benuanta.co.id, BERAU – Empat hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb, dipastikan sudah mendapat hukuman disiplin dari Mahkamah Agung (MA).
Sebab empat hakim diketahui lakukan pelanggaran kode etik yang dibuat dalam menangani kasus sengketa lahan yang terjadi di Pulau Maratua, Kabupaten Berau, beberapa waktu lalu.
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb Jhon Paul Mangunsong mengatakan hukuman disiplin yang diterima 4 hakim itu antara lain 2 hakim mendapat sanksi ringan berupa teguran tertulis
“1 hakim mendapat sanksi berat berupa ‘Hakim Non Palu’ selama 1 tahun di PN Samarinda dengan ketentuan tunjangan jabatan hakim tidak dibayarkan selama menjalankan ‘Hakim Non Palu,’ dan 1 hakim lainnya mendapat sanksi ringan berupa pernyataan tidak puas secara tertulis,” ucapnya Rabu (21/8/2024).
Sambung dia, kini hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada 4 hakim itu sudah diumumkan oleh Badan Pengawas (Bawas) MA pada Juli 2024 lalu.
“Sesuai Disposisi YM Ketua MA RI tanggal 5 Februari 2024 jo Disposisi YM Ketua Kamar Pengawasan MA RI tanggal 7 Februari 2024, yang hasil pemeriksaan dan rekomendasinya diteruskan Plt Kabawas MARI kepada Dirjen Badikum tanggal 19 Juli 2024,” bebernya.
Alhasil Jhon Paul Mangunsong menegaskan hukuman yang diberikan oleh MA kepada 4 hakim tersebut membuktikan bahwa MA responsif terhadap keluhan dan laporan masyarakat.
“Berikutnya kami menindaklanjutinya dengan pemberian sanksi hukuman disiplin. Semua pihak terkait diperiksa, baik yang melakukan pelanggaran, yang melaporkan,” imbuhnya.
Sesuai hasil pemeriksaan Bawas MA, empat hakim tersebut terindikasi kuat terjerat melanggar kode etik. Kemudian lebih dari itu, dugaan suap yang selama ini didengungkan tidak diketahui dengan pasti. Pasalnya, persoalan itu ditangani langsung oleh MA tanpa intervensi pihaknya
“Dugaan suap itu terbukti atau tidak kami sendiri juga tidak tahu. Tapi yang pasti dari hasil pemeriksaan, ada indikasi yang dibuktikan itu pelanggaran etik, persidangan, pemeriksaan setempat, juga komunikasi antara aparat kita dengan salah satu pihak yang berperkara,” urainya.
Selain dugaan suap yang tidak diketahuinya dengan pasti, Jhon juga tidak memberikan kepastian terkait alasan di balik hukuman yang diberikan dengan tingkatan yang berbeda-beda. Namun yang pasti, menurutnya, hakim yang terlibat kasus suap akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar.
“Kenapa tiga lain hukuman berbeda itu saya tidak paham. Tapi yang jelas Bawas punya kewenangan untuk menentukan siapa yang berat, siapa yang sedang, ringan, itu kewenangan Bawas. Kalau terbukti suap saya kira mungkin lebih berat,” tegasnya.
Sementara itu, Syahrudin selaku Kuasa Hukum Penggugat yang memenangkan perkara sengketa lahan tersebut menjelaskan kasus yang melibatkan 4 hakim tersebut bermula dari dugaan pemerasan yang dilakukan oleh salah satu oknum hakim terhadap kliennya perihal sengketa lahan yang terjadi di Pulau Maratua beberapa waktu lalu.
“Ada satu kasus sengketa lahan di Pulau Maratua yang melibatkan salah satu resort. Nah terhadap dugaan pemerasan terhadap klien kami, salah satu oknum itu meminta sejumlah uang dengan iming-imingi perkara tersebut akan dimenangkan oleh klien kami,” imbuhnya.
“Kenapa saya berani bicara bahwa itu adalah pemerasan karena saya mendengar sendiri waktu dia ketemu dengan klien saya memang ada permintaan sejumlah uang. Akan tetapi di ujung-ujung jalan perkara itu diputuskan, itu hanya iming-imingi saja,” sambungnya.
Tak kunjung mendapat tanda-tanda kemenangan, Syahrudin mulai merasa curiga. Apalagi pada saat pemeriksaan banyak kejanggalan yang ditemukan baik sejak awal dirinya secara pribadi juga tidak menyukai tindakan hakim yang menggunakan cara tersebut untuk memenangkan perkara.
“Ternyata apa yang saya curigai itu memang benar terjadi. Ternyata oknum ini meminta ke klien saya dan juga minta ke sebelah (pihak lain yang bersengketa). Nah kemungkinan sebelah lebih besar dari klien saya makanya pihak sebelah yang dimenangkan,” bebernya.
Akibat tindakan hakim itu, pihaknya, lalu membuat laporan dengan judul pemerasan. Laporan yang dibuat itu, menurutnya pertama-tama untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat, khususnya kliennya Berikutnya, mengoreksi cara kerja lembaga peradilan.
“Hal tersebut kalau dibiarkan, kasihan masyarakat kecil yang nggak punya duit akan susah mendapatkan keadilan. Karena kalau kita tidak koreksi tindakan-tindakan oknum tersebut maka akan terjadi lagi efek-efeknya,” paparnya.
“Jadi, kami bukan bertujuan menyerang individu-individu seseorang. Tidak. Karena beliau bertindak atas nama lembaga maka kami mengoreksi melalui lembaga juga yaitu Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,” tambahnya.
Selanjutnya, terkait bukti-bukti dan hasil pemeriksaan selama perkara itu berproses menjadi benar-benar merupakan kewenangan MA. Karena itu, dirinya membenarkan juga bahwa selama pemeriksaan berjalan PN Tanjung Redeb tidak dapat melakukan intervensi.
“Soal bukti-bukti, yang memegang, melihat, dan menilai itu adalah Badan Pengawas MA. Hakim-hakim tinggi di sanalah yang lebih tahu. Kemudian di pihak lain ada Komisi Yudisial. Karena saat itu kami diperiksa, didatangi oleh dua badan tersebut. Sehingga kalau Ketua PN di sini tidak tahu, itu memang betul,” paparnya.
Dengan adanya hukuman tersebut, dirinya berharap agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di masa depan. Pun bila hal tersebut benar-benar tidak bisa dihilangkan minimal bisa dikurangi. Jika hal itu masih terjadi maka masyarakat kecil tetap akan menjadi korban.
“Dengan adanya putusan tersebut sebenarnya secara pribadi saya tidak terlalu senang. Saya sedih dengan kejadian ini. Sedihnya kalau masyarakat kecil diperlakukan seperti klien saya pasti mereka akan susah mendapatkan keadilan,” pungkasnya. (*)
Reporter: Georgie
Editor: Yogi Wibawa