TARAKAN – Puluhan warga Tarakan yang selama ini menuntut ganti rugi lahan di area sekitar Bandara Juwata Tarakan, masih terus memperjuangkan haknya. Pasalnya sudah beberapa tahun sejak lahan mereka dibangun untuk perpanjangan runway dan perluasan bandara, belum juga ada ganti rugi dari pemerintah.
Warga pun menyampaikan aspirasinya kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) agar dapat memperjuangkan hak mereka. Hingga sejauh ini sudah beberapa kali warga diundang DPRD Tarakan untuk melakukan rapat dengar pendapat membahas ganti rugi lahan oleh pemerintah tersebut.
“Di situ ada sekitar 35 orang atau bidang tanah yang meminta ganti rugi lahan. Masyarakat juga menyampaikan aspirasinya ke saya sebagai DPRD provinsi dan sudah teruskan ke DPRD kota untuk bisa menyelesaikan masalah ini,” terang anggota DPRD Kaltara, Khaeruddin Arief Hidayat kepada benuanta.co.id.
Diterangkan Arief, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan sudah 2 kali menggelontorkan anggaran ke Bandara Juwata Tarakan, untuk pembayaran ganti rugi lahan yang dikuasai masyarakat di aera sekitar bandara. Namun pihak bandara selalu mempertanyakan tentang alas hak tanah tersebut.
Hal itu yang selama ini menjadi pengganjal, sehingga sampai saat ini anggaran itu belum juga bisa dibayarkan kepada warga. “Sementara masyarakat di sana sudah sekian lama menguasi fisiknya,” jelas Arief.
Jika mempertanyakan soal alas hak tanah, lanjut politisi PAN ini, warga memang hanya memegang surat dari RT, Lurah, Camat, atau kuitansi. Atau bahkan ada yang tidak bisa menunjukkan bukti kuitansi. Namun menurut Arief, itu tidak bisa menjadi alasan menghilangkan hak warga yang selama puluhan tahun menguasai fisik tanah tersebut.
“Bicara alas hak, warga ada yang memegang surat dari RT, lurah atau camat. Bahkan kalau dia tidak punya surat tapi menguasai lahan fisiknya lama, dia punya hak dong (hanta rugi, Red.),” jelasnya.
Jika memang pihak Bandara meminta alas hak berupa sertifikat, Arief pun balik meminta pemerintah agar tidak mempersulit warga yang akan membuat sertifikat di area bandara. Sebab masyarakat mengaku siap jika harus diminta membuat sertifikat. “Tapi jangan halangi masyarakat untuk mengurus sertifikatnya di lahan itu,” tegasnya.
Meski demikian, dengan telah digelontorkannya anggaran dari pusat ke bandara sebanyak dua kali, Arief menilai pemerintah sudah menunjukkan ada keinginan untuk membayar ganti rugi lahan warga. Yakni pada anggaran APBN Perubahan Tahun 2018 sebesar Rp 10 miliar dan anggaran murni tahun ini.
Jika memang pihak bandara khawatir akan menimbulkan masalah hukum dalam kasus ini, mantan Wakil Wali Kota Tarakan periode 2014-2019 ini menyarankan agar dibentuk tim yang melibatkan instansi terkait. Misalnya seperti dari BPN, Pengadilan, Pemerintah dan pihak bandara. Hal ini untuk menghindari terjadi kesalahan atau delik hukum di kemudian hari.
Untuk itu Arief menyarankan agar semua pihak menyamakan persepsi untuk menyelesaikan persoalan ini. “Jadi bandara khawatir kalau tidak kuat alas haknya akan berakibat pada masalah hukum, itu saja masalah sesungguhnya,” urainya.