“Angkot memiliki riwayat, memiliki sejarah, saya tidak sampai hati meninggalkannya”
MASYARAKAT Kota Tarakan di era 1980 hingga 2000-an pernah merasakan masa kejayaan angkutan kota (Angkot). Sekalipun harus berdesak-desakan dengan penumpang lain tanpa penyejuk udara seperti kendaraan roda empat masa sekarang. Angkot yang dulunya sempat merajai jalanan di Tarakan sekarang jumlahnya bisa dihitung jari karena telah tergantikan transportasi daring yang dianggap lebih fleksibel.
==============
Di tengah hiruk-pikuk pelabuhan laut Malundung Kota Tarakan, Sabtu, 27 Mei sore. Seorang pria paruh baya, dengan rambut putih tipis duduk lesu di sebuah angkot hijau yang terparkir di seberang Taman Oval Lingkas Ujung. Kedua tangannya ditekuk agar bisa bersandar lega di jok Suzuki Carry dengan bantalan yang sedikit usang.
Adalah Mulyono, yang sesekali menaikturunkan kakinya sebagai refleksi menenagkan saraf dan pikirannya. Namun tangan gempalnya sigap menggenggam kemudi, sembari menunggu kedatangan calon penumpang untuk diantarkan ke tempat tujuan.
Sejak pagi sekitar pukul 06.00 WITA, Mulyono berangkat dari rumahnya di Jalan Kusuma Bangsa untuk memulai aktivitasnya mencari penumpang di Pasar Tenguyun dan menyusuri Kota Tarakan dengan angkot tuanya hingga siang hari. Usai seharian mengitari Bumi Paguntaka, sore harinya pukul 16.00 WITA, Mulyono mulai mangkal di area Pelabuhan Malundung.
“Semua tergantung jadwal kedatangan kapal di Pelabuhan Malundung. Jika ada kedatangan pagi, saya mulai berjaga pagi,” terangnya.
Mulyono menceritakan, dalam seharinya dia hanya mendapatkan paling banyak 15 penumpang per hari dengan pendapatan Rp 105 ribu seharinya. Pendapatannya itu pun terbagi lantaran harus menyetor Rp 50 ribu per hari kepada juragan angkot.
“Bagi saya, setoran tidak ada masalah, karena masih dianggap murah. Syukurnya juragan juga mengetahui kondisi penumpang saat ini. Terkadang, jika sepi penumpang, uang setoran dibayar besok,” ucapnya.
Kondisi angkot di Tarakan memang diakuinya berbeda dengan 20 tahun silam, yang antusias penumpang kala itu sangat luar biasa. Biasanya masing-masing sopir angkot bisa membawa pundi-pundi rupiah antara dua hingga tiga kali lipat dibanding sekarang.
“Saya menjadi sopir angkot sejak tahun 1980-an. Dulu harga angkot mulai dari Rp 50 perak hingga Rp 7 ribu, kenaikan tarif tersebut seiring dengan BBM. Harga setoran harian ke juragan juga masih murah, berkisar Rp 11 ribu per hari,” bebernya.
Diterpa kondisi ini, Mulyono mau tak mau hanya mengharapkan kedatangan penumpang kapal besar dan masyarakat yang tidak memiliki aplikasi transportasi daring. Bergesernya minat masyarakat yang dulunya menggunakan angkot juga turut memukul kondisi ekonomi keluarganya dan menambah nestapa.
“Ya kadang makan mie instan dan telur. Untuk beli beras sekilo dua kilo pun tidak cukup, sementara rumah pun masih sewa,” katanya lirihnya.
Selama empat puluh tiga tahun menjadi sopir angkot, Mulyono menuturkan tidak memiliki pilihan lain untuk meninggalkan profesinya itu untuk beralih ke pekerjaan lain.
“Dari awal saya seorang sopir dan saya tetap sopir. Saya tidak punya alasan meninggalkan profesi ini, saya sudah tua, mandor bangunan sekalipun tentu akan menolak jika saya melamar kerja. Angkot ini memiliki riwat, memiliki sejarah, hampir semua masyarakat Kota Tarakan menggunakan kendaraan angkot pada kala itu, saya tidak sampai hati meninggalkannya,” kenangnya.
Di balik suksesnya angkot merajai jalanan Kota Tarakan pada masa silam berbanding terbalik di era sekarang. Hal itu juga dirasakan Mulyono saat melihat banyak kendaraan bak terbuka plat hitam yang dikomersialkan untuk mengangkut penumpang di Pelabuhan Malundung Tarakan.
“Saya melihat dengan mata dan kepala sendiri di mana ada pengendara pikap menawarkan jasa angkutannya ke sejumlah penumpang. Apakah wajar bagi kendaraan plat hitam mengangkut penumpang,” kesalnya.
Mulyono menaruh harapan kepada pemerintah agar masing-masing angkot di Kota Tarakan dilakukan peremajaan. Ia menilai, penumpang lebih memilih menggunakan mobil yang dilengkapi dengan penyejuk udara atau dikenal AC. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Yogi Wibawa