Rumah Demokrasi mengibaratkan buah simalakama apabila pemenang pilkada adalah kotak kosong, yakni dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati.
“Penjabat kepala daerah tentunya tidak dapat membuat kebijakan strategis dan menjalankannya, lebih pada pemenuhan rutinitas birokrasi,” kata Ramdansyah dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, harus ada jalan keluar untuk kasus ini, tetapi tidak harus melanggar norma yang ada.
Untuk itu, ada pilihan rasional, tetapi tidak wajib dijalankan oleh DPR RI periode saat ini.
Opsi pertama adalah Presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pilkada dengan merevisi ketentuan khusus penyelenggaraan pilkada jika kotak kosong menang.
Kedua, DPR RI yang akan dilantik pada masa jabatan berikutnya dapat membuat revisi UU Pilkada agar lebih baik dengan memasukkan pengecualian jadwal pemenang pilkada yang mayoritas suara kotak kosong pada Pilkada 2024.
Ketiga, lanjut dia, Pemerintah dan DPR RI dalam revisi UU Pilkada juga harus membuat aturan dan mengakomodasi gerakan pemilih yang akan memilih semua pasangan calon (paslon) memberikan suara di luar paslon yang ada dalam surat suara, dan/atau kampanye suara tidak sah.
Ramdansyah berpendapat bahwa semua itu merupakan hak konstitusi, sebagaimana termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, dia mengingatkan kembali bahwa norma keserentakan pemilu dan pilkada sebagai bentuk efisiensi dan menjadi politik hukum yang tidak bisa diubah-ubah semaunya.
Kedua, agar partisipasi pemilih tetap tinggi dan meminimalkan keberadaan kotak kosong, kata Ramdansyah, partai politik wajib mendengarkan aspirasi publik dan anggota partai di tingkat bawah dalam pencalonan tokoh lokal yang diinginkan oleh masyarakat sebagai kepala daerah.
Ketiga, konvensi internal partai untuk mencari calon pimpinan daerah perlu diperkuat kembali.
Selain itu, survei internal partai atau lembaga independen yang menjaring nama-nama populer dan memiliki elektabilitas di daerah dapat diakomodasi oleh pimpinan partai politik.
“Dengan demikian, partai politik tidak dianggap milik ketua umum atau elite tertinggi, tetapi lebih pada lembaga politik penyalur aspirasi rakyat,” pungkas Ramdansyah.
Sumber : Antara