benuanta.co.id, TARAKAN – Perkara pelanggaran pidana pemilu dengan tujuh terdakwa telah memasuki agenda sidang perdana pada Kamis, 28 Maret 2024 kemarin. Sidang tersebut digelar di Pengadilan Negeri Tarakan dengan agenda pembacaan dakwaan dan pembuktian.
Dalam perkara ini, terdakwa atas nama Mas’ud, Suryati, Lutfy Zulkarnaen, Nur Alfin Hasanah, Faridah Al-Akhyar, Amriana dan Zulkifli tak hadir dalam persidangan (in absentia), lantaran statusnya buronan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa ketujuh terdakwa dengan dakwaan alternatif diantaranya melanggar Pasal 516 UU RI No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 533 UU RI No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Dakwaannya sama semua, kan satu berkas saja,” ujar Kasi Intelijen Kejari Tarakan, Harismand, Jumat (29/3/2024).
Sementara dalam agenda pembuktian, JPU menghadirkan tiga orang saksi yang berasal dari Pengawas TPS (PTPS), Ketua KPPS, komisioner Bawaslu Tarakan dan satu ahli pidana pemilu.
Keterangan para saksi, dijelaskan Harisman, pada 14 Februari 2024 lalu terdapat keributan di TPS 57 sekira pukul 12.30 WITA. Waktu tersebut ialah detik-detik terakhir ditutupnya pemilihan. Sehingga membuat petugas di TPS kewalahan menghadapi massa.
“Sehingga panitia ini kecolongan karena ada keributan. Jadi beberapa pemilih berebut masuk TPS untuk melakukan pencoblosan. Ada momen yang dimanfaatkan di situ, sementara petugas TPS kewalahan,” beber Harismand.
Untuk keterangan ahli pidana menyebut, dakwaan dari penuntut umum yang paling tepat untuk ketujuh terdakwa in absentia ialah dakwaan pertama, Pasal 516 UU RI No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Saksi sudah cukup, sidang dilanjutkan hari Senin, langsung pembacaan tuntutan nanti,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, ketujuh buronan tersebut melakukan pelanggaran pidana pemilu dengan mencoblos dua kali di TPS berbeda pada 14 Februari 2024 lalu. Ketujuh orang tersebut kini menyandang status DPO dan diduga sudah melarikan diri dari panggilan kepolisian. (*)
Reporter: Endah Agustina
Editor: Yogi Wibawa