Cara Budidaya Udang Pengaruhi Hasil Panen

BALAI Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) Tarakan menilai cara budidaya udang di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) masih belum dapat dikatakan standar budidaya udang, seperti yang diterapkan daerah lain di Indonesia yang telah memenuhi standar yang dimaksudkan kementerian perikanan. Kepala BKIPM Tarakan Umar menyebutkan, petani tambak udang di Kaltara masih menerapkan cara tradisional sehingga hal itu berdampak pada hasil panen.

Ia tak dapat menyalahkan mindset petani tambak di Kaltara, karena cara itu telah dipakai sejak lama. Walaupun benar menghasilkana panen udang yang cukup memuaskan. Namun ia menggarisbawahi terkait budidaya udang yang selayaknya diterapkan, yakni proses budidaya yang mampu menghasilkan panen udang dalam jumlah yang banyak.

Calon Gubernur Kalimantan Utara 2024-2029 Pilihanmu
1973 votes

Berdasarkan data yang BKIPM himpun dari petani tambak udang di Kaltara, hasil panen tidak sebanding dengan luasan tambak yang dikelola petani tambak. Bahkan, jika dioptimalkan tentu hasil panen bisa melejit berkali lipat namun mesti menerapkan cara budidaya yang baik dan benar.

“Kalau kita melihat secara keseluruhan dengan luas lahan tambak yang ada, budidaya yang ada tidak sebanding dengan produksi yang ada, kita tahu produksi tambak kita di sini masih dengan cara tradisional, kedengarannya tambak kita luas tapi dari produksinya sangat kecil sekali. Jadi kita pertahankan udang windu karena kita sebut udang organik ya (unggulan Kaltara),” terangnya.

Lanjut Umar, budidaya tambak di Kaltara ini jauh dari kata layak, tapi tidak bisa disalahkan karena dengan seperti itu petani tambak sudah merasa cukup. Kata dia, yang dimaksud dengan kegiatan budidaya itu suatu lahan bisa dikuasai. Misalnya, petakan tambak itu hanya 0,5 hektare tapi produksinya bisa berpuluh kali lipat dengan cara yang tradisional.

“Di Kaltara ini ada tambak satu petak sampai 20-30 hektare produksinya hanya 600-800 kg, syukur-syukur bisa sampai 1 ton. Seharusnya yang namanya intensif contohnya di Palu dia hanya 1.000 meter persegi (1 ha) luasannya tapi bisa menghasilkan sampai 15 ton, yang terjadi kenapa bisa begitu karena dikuasai. Artinya kita bisa menghitung udang yang kita tebar ini prediksi kita sekian yang mati, maksimal sekian, setiap menaikkan (ukuran udang) itu kita bisa menghitung berapa pakan yang harus kita berikan, bisa dihitung semuanya,” jelasnya.

“Kemudian ketinggian air bisa dikendalikan. Kalau kita di sini tidak bisa, tergantung alam, terus habis panen harus dibalik tanahnya dibersihkan, itu semua bisa karena namanya budidaya dikuasai, dikontrol. Di sini tidak, boro-boro membalik tanah yang puluhan tahun itu, di sini itu hanya menghandalkan saluran airnya saja, sehingga bicara budidaya masih jauh sekali di sini (dari kata standar), cuma kita tidak bisa menyalahkan mereka karena mindsetnya,” sambungnya.

Umar menambahkan soal kualitas udang yang ditangkap di laut dan dibudidaya di tambak. Menurutnya udang yang ditangkap di laut cukup bagus mutunya. Namun, kembali kepada proses pengelolaan udang pasca ditangkap atau dipanen. Utamanya dalam hal penanganannya.

“Menjadi persoalan bagaimana penanganan udang itu setelah ditangkap di laut terus penanganan dari hulu ke hilir, prinsipnya udang setelah ditangkap itu langsung dimasukkan ke es bukan udang sudah merah baru masukkan ke es. Jadi dari segi asalnya tidak ada permasalahan, seperti apa penanganan setelah udang itu dipanen sesuai SOP yang ada, udang baru ditangkap masukkan ke es masih hidup, tapi kalau dibiarkan dulu sekian jam bahkan setengah hari tidak betul, otomatis tingkat mutunya lebih rendah ketimbang yang dibudidaya itu,” pungkasnya. (ram/kik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *