Pemanfaatan Tanah oleh Swasta

Oleh : Diana Hijri Nursyahbani SH

IBU kota negara akan dipindah ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian lagi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Jokowi pada hari Selasa, 27 Agustus 2019 dalam konferensi pers di Istana Negara. Guna mewujudkan rencana tersebut, tentu dibutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit, salah satunya dapat diperoleh dari swasta. Menanggapi hal ini, muncul pula wacana dari Presiden untuk menjual lahan di sekitar Ibu Kota Negara (IKN) baru ke swasta. Lokasinya di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Wacana tersebut dibarengi dengan antisipasi praktik terselubung yang memungkinkan adanya penyalahgunaan lahan oleh swasta. Sehingga menimbulkan syarat dari pemerintah bahwa tanah yang dibeli harus segera dilaksanakan untuk pembangunan dalam waktu dua tahun. Lebih lanjutnya terkait hal ini masih menjadi skema yang harus dikaji oleh pihak pemerintah.

Berbicara soal tanah, mari sedikit kita mengenal terkait Hak Menguasai dari Negara. Menurut UUPA, tanah-tanah di Indonesia sejak tahun 1960 dibedakan atas tanah negara dan tanah hak. Tanah negara maksudnya adalah tanah-tanah yang di atasnya belum diletakkan dengan sesuatu hak perorangan hingga negara mempunyai kekuasaan yang bersifat langsung atas tanah-tanah tersebut. Sebaliknya, maksud dari tanah hak adalah tanah-tanah yang telah dikuasai dengan sesuatu hak perorangan.

UUPA 1960 memang memberi kewenangan yang sangat luas kepada negara melalui Hak Menguasai Negara (HMN). Hal ini tercantum dalam Pasal 2 UUPA berbunyi :

Baca Juga :  Bukti, Bukan Janji

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:

  1. Mengatur menyelanggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Berdasarkan Hak Menguasai Negara, maka negara dapat menentukan macam-macam hak atas sumber-sumber agraria yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Adapun macam-macam hak atas tanah tersebut tercantum pada Pasal 16 ayat (1) sebagai berikut :

  1. Hak milik;
  2. Hak guna usaha;
  3. Hak guna bangunan;
  4. Hak pakai;
  5. Hak sewa;
  6. Hak membuka tanah;
  7. Hak memungut hasil hutan;
  8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53.

Selain dari pada itu, juga dikenal adanya Hak Pengelolaan yang masih menjadi bagian dari Hak Menguasai Negara. Di mana sebagian kewenangan dilimpahkan pelaksanaannya kepada pemegang haknya. Wewenang ini tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, meliputi:

  1. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
  2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya;
  3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut baik dengan atau tanpa bangunan kepada pihak yang memerlukan untuk dipergunakan dalam jangka waktu tertentu dengan memungut uang pemasukan sebagai pendapatan daripada pemegang HPL dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972.
Baca Juga :  Bukti, Bukan Janji

Penjelesan singkat mengenai Hak Menguasai Negara di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakannya, maka sampai di situ pula kekuasaan negara. Sehingga kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau badan hukum adalah lebih luas dan penuh.

Jika dikaitkan dengan wacana menjual tanah kepada swasta, maka akan menjadi penting untuk memperhatikan terlebih dahulu status legalitas tanah negara yang akan dijual tersebut terkait kepemilikannya atau Hak Milik, kemudian pemanfaatan atas tanah tersebut akan diperuntukkan dalam hal apa saja. Ini merupakan bagian dari salah satu upaya represif dari pemerintah untuk kemungkinan terjadinya sengketa di kemudian hari.

Hal penting lainnya yang perlu diingat adalah Presiden RI Joko Widodo pernah merilis arah Reforma Agraria pada Pengantar Rapat Terbatas Reforma Agraria di Kantor Presiden (Jakarta), 24 Agustus 2016.

“Semangat reformasi agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antar masyarakat dengan perusahaan, antar masyarakat dengan pemerintah”.

Baca Juga :  Bukti, Bukan Janji

Maka dari itu pemanfaatan atas tanah oleh swasta untuk mendukung terlaksananya semangat reformasi agraria tersebut tentu tidak boleh terlepas dan harus mengacu pada Pasal 6 Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”; kemudianPasal 7 UU ini yang menyatakan : “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas, tidak diperkenankan.

Selain dari pada itu, rakyat tentu membutuhkan transparansi atas beberapahal penting diatas. Sebab kembali lagi bahwa segala kebijakan pemerintah terkait wacana ini diharapkan tidak terlepas dari substansi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Sumber :

  1. Bambang Eko Supriyadi, 2014, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum Pertanahan Dalam Pengelolaan Hutan Negara, Jakarta, Rajawali Pers.
  2. UndangUndang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960)
  3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972
TS Poll - Loading poll ...
Coming Soon
Calon Pemimpin Kaltara 2024-2029 Pilihanmu
{{ row.Answer_Title }} {{row.tsp_result_percent}} % {{row.Answer_Votes}} {{row.Answer_Votes}} ( {{row.tsp_result_percent}} % ) {{ tsp_result_no }}

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *