Catatan: H. Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)
SENIN, 24 Januari, sekitar pukul 09.00 pagi. Seorang wartawati dari sebuah tabloid mingguan menghubungi saya. Wartawati itu meminta tanggapan dari saya terkait pernyataan Edy Mulyadi, soal rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.
Berikut percakapan saya dengannya: “Assalamualaikum, Pak haji,” demikian suara wartawan itu menyapa saya via telepon. “Waalaikumussalam,” jawab saya. “Begini Pak haji. Ini ada pernyataan dari Pak Edy Mulyadi yang mengatakan, IKN itu tempat pembuangan anak jin dan monyet. Sebagai wartawan senior, mohon tanggapan Pak haji,” pintanya.
“Maaf ya? Soalnya, saya sendiri belum melihat dan mendengar isi pernyataan Pak Edy. Jadi sulit bagi saya untuk menanggapinya,” jawab saya. “Begini Pak haji. Pak Edy itu wartawan senior. Sebagai sesama senior, pantaskah Pak Edy membuat pernyataan seperti itu?”. Wartawan mencoba memancing saya agar mau komentar.
“Begini. Kalau Pak Edy dalam posisinya sebagai wartawan senior, lalu mengatakan lokasi IKN itu tempat pembuangan anak jin, itu patut disesalkan. Maksud saya, seorang wartawan sangat tidak pantas mengeluarkan pernyataan sekasar itu,” kata saya.
“Pak haji, pernyataan Pak Edy sudah viral. Warga Kalimantan marah dan sebagian sudah melakukan aksi protes. Bagaimana menurut Pak haji”. Lagi-lagi sang jurnalis mendesak agar saya bersedia menanggapinya panjang lebar.
Pertanyaannya sangat sensitif. Meskipun wartawan itu sekadar meminta konfirmasi atas pernyataan Edy Mulyadi yang sudah viral. Tetapi, untuk menjawabnya, diperlukan kehati-hatian agar tidak membuat publik malah tambah ribut.
Kepada wartawan itu saya katakan, jika pernyataan Edy Mulyadi itu benar, maka hal itu sangat disesalkan. Tetapi, boleh jadi, orang lain hanya mendengarnya sepotong-potong. Lalu masyarakat mempersepsikannya sebagai sebuah penghinaan. Maksud saya, bisa saja kalimat tentang pembuangan “Jin dan monyet” itu masih ada lanjutannya.
Misalnya kata saya, “pembuangan anak jin” diinterpretasi sebagai tempat, di mana, di lokasi IKN itu hutan yang masih lebat. Pohon-pohonnya besar dan tinggi. Lalu dianggap angker karena berpotensi dihuni para jin (maksudnya makhluk halus). Boleh jadi lanjutannya seperti itu.
Soal monyet, bisa saja dibuat sebagai perumpamaan. Monyet bisa diidentikkan dengan penghuni hutan belantara. Sebagai kawasan hutan yang masih perawan karena dijaga kelestariannya oleh masyarakat setempat, sehingga jika ibukota negara dipindahkan ke sana (misalnya), sangat berpotensi mengganggu habitat dan ekosistem monyet dan orang utan yang akhirnya menghilang atau punah.
Tapi memang, ketika saya melihat dan mendengar langsung pernyataan Edy Mulyadi lewat Facebook dan beberapa kiriman video lewat WAG, ternyata Edy tidak menjelaskan dua kata dimaksud: jin dan monyet. Inilah yang memicu kemarahan masyarakat Kalimantan, khususnya Kaltim.
Sebagai wartawan senior, mestinya Pak Edy menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan pembuangan anak jin, seperti yang saya contohkan di atas. Di sinilah kelemahan wartawan. Mereka kadang terbawa emosi saat menyampaikan persoalan sensitif, baik tertulis maupun lisan.
Pak Edy kurang disiplin memegang prinsip “sebab-akibat”. Artinya, setiap sebab, ada akibatnya. Dalam dunia pers, sebab-akibat memang tidak diatur secara eksplisit. Bahkan, di Undang-Undang Pers No.40/ 1999 dan Kode Etik Wartawan pun, sama sekali tidak ditemukan penjelasan mengenai sebab-akibat itu.
Tetapi, secara implisit, baik undang-undang pers maupun kode etik, sudah mengingatkan mengenai sebab-akibat itu. Di pasal 3 kode etik jurnalistik disebutkan, “wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, dan tidak mencampur-aduk fakta dan opini”. Di pasal 4 lebih tegas lagi. “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong dan fitnah”.
Kelemahan wartawan biasanya ada pada “uji informasi”. Misalnya: seorang wartawan kehilangan handphone (HP). Beberapa hari kemudian, seseorang datang memberitahu bahwa HP-nya ada di tangan si Fulan. Ketika si wartawan datang, ia melihat si Fulan memegang HP sama seperti HP miliknya. (Ini yang disebut fakta).
Sebagai profesional, wartawan harus menguji informasi dari seseorang dan membuktikan fakta itu. Fakta belum tentu bukti. Karena fakta harus diuji untuk mendapatkan bukti kebenaran. Sebab, boleh jadi HP yang dipegang oleh si Fulan adalah miliknya sendiri, yang kebetulan merk dan warnanya sama dengan HP wartawan yang hilang itu. Bisa juga pencuri menitip HP itu ke si Fulan sebagai sebuah alibi.
Di Undang-undang, ada pasal 5 ayat (2): “Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. Jadi jelas, baik kode etik maupun undang, secara tidak langsung sudah mengingatkan perlunya kehati-hatian wartawan sebelum menulis maupun menyatakan pendapat.
Andai Edy Mulyadi mau menguji opininya mengenai IKN sebagai tempat pembuangan jin dan monyet, barangkali masyarakat tidak terlalu kecewa dan semarah itu. Atau paling tidak berupaya menjelaskan kata jin dan monyet.
Terbaru, sebuah televisi telah memuat klarifikasi Edy. Intinya, Edy minta maaf. Ia juga menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan pembuangan jin adalah jarak lokasi IKN yang terlalu jauh dari Jakarta yang memungkinkan orang-orang Jakarta tidak mau tinggal di sana. Sayangnya, klarifikasi itu terlambat. Ibarat pepatah, “nasi sudah jadi bubur”. (**)