benuanta.co.id, MAKASSAR – Kelanjutan pembangunan rute rel kereta api segmen E dari Kabupaten Maros ke Kota Makassar masih menuai polemik. Pasalnya Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar menginginkan kelanjutan segmen E ini menggunakan konsep eleveted atau layang.
Namun keinginan tersebut berbanding terbalik dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulsel. Di mana Pemprov dan BPKA Sulsel menginginkan kelanjutan proyek strategis nasional ini menggunakan konsep at grade atau darat.
Penolakan Pemkot Makassar terkait desain At Grade lantaran dianggap bakal menimbulkan dampak sosial di masyarakat. Khususnya terkait persoalan banjir.
Selain itu, Pemkot menilai konsep At Grade tidak seusai dengan kesepakatan awal. Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Danny Pomanto menduga konsep tersebut diubah sepihak tanpa melibatkan pemerintah kota.
Padahal jalur yang akan dilalui rute rel kereta api tersebut merupakan kawasan milik Pemkot Makassar. Hal ini juga yang menjadi pemicu karena dianggap bertolak belakang dengan kesepakatan awal dengan pihak-pihak terkait.
“Ada oknum yang mengubah desain eleveted (menjadi at grade,red),” ungkap Danny Pomanto kepada wartawan di Kantor DPRD Makassar, pertengahan Juli 2022 lalu.
Danny Pomanto mengungkapkan, jika rel kereta api segmen Makassar tidak menggunakan konsep eleveted, akan menimbulkan persoalan baru. Karena konsep At Grade terbentur dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar.
“Pemerintah sudah ada RTRW dan Perda. Tidak sesuai komitmen awal, melanggar tata ruang dan menyisakan kerugian warga Kota Makassar,” tegas Wali Kota berlatar belakang arsitek itu.
Bahkan ketika itu, Danny Pomanto menantang BPKA Sulsel untuk menunjukkan analisis dampak lingkungan (Amdal) pembangunan rute rel kereta api segmen Makassar. Namun tak kunjung dilakukan oleh BPKA Sulsel.
Sontak pernyataan Danny Pomanto ditanggapi oleh Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman. Sudirman menilai Amdal rute rel Kereta Api (KA) Trans Sulawesi tersebut dapat diuji dengan analisis bukan dengan komentar belaka.
“Amdal hanya bisa diuji dengan Amdal. Kalau mau menguji itu tidak boleh dengan statement harus dengan saintifik,” terang Andi Sudirman saat diwawancarai awak media di salah satu hotel di Makassar, Rabu (10/8/2022).
Kendati demikian, Andi Sudirman tetap mengapresiasi maksud baik Wali Kota Makassar dua periode itu yang menginginkan konsep layang atas kelanjutan rel kereta api segmen E. Hanya saja, dia meminta kepada Danny Pomanto untuk melakukan komunikasi ke BPKA Sulsel.
“Kalau saya sih maksud Wali Kota itu baik, masukannya kan juga bagus. Tinggal komunikasi dengan balai (Balai Pengelola Kereta Api Sulsel, red). Karena urusan teknis itu ke balai, bukan ke kami,” ucapnya.
“Kami hanya menempatkan Maros dan Makassar ini sebagai lokasi kereta Penlok (penetapan lokasi) kan. Tapi persoalan teknis ya balai. Silahkan ke balai. Tinggal open discussion dan komunikasi dengan baik. Pemerintahan itu harus Sipakatau (saling mengormati, red),” kata Sudirman menambahkan.
Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Makassar, Sangkala Saddiko menilai silang pendapat yang terjadi antara Pemkot dan Pemprov soal kelanjutan pembangunan rute rel kereta api segmen E ini merupakan persoalan sederhana.
Asalkan, kata dia, Pemkot dan Pemprov serta BPKA Sulsel mengacu terhadap kesepakatan awal kelanjutan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) itu. Apakah kesepakatan awal menggunakan desain Eleveted (layang) atau At Grade (darat).
“Inilah kesepakatan awal kita harus buka. Pasti ada petunjuk. Karena pasti sudah digambarkan memang (desain rute rel kereta api) sebelum diprogramkan ini. Inilah kita harus dudukan bersama untuk mencapai kesepakatan, ” imbuh Sangkala.
Untuk membuat terang persoalan tersebut, diakui legislator dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, pihaknya akan memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pemkot, Pemprov dan BPKA Sulsel. Adapun agenda RDP tersebut rencananya digelar, 12 Agustus 2022.
“Inilah yang kita mau fasilitasi duduk bersama membicarakan terkait eleveted atau at grade. Mudah mudahan melalui rapat dengar pendapat ini ada solusi, ” katanya.
Lanjut Sangkala, Komisi C sendiri tidak mempersoalkan terkait desain yang akan digunakan dalam kelanjutan pembangunan rute rel kereta segmen E ini. Asalkan mengacu terhadap perjanjian awal.
Mengingat lahan yang akan dilewati rute rel kereta Api Segmen E tersebut merupakan milik Pemkot. Sedangkan proyek Kereta Api ini dihadirkan oleh Pemprov.
“Tapi bagaimana pun juga kita harus kembali ke konsep perjanjian awal, apakah eleveted atau at grade. Inilah yang mau dipertemukan antara pemerintah kota, pemerintah provinsi dan BPKA.
Jadi mau eleveted atau at grade yang penting disepakati pemerintah kota, pemerintah provinsi dan pengelola (BPKA), ” sebutnya.
Terpisah Ketua DPW Ikatan Pengkaji Lingkungan Hidup Indonesia (Inkalindo) Sulsel, Haris Djalante menyebutkan rel kereta elevated lebih ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat.
Kendati rel elevated memiliki potensi banjir lebih kecil, karena tidak terbentuk gundukan yang bisa membendung aliran air dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah.
“Jika desainnya rel elevated potensinya kecil terjadi banjir, karena hanya di spot-spot (tiang) terjadi pembendungan. Kalau sebidang potensinya besar, seperti membuat bendungan di dudukan rel, menghalangi air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, harus dilihat lagi kontur tanah yang dilewati,” sebut Haris.
Selain relatif lebih aman dari potensi bencana banjir, lanjut Haris, pembebasan lahan untuk rel elevated juga lebih kecil dibandingkan rel at grade. Serta biaya ganti rugi lahan lebih sedikit, hanya per segmen atau cukup tiangnya saja.
“Seperti contohnya kalau di PLN, cukup di lintasannya yang diberi kompensasi, tidak ada pembebasan lahan sepenuhnya, kita harus lihat lagi feasibility study proyek ini,” imbuh Haris yang juga Dosen Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin ini.
Haris menambahkan, rel elevated jika dihitung nilai investasi pembangunan konstruksi rel memang lebih besar di awal pembangunan, namun jika dikonversi dengan dampak gangguan lingkungan, besar biaya pembebasan, dan keamanan masyarakat pengguna jalan lainnya, rel elevated lebih besar manfaatnya.
Jika dipaksakan untuk rel at grade, pemerintah pusat lebih memilih pendekatan menekan biaya dari desain rel menggunakan konsep sebidang, dibandingkan pendekatan dampak gangguan lingkungan atas keberadaan rel kereta.
Terkait penolakan Wali Kota Makassar atas desain rel at grade, Haris menilai pertimbangan Danny didasarkan keinginan melindungi warganya dari ancaman banjir ketika musim hujan, seperti yang terjadi belum lama ini di Kabupaten Barru dan Pangkep, daerah yang dilalui rel kereta api Trans Sulawesi.
“Saya melihat Pak Danny bukan menolak proyek rel ini, tapi dia ingin melindungi warganya, selain ancaman banjir, juga potensi terjadinya kecelakaan lalu lintas yang kerap terjadi di perlintasan simpangan sebidang yang biasanya diberi palang penghalang,” pungkas Haris.
Silang pendapat antara Pemprov dan Pemkot turut mendapat reaksi dari Ketua Tim Evaluasi dan Manfaat Peningkatan Jalur Kereta Api antara Jakarta Kota Tanjung Priok (Kementerian Perhubungan) tahun 2018, Prof. Ir. Sakti Adji Adisasmita.
Menurut Sakti Adji Adisasmita, pembangunan rute rel kereta Api di suatu daerah seharusnya menyesuaikan kondisi wilayah dan tata ruang.
“Saya tak campuri urusan perdebatan. Saya memberikan pandangan, sebagai konsep pembangunan angkutan massal seperti Kereta Api, Monorel, BRT, MRT, semua daerah mempunyai karakter wilayah sendiri sesuai kondisi wilayah dan tata ruangnya,” ujarnya.
Ketua Program Studi (KPS) S3 Teknik Sipil, Fakultas Teknik Unhas ini berpandangan, perdebatan terkait kelanjutan rute rel kereta api segmen Makassar perlu melalui kajian yang lebih mendalam.
“Jadi perlu dikaji secara terintegrasi baik aspek teknis, tata ruang, lingkungan, operasional, sosial budaya, kelembagaan, ekonomi finansial, dan aspek lainnya, juga terkait pertumbuhan kota, supply (infrastruktur) dan demand (permintaan penumpang dan barang),” katanya.
Oleh karena itu, Ketua Tim Studi Kelayakan Reaktivasi Lintas Mati (Kereta Api) di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia 2022 ini menyarankan pemerintah pusat, Pemprov, BPKA dan Pemkot Makassar perlu duduk bersama merumuskan kelanjutan pembangunan proyek nasional itu.
“Ini memerlukan penataan yang komprehensif dan terintegrasi, dengan duduk bersama seluruh stakeholder mencapai kesepakatan bersama demi pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Metropolitan Makassar yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,” tandasnya.
Diketahui, polemik pembangunan rel kereta api segmen Makassar ini mulai mengemuka setelah anggaran Proyek Strategis Nasional tersebut sebesar Rp1,4 triliun terancam ditarik ke pusat. Apabila kelanjutannya tidak segera dilakukan. (*)
Reporter: Akbar
Editor: Yogi Wibawa