian ekonomi yang besar pada peternakan babi yang terjangkit, dikarenakan tingkat kematian yang dapat mencapai 100 persen dan belum ditemukannya obat atau vaksin untuk penyakit ini sehingga pencegahan adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan kesiapsiagaan terhadap penyebaran penyakit ASF.
Dalam mendukung upaya tersebut perlu adanya kerjasama yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi , Pemerintah Daerah Kabupaten serta stakeholder terkait. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dalam upaya pencegahan kejadian penyakit ASF.
Diantaranya pembuatan kebijakan pelarangan pemasukan ternak babi / produk asal babi dari wilayah outbreak atau beresiko serta larangan menjual ternak yang sakit. Peningkatan pengawasan diperbatasan guna mencegah adanya lalu lintas ternak babi dan atau produk asal babi yang berasal dari wilayah outbreak atau berisiko. Aktifasi checkpoint dalam upaya peningkatan pengawasan lalu lintas hewan.
“Melaksanakan kegiatan Komunikasi , Informasi dan Edukasi (KIE) terkait penyakit ASF langsung kepada peternak atau pelaku usaha peternakan dan produk hewan asal babi, mengingat penyakit ASF merupakan penyakit yang tergolong baru di Indonesia dan masih kurangnya informasi yang ada di masyarakat terkait penyakit ini,” pungkasnya. (ram/kik)