benuanta.co.id, TANA TIDUNG – Aliansi Pemuda Peduli Demokrasi (APPD) Kabupaten Tana Tidung (KTT), mengadakan audensi dengan anggota DPRD Tana Tidung, terkhusus Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD, terkait rancangan peraturan tentang perangkat desa.
Pemuda Peduli Demokrasi disambut langsung oleh ketua Bapemperda, Heri Rizal, serta anggota dewan lainnya. Moderator APPD KTT Didi Kadarismanto menyampaikan, kehadiran dari APPD bukan berdasarkan pemaksaan atau dorongan kepentingan tertentu. Tapi murni gerakan dari pemuda, tanpa dorongan atau embel-embel kepentingan apapun.
Menurut Didi, yang menjadi sorotan dalam Bapemperda ini salah satunya yang berkaitan dengan sekretaris desa merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN). “Juga mengenai seleksi perangkat desa itu diambil alih oleh kecamatan,” kata dia.
Selain itu, Koordinator dari APPD KTT Cristofer Yusuf menambahkan, tujuan kehadiran dari APPD bukan semata-mata adalah pahlawan super. Yang kemudian memberikan masukan atau paham semua bentuk peraturan perundang-undangan kepada anggota DPRD KTT.
“Kami yakin bahwa orang-orang yang merancang Bapemperda tersebut merupakan orang yang memiliki kualitas dan kapabilitas pada bidangnya. Sehingga kami percaya yang diterapkan dalam perda tersebut kedepan tentu hal yang terbaik bagi masyarakat,” ujar Crsitofer Yusuf saat membuka dialog, Jumat (13/8/2021).
Dengan mempertimbangkan unsur sosiologis bagi masyarakat serta keterpenuhan dari sumber daya manusia (SDM)-nya, jadi tujuan penting lainnya untuk berdialog dan berdiskusi. Sehingga menghasilkan jawaban dan pemahaman mengenai pembahasan Bapemperda yang dirancang pada beberapa bulan Juli lalu.
“Jadi karena kalau saya melihat dasar dari pembentukan Bapemperda tersebut berlandaskan pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa,” terang dia.
Dilanjutkan, dasar Pemkab untuk membuat perda ini adalah sudah diatur dalam UU Pasal 50 Ayat 2 dan pasal 53 ayat 4. Di mana dijelaskan tentang ketentuan itu diatur kemudian dalam perda.
“Jadi kami melihat bahwa perlu kemudian pembahasan di dalam perda itu harus mempertimbangkan UU Desa Nomor 6 tahun 2014. Pasal 26 ayat 2 huruf b itu berbunyi, mengangkat dan memberhentikan perangkat desa, bahwa Kepala desa memiliki wewenang,” jelasnya.
Serta dalam beberapa poin Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 yang diperbarui kembali melalui Permendagri Nomor 67 tahun 2017, khususnya pasal 2 ayat kalau wewenang kepala desa itu ada. Dalam Permendagri juga mengatur mekanisme perekrutan perangkat desa melalui tahapan seleksi.
“Saya sepakat kalau melalui seleksi, cuma kan perlu digarisbawahi bahwa tim seleksi ini dibentuk oleh kepala desa berkoordinasi dengan camat. Jangan sampai takutnya nanti tim seleksi ini dilalihfungsikan ke kecamatan,” bebernya.
Kemudian kecamatan nanti malah memiliki kapasitas dan legal standing mengenai aparatur desa itu. Itu yang masih beredar ini. “Jadi kami dari APPD ini hanya menyampaikan. Karena beberapa kades ini lagi komunikasi kiri kanan mengenai ketidaksepakatan terkait perda itu,” tambah dia.
Ditambahkan Agustinus Yantul, anggota lainnya, dalam implementasi dari Bapemperda tersebut nantinya harus mempertimbangkan kondisi dan geografis desa.
“Kita melihat kondisi di lapangan, jangan sampai kemudian jika diterapkan tidak ditopang dengan SDM desa yang memadai. Maka perlu kiranya DPRD memandang ini secara cermat sebelum diberlakukan menjadi payung hukum,” singkatnya
Sementara itu, Ketua Bapemperda Heri Rizal menyampaikan apresiasi terhadap kedatangan APPD untuk berdialog. “Ini yang sebenarnya saya tunggu-tunggu daripada berpolemik di media sosial,” kata dia.
