benuanta.co.id, TANA TIDUNG – Meski bersifat musiman, bukan berarti menjadi pengrajin kesenian kebudayaan khas suku Tidung tidak menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Salah satu pengrajin yang juga merupakan pemerhati kesenian dan budaya suku Tidung di Kabupaten Tana Tidung (KTT), Mustarudin DJ (68) mengaku bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta dari setiap item produk yang ia jual.
“Tergantung ukiran dan tingkat kesulitannya, kalau mandau biasanya harganya segitu. Karena mandau yang saya jual memang mewajibkan keaslian dari ukirannya, makanya harganya agak mahal,” kata Mustarudin.
Selain mandau, pria yang merupakan anak pertama dari ketua adat dan kepala desa pertama Desa Tideng Pale ini juga mengaku tidak menjual mandau saja.
Tapi juga menjual produk kesenian dan budaya tidung lainnya, seperti ayunan, alat musik, senjata perang khas suku Tidung, anyaman dan lainnya.
“Alat kesenian khas tidung KTT ini kan sebenarnya banyak dan unik-unik. Jadi, jangan dikira kalau suku Tidung KTT ini tidak punya alat musik. Kita punya seperti kecapi dan gemandong,” pungkasnya.
Kepada benuanta.co.id, Mustarudin mengaku sudah hampir 40 tahun menekuni profesi ini. Meski keuntungan yang didapatkan bersifat musiman, namun Mustarudin mengaku menekuni profesi ini bukan untuk sekedar mencari keuntungan saja.
Ia menegaskan, dirinya tetap menjadi pengrajin kesenian dan budaya khas suku tidung, karena berlandaskan rasa cintanya kepada kesenian dan kebudayaan dari suku tidung itu sendiri.
“Kalau momen Iraw itu ramai pemesan saja. Tapi kalau hari-hari biasa ya jangan ditanya lah. Intinya jangan jadikan kesenian dan Budaya kita ini bisnis, tapi jadikan atas rasa cinta agar kesenian kita tidak hilang,” terangnya.
“Bayangkan saja, di KTT ini hanya ada 2 pengrajin termasuk saya yang tersisa. Jika kesenian dan budaya kita tidak diwariskan lama-lama kan bisa hilang,” tutupnya. (*)
Reporter: Osarade
Editor: Ramli