benuanta.co.id, TARAKAN – Perkelahian antar remaja biasanya sering terjadi di kalangan pelajar. Seperti yang viral, belum lama ini remaja pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) melakukan perkelahian. Hal ini, merupakan salah satu kasus psikologi yang dapat menganggu korbannya. Lalu bagaimana psikolog melihat kasus perundungan dan perkelahian ini?
Salah satu psikologi pendidikan di Kalimantan Utara (Kaltara), Riski Sovayunanto mengatakan terjadinya perkelahian antar pelajar dikarenakan adanya faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal misalnya, perkembangan teknologi. Seperti modeling dari tontonan yang dilihat. Tak hanya perkelahian, pun dengan ujaran kebencian ataupun kata-kata kasar.
“90 persen orang bisa bicara kasar. Tapi kalau berkelahi itu seharusnya dari lingkungan sekolah mampu membuat program yang bisa membuat siswa siswinya merasa nyaman,” katanya kepada Benuanta, Kamis (11/1/2024).
Sementara untuk faktor internal, secara psikologis terdapat aspek agresivitas yang dimiliki semua orang. Namun, hal itu kembali lagi ke individual masing-masing untuk dapat mengendalikannya.
“Tapi kalau kasusnya ini siswa siswi SMP itu memang pemikirannya belum matang. Sebenarnya tidak ada pembenaran dari perkelahian dan berbicara kasar atau kotor. Karena hidup itu sesuai aturan yang ada, apalagi sekolah ya ada nilai-nilai moral disitu,” bebernya.
Dilanjutkan Riski, persoalan perkelahian antar pelajar ini cukup kompleks. Lantaran secara legal, pelajar sudah mendapatkan pembelajaran Pendidikan Pancasila sehingga kemampuan berpikir kritis harus dilakukan di sekolah. Selain itu, pembelajaran di sekolah juga harus fokus terhadap cara penyelesaian masalah. Sehingga, pelajar yang dapat berpikir kritis maka hal-hal yang berhubungan dengan negatif dapat terkontrol.
“Jadi tidak, akan muncul sebagai bentuk perilaku, itu dari sekolahnya,” lanjutnya.
Riski juga memberikan saran bagi sekolah yang memiliki lingkungan berisiko tinggi perundungan agar melakukan kerjasama dengan pihak eksternal seperti konseling.
“Agar terhindar dari bicara kasar, perundungan dan perkelahian. Supaya pelajar tahu bagaimana menangani dirinya ketika ada permasalahan, apa yang boleh dilakukan dan tidak,” tukasnya.
Selain dari sekolah, pola asuh dari orang tua harus mampu membuat anak tak meniru hal-hal negatif. Misalnya, dalam memberikan nasehat. Berikan nasehat yang dapat diterima oleh anak. Pun dengan memberikan rasa cinta dan kasih sayang.
“Pola asuhnya harus kombinasi, otoriter boleh tapi tidak boleh melupakan demokrasi, cinta dan kasih sayang,” pungkasnya Riski. (*)
Reporter: Endah Agustina
Editor: Nicky Saputra