benuanta.co.id, TARAKAN – Minimnya animo masyarakat terhadap kunjungan ke kawasan wisata Ratu Intan Pantai Amal disoroti sebagai akibat dari kombinasi salah strategi kebijakan dan kurangnya pemahaman terhadap dinamika pasar.
Hal ini diungkapkan pakar ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., dalam tanggapannya terhadap nasib Ratu Intan yang kini nyaris mati suri. Dr. Margiyono menyebut fenomena Pantai Ratu Intan sejatinya mencerminkan kegagalan serupa dalam pengembangan pusat kuliner Bengayo, yang sempat dibangun untuk mengangkat UMKM lokal namun kini juga sepi peminat.
“Ini menunjukkan lemahnya kecermatan kita dalam membaca kekuatan mekanisme pasar dan intervensi pemerintah,” jelasnya kepada benuanta.co.id, Selasa (10/6/2025).
Menurutnya, ada kesalahpahaman mendasar yang sering terjadi dalam merumuskan kebijakan ekonomi, yakni menganggap ekonomi cukup digerakkan dengan intervensi atau regulasi pemerintah.
“Padahal ekonomi itu tidak hanya bergerak karena kebijakan, tapi juga karena pasar. Keduanya sama-sama kuat dan bersifat bersaing, bukan sekadar bersanding,” tuturnya.
Ia menjelaskan, masyarakat kini memiliki beragam pilihan dalam berwisata atau melepas stres, mulai dari wisata alam seperti agroforestry, wisata kuliner, hiburan seperti bioskop, hingga hiburan digital seperti YouTube.
“Itu semua adalah bagian dari preferensi masyarakat yang saling bersaing,” ujarnya.
Karena itu, Ratu Intan Pantai Amal tidak bisa hanya mengandalkan lokasi dan fasilitas, tapi juga harus unggul dalam hal daya saing harga dan utilitas. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang terbatas, kata Margiyono, pilihan akan jatuh pada bentuk hiburan yang paling hemat.
“Kalau daya beli lemah, masyarakat akan mencari yang paling murah, yang tidak butuh biaya besar,” katanya.
Ini pula yang membuat banyak orang kini lebih memilih nongkrong di kafe atau menonton YouTube ketimbang berwisata ke pantai berbayar. Pemerintah, menurut Margiyono, seharusnya tidak menetapkan tarif masuk yang terlalu tinggi, apalagi tanpa melihat pesaing terdekat di pasar lokal.
“Kalau tidak salah, dulu tarifnya Rp15 ribu atau Rp20 ribu per orang. Kalau satu keluarga isinya sepuluh orang, sudah Rp200 ribu. Itu berat untuk masyarakat kita,” imbuhnya.
Dr. Margiyono mengingatkan karakter wisata di Indonesia cenderung berkelompok, sehingga tarif tinggi akan terasa sangat membebani. Ia juga mengungkapkan meski fasilitas fisik di Ratu Intan sangat baik, namun tidak berhasil menarik antusiasme publik.
“Fasilitasnya bagus, apalagi di ujung pantai yang menyambung dengan Pantai Amal. Tapi tidak disambut gegap gempita karena tarifnya mahal,” katanya.
Menurutnya, harga yang terlalu tinggi akan langsung menurunkan permintaan, apalagi jika utilitas atau manfaatnya dianggap tidak sepadan. Lebih jauh, Dr. Margiyono menjabarkan perbandingan tidak bisa membandingan dengan hal yang di luar Tarakan. Misalnya Ratu Intan dengan objek wisata besar seperti Kuta di Bali atau Derawan di Berau.
“Kita tidak bisa bandingkan dengan pantai di luar Tarakan. Pesaing kita itu ya pesaing terdekat seperti kafe, bioskop, tempat nongkrong. Itu yang harus jadi perbandingan dalam menentukan harga dan strategi promosi,” jelasnya.
Kesalahan awal dalam strategi tarif, lanjutnya, menyebabkan dampak berantai yang cukup parah.
“Kalau tarif terlalu tinggi dan pengunjungnya tidak ada, maka UMKM juga tidak mendapat manfaat. Padahal UMKM itu bisa hidup kalau pengunjung ramai,” terangnya.
Dr. Margiyono menjelaskan wisatawan bukan hanya membayar tiket masuk, tapi juga konsumtif terhadap makanan, minuman, dan oleh-oleh di sekitar objek wisata. Untuk itu, ia mengusulkan agar tarif masuk dibuat semurah mungkin, bahkan kalau bisa digratiskan terlebih dahulu sebagai bagian dari promosi.
“Kalau gratis, pengunjung akan datang. Kalau pengunjung banyak, pedagang hidup. Kalau UMKM hidup, pemerintah juga akan dapat sewa atau retribusi,” paparnya.
Strategi ini, menurutnya, akan jauh lebih efektif dalam menggerakkan ekonomi lokal. Ia meyakini jika perputaran ekonomi terjadi, maka dampaknya akan terasa luas: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), hingga mendorong pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Tarakan.
“Dari perputaran itu, ekonomi akan tumbuh, masyarakat sejahtera, dan pemerintah juga diuntungkan,” katanya.
Di akhir tanggapannya, Dr. Margiyono mengingatkan jika dibiarkan tanpa pembenahan, investasi besar yang sudah dikucurkan untuk membangun Pantai Ratu Intan bisa menjadi sia-sia.
“Bangunan itu ada nilai ekonominya. Kalau tidak menghasilkan apa-apa, ya nilainya jadi nol. Supaya investasi itu tidak mubazir, maka objek wisata harus ramai,” ujarnya.
BACA JUGA:
Objek Wisata Ratu Intan Pantai Amal Sepi Pengunjung, Sisa Pekerjaan Tidak Dianggarkan Tahun Ini
Food Court Ratu Intan Pantai Amal Sepi Peminat
Menurutnya, pengunjung yang banyak adalah kunci pengembalian modal dan penggerak ekonomi makro. Lebih dari sekadar kritik, Margiyono menekankan pentingnya evaluasi kebijakan wisata berbasis logika ekonomi pasar.
“Jangan terlalu banyak intervensi tanpa membaca pasar. Lihat siapa pesaing kita, berapa tarif mereka, dan apa manfaat yang mereka tawarkan,” pungkasnya.
Dengan pendekatan yang lebih realistis dan berbasis persaingan lokal, Dr. Margiyono percaya Pantai Ratu Intan masih bisa diselamatkan dan menjadi primadona wisata bahari Tarakan. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Endah Agustina