RENCANA Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Utara (Kaltara) untuk mengembalikan pelabuhan Tengkayu I ke Kota Tarakan tentu menjadi angin segar bagi pemerintah Kota Tarakan. Jika terwujud bukan tidak mungkin ‘tulang punggung’ Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tarakan itu, dapat mendongkrak pendapatan Tarakan melalui potensi Pelabuhan Tengkayu I yang cukup menjanjikan bila dikelola dengan maksimal oleh Pememerintah Kota (Pemkot) Tarakan.
Namun begitu, ahli bidang ekonomi justru menilai di samping dampak positif jika pelabuhan ini dikembalikan pengelolaannya ke Pemkot Tarakan bakal menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksudkan, jika pengembalian tidak disertakan dengan regulasi yang baik. Pengamat Ekonomi dari Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr Margiyono S.E, M.Si menerangkan pengembalian pelabuhan Tengkayu I tentu menunjang PAD. Selain itu, juga berpotensi melahirkan pengembangan pembangunan bagi sektor lain di Kota Tarakan.
“Dari pandangan secara perspektif ekonomi atau wilayah tata ruang, memang keputusan itu diambil pak gubernur (Zainal A Paliwang), ini memiliki dua sisi positif dan negatif juga bersifat insentif dan disinsentif. Mengapa demikian, hal ini bisa menjadi insentif kalau itu kita lihat berdasarkan kepentingan Tarakan. Sebagai daerah otonom, Tarakan tentu memiliki berbagai macam persoalan baik itu pendanaan atau minimnya PAD akibat adanya persoalan ekonomi akibat Covid-19,” tuturnya.
Kalau perspektif itu yang digunakan, maka menjadi insentif bagi Pemkot Tarakan untuk memperoleh tambahan potensi pendapatan dari pengelolaan aset yang dikembalikan oleh pemerintah provinsi. Karena dengan begitu, hal itu menjadi potensi tambahan pendapatan dari bermacam posnya, misalnya pendapatan karcis masuk apakah itu sewa ruang, sewa tempat usaha, tarif sandar kapal, dan lainnya.
Meski demikian, jika dilihat dari perspektif wilayah Kaltara, maka hal tersebut telah keluar dari tujuan awal pembangunan pelabuhan speedboat Tengkayu I. Mengingat Pelabuhan Tengkayu I diperuntukkan menjadi jantung perhubungan dalam memudahkan mobilisasi barang dan manusia untuk seluruh kawasan di Kaltara.
“Tetapi kalau kita tarik ke atas, Tengkayu itu adalah simbol ekonomi yang menghubungkan arus orang dan arus barang antar wilayah di provinsi. Arus orang yang dari bandara, arus orang yang dari pelabuhan Nasional Malundung, itu masuk ke Tengkayu I, emudian didistribusikan ke daerah. Jadi artinya, Tengkayu I menjadi jantung ekonomi baik itu arus orang atau arus barang dalam prospektif keterkaitan antar wilayah,” terangnya.
Sementara itu, keterkaitan antar wilayah itu, jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang tata ruang maka harus memiliki asas, atau prinsip yaitu keterpaduan keseimbangan keselarasan keberlanjutan keberdayaan antara kabupaten kota. Menurutnya, pengembalian aset Tengkayu I ke Kota Tarakan, berpotensi menghambat upaya pemerintah dalam memperkecil disparitas wilayah di Kaltara sejak dulu. Hal itu disebabkan, kepemilikan aset skala provinsi cukup rawan terhadap kepentingan elit secara politis dalam menyalahgunakan fungsi tujuan awal Tengkayu I Tarakan.
“Dengan laju Pertumbuhan penduduk Tarakan yang lebih tinggi daripada daerah lainnya, membuat infrastrukturnya terus berkembang dan tingkat aktifitas ekonomi penduduknya semakin tinggi. Sehingga melihat dari sisi lainnya, disparitas sudah ada antar wilayah Tarakan dengan wilayah kabupaten lainnya,” ujarnya.
“Kalau misalnya Tengkayu I sebagai penghubung antar wilayah, maka sebenarnya tujuannya adalah keterpaduan, keserasian keselarasan, keseimbangan, keberdayaan dan keberhasilan maka ini menjadi sumber disinsentif upaya untuk memperkecil kesenjangan antar wilayah dan upaya untuk menciptakan perekonomian yang lebih efisien, kalau itu kembali ke antar wilayah atau provinsi,” lanjutnya.
Agar upaya menekan kesenjangan antar wilayah, menurut Margiyono, pemerintah provinsi harus menjamin bahwa pengelolaan yang diserahkan kepada pemerintah kota Tarakan harus menjamin efisiensi pengelolaan dengan perda. “Tengkayu itu menjadi penghubung antar wilayah kalau simbol ini dikelola secara monopolitis itu akan menurunkan efisensi ekonomi. Anggap saja, pemimpin wilayah A tidak harmonis dengan pemimpin wilayah Z, maka atas status kepemilikan bisa saja pemimpin wilayah membuat kebijakan yang memberatkan wilayah Z untuk menjalankan aktivitas keperluan daerahnya,” ucapnya.
Ia menerangkan, oleh karena itulah sejak awal undang-undang menegaskan pengelolaan semestinya dapat dinaungi provinsi dalam mencegah penyalahgunaan wadah bersama dengan kedok status kepemilikan. Sehingga menurutnya, Pemprov Kaltara harus mempertimbangkan secara matang output dari pengembalian status Tengkayu I.
“Oleh karena itu, mengapa pengelolaan Tengkayu harus berada di atas semua kabupaten kota, tujuannya menjaga efisiensi ekonomi menjaga mobilitas orang dan barang agar tetap lancar. Kalau mobilitas orang dan barang lancar maka akan menarik mobilitas atau produktivitas ekonomi sehingga terjadi aktifitas produksi lebih tinggi dari aktifitas konsumsi,” jelasnya.
“Gangguan terhadap konsumsi akan menurunkan produktivitas dan efeknya adalah ke lapangan kerja, pengangguran, macam-macam kemiskinan dan seterusnya,” tutupnya. (ram/kik)
PENGHARGAAN SEPANJANG 2019-2020
2019
- Anugrah Budhipraja dari Kemenristekdikti atas dukungan terhadap inovasi dan daya saing daerah
2020
- OPINI WTP dari BPK-RI atas Hasil Pemeriksaan LKPD tahun 2019
- Anugrah Natamukti oleh Internasional Council for Small Business
- Top BUMD Award oleh Majalah Top Business
- Indonesia Smart Nation Award oleh Citasia Inc.