benuanta.co.id, MAKASSAR – Upaya meminimalisir perusakan kawasan hutang mangrove, Dewan Pimpinan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan (DPRD Sulsel) terus menggenjot pembahasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Mangrove. Itu dilakukan lantaran ekosistem mangrove di Sulsel mulai terjadi penyusutan.
Kendati kawasan mangrove kerap terjadi pengalihan fungsi, mulai obyek wisata, hingga perusakan untuk kepentingan pribadi. Ketua Pansus Ranperda Mangrove DPRD Sulsel, Usman Lonta mengutarakan, peraturan daerah ini nantinya akan mengatur tentang zonasi dan sanksi.
” Zonasi hutan mangrove ini, ada zona budidaya sama pemanfaatan. Apa-apa yang dilarang dan bisa dilakukan di zona itu, dan apa sanksi kalau misalnya praktik praktik pengrusakan,” kata Usman Lonta ditemui seusai pembahasan Ranperda tersebut di gedung DPRD Sulsel, Rabu, (5/10/2022).
Menurut Usman Lonta, pembahasan Ranperda ini masih akan ditindaklanjuti dua hingga tiga kali pertemuan sebelum difinalisasi.
“Jadi hari ini sudah semifinal penjaringan daftar inventaris masalah dari kelompok masyarakat dan organisasi perangkat daerah (OPD),” katanya.
Selain itu, kata dia, Ranperda tentang Mangrove ini keterlibatan pemerintah kabupaten dan kota di Sulsel dibutuhkan, sesuai Undang Undang nomor 23 tahun 2014. Sehingga perumusan Ranperda tersebut dapat diimplementasikan hingga tingkat bawah.
“Itu kita juga rumuskan formulanya, Ranperda ini supaya betul betul bisa diimplementasikan di tingkat daerah bahkan sampai di tingkat desa. Supaya lebih dekat pengawasannya di tengah masyarakat,” ujarnya.
Kemudian Ranperda tentang Mangrove ini akan menyesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dimiliki di Kabupaten dan Kota. Serta RTRW provinsi, dengan tujuan tidak terjadi tumpang tindih regulasi.
“RTRW ini merupakan menjadi dasar Perda ini. Makanya pertimbangan utamanya dalam pengusung Perda ini adalah RTRW tidak boleh bertentangan. Jadi termasuk kawasan kawasan mangrove yang di RTRW itu yang kita perkuat,” urainya.
“Sebaliknya hal-hal yang tidak masuk kawasan mangrove, itu masuk kawasan reklamasi atau kawasan tambak itu tidak bisa dipaksakan untuk menanam mangrove di tempat itu,” sambungnya.
Tak hanya itu, Ranperda Mangrove ini turut mengatur regulasi tentang kawasan mana saja yang bisa dijadikan obyek wisata.
“Dinas Pariwisata mengusulkan supaya di dalamnya itu ada Ekowisata. Jadi Kawasan Lindung, Kawasan Ekowisata, Kawasan Budidaya, Kawasan Pemanfaatan. Semua kawasan hutan mangrove akan dibuatkan, dirumuskan pasal pasal yang bisa mengatur, supaya bisa terkendali kerusakannya,” tukasnya.
Sebelumnya, Direktur Blue Forests, Rio Ahmad mengatakan, beberapa dekade terakhir kondisi mangrove di Sulsel terus mengalami degradasi. Jika pada 1994 luasan mangrove sebesar 110.000 hektare, sekarang jumlahnya menyusut hingga hanya12.278 hektar.
Menurut Rio, potensi rehabilitasi mangrove di Sulsel seluas 133.000 hektar yang tersebar di berbagai daerah. Upaya konservasi telah banyak dilakukan terutama di level komunitas.
“Meskipun sifatnya sporadis, namun hasilnya sudah mulai terlihat, seperti yang dilakukan di Lantebung Makassar dan Kepulauan Tanekeke Takalar,” katanya.
Sehingga diharapkan Perda mangrove bisa melindungi ekosistem mangrove yang tersisa di Sulsel. Sekaligus memperbaiki tata kelola dan upaya pemulihan ekosistem mangrove yang rusak. (*)
Reporter: Akbar
Editor: Yogi Wibawa