Menurut Heri-sapaan akrabnya-berjalannya pemerintahan yang baik itu perlu dikritisi dan masukan dari seluruh komponen masyarakat. Supaya pembangunan itu berimbang dengan melibatkan elemen masyarakat.
“Harapan saya, ketika ada kritik saran dan pendapat tetap kita tuangkan dalam kanal-kanal demokrasi. Karena itu lebih bagus. Karena saya juga berpengalaman seperti rekan-rekan karena pernah berproses menjadi aktivis,” kata dia.
Dia menambahkan, UU Nomor 6 Tahun 2014 berangkat dari UU tentang pemerintahan itu sendiri. Jadi turunan dari undang-undang tersebut dari Permendagri Nomor 83, 84 tahun 2015, Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 serta peraturan lainnya yang merupakan turunan dari undang-undang tentang desa itu sendiri.
“Jadi undang-undang tentang desa itu melahirkan Permendagri. Tapi harus ada turunannya, karena kita ketahui Permendagri tersebut kadang tidak mengatur secara rinci,” jelas Heri Rizal.
Untuk diketahui, hierarki dari peraturan perundangan itu ialah, UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR), Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, dan Peraturan Kabupaten atau Kota.
“Jadi ketika dikeluarkan regulasi itu ada semangat untuk memperbaiki keadaan. Dan, di sisi lain untuk di KTT sendiri ada yang timpang. Apa yang timpang? Sebenarnya kalau mau jujur ranah untuk perda-perda yang berkaitan dengan desa adalah haknya pemerintah daerah bukan di DPRD,” bebernya.
“Meskipun DPRD punya ruang untuk itu, karena untuk mengajukan perda boleh dari pemda, dan boleh dari DPRD. Jika berkaca ke belakang, pada 2015 yang dijadikan dasar pemilihan kades itu hanya Perbub, jadi tidak ada Perdes maupun Perda, jadi tidak kuat,” jelasnya.
Namun menurut Heri hal ini bukan berarti menyalahkan pemda, tapi ini berbicara historisnya. Selain itu, setiap tahun di DPRD itu ada yang namanya program pembentukan peraturan daerah. Apakah perda itu asalnya dari masyarakat, dari pemda ataupun inisitaif dari DPRD sendiri.
“Setiap tahunnya kita tandatangani bersama sebelum tahun anggaran berikutnya dimulai. Nah, pada 2017 sebelum Permendagri terbit, kami tunggu dari pemda untuk mengajukan ke kami bahas soal raperda ini,” ujar dia yang mengatakan hal itu terjadi hingga 2018.
Hingga pada 2019 DPRD berinisiatif mengajukan perda inisiatif. Pertama tentang mekanisme pemilihan kepala desa. Karena dalam UU harus serentak. “Karena berkaca pada Permendagri dan UU mekanismenya tidak diatur lebih detail. Maka, harus diatur dalam perda,” bebernya.
Maka yang diatur yaitu Perda Pemilihan Kepala Desa, Perda Pemilihan dan Penghentian BPD dan Perda Pemilihan dan Pengangkatan Perangkat Desa yang saat ini sedang diproses. “Jadi ini bukan sekonyong-konyong. Tidak. Tetapi melalui tahapan dan proses panjang,” terangnya.
Karena dalam pembahasan perda, harus ada naskah akademiknya, landasan filosofis, ekologis dan yuridis. “Maka kita buatlah itu bekerjasama dengan perguruan tinggi,” beber dia.
Karena tiga Perda ini bersamaan, maka pemilihan kades harus dikejar dan dikebut. Karena ini perintah UU. Selama yang lainnya proses maka muncullah draf rancangan peraturan daerah tentang pengangkatan dan pemberhentihan perangkat desa. DPRD bertugas membuat dan mengatur Perda-nya.
“Saat ini sudah melalui tahapan proses. Mulai dari pembahasannya, uji publik dan tanggapan masyarakat, lalu kemudian dibawa ke provinsi untuk melakukan harmonisasi,” jelasnya.(bn2)
Editor: M. Yanudin