JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan harga sejumlah komoditas pangan berpotensi mengalami kenaikan pada 2021 akibat pandemi COVID-19 yang belum bisa dipastikan berakhir sepenuhnya.
Melihat dari pengalaman pada 2020, pemerintah mencatat bahwa di akhir April tahun ini, beberapa provinsi mengalami defisit beberapa komoditas pangan, seperti beras, jagung, gula, cabai, bawang putih, bawah merah, dan telur.
Menurut Galuh di Jakarta, Sabtu, penyebab defisit ini dikarenakan provinsi-provinsi tersebut bukan merupakan provinsi penghasil utama dari komoditas-komoditas tadi. Selain itu, proses distribusi yang sempat terhalang akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan berbagai kebijakan pembatasan lainnya.
“Saat ini, distribusi dan kesediaan sebagian besar pangan pokok di Indonesia memang sudah lebih stabil daripada sebelumnya. Akan tetapi, beberapa komoditas yang sebagian besar sumber ketersediaan berasal dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi dan kedelai, diprediksi juga akan mengalami fluktuasi harga,” kata Galuh dalam keterangan.
Kesulitan dalam mengamankan impor daging sapi dapat meningkatkan kemungkinan kenaikan harga domestik, apalagi mengingat perayaan Idul Fitri pada 2021 juga akan berlangsung lebih awal.
Untuk itu, ketersediaan stok yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga pangan, terutama komoditas yang tergolong pokok dan dan sumber ketersediaannya sebagian besar berasal dari impor.
“Rentetan peristiwa yang menandai fluktuasi harga komoditas pangan, terutama yang termasuk pada komoditas pokok dan ketersediaannya dipenuhi lewat impor, idealnya sudah bisa dijadikan parameter dalam mengambil kebijakan,” kata Galuh.
Berdasarkan laporan World Food Programme, harga pangan dunia turun 4,3 persen di antara Februari dan Maret 2020 akibat adanya penurunan permintaan karena pandemi Covid-19.
Akan tetapi, harga beras justru tercatat mengalami kenaikan dikarenakan adanya “stockpiling behavior” atau perilaku menimbun yang dilakukan oleh masing-masing BUMN pangan negara-negara dunia dan karena adanya penutupan ekspor dalam memenuhi produksi domestik terlebih dahulu.
Tindakan inilah yang kemudian menyebabkan adanya ketidakseimbangan “supply” dan “demand”. Negara-negara berusaha mengamankan ketersediaan pangan dalam negeri dengan tidak melakukan ekspor dan tertutup pada impor. Walaupun saat ini sudah banyak negara yang kembali membuka impor, hal ini patut untuk diwaspadai di tahun mendatang.
Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) kemudian mencatat bahwa harga komoditas pangan di tingkat internasional mulai kembali mengalami kenaikan sejak Mei hingga November 2020.
The FAO Food Price Index (FFPI) di bulan Oktober 2020 berada di angka rata-rata 100,9, tertinggi sejak Januari 2020 dan mengalami kenaikan sebesar 3,1 persen dari bulan September dan 6 persen lebih tinggi dari Oktober 2019. Kenaikan banyak disumbang oleh komoditas gula, sereal, dan minyak nabati.
Galuh menambahkan bahwa kenaikan harga pangan di tingkat internasional dapat pula berpengaruh pada harga dalam negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, jika ketersediaan stok sudah tidak mencukupi dan harga-harga sudah mulai naik, pertimbangan stok negara yang berada di luar negeri atau impor dapat menjadi salah satu akses untuk menyediakan komoditas pangan yang tidak kalah berkualitas dengan harga yang terjangkau.
“Seperti contohnya bawang putih yang sudah pasti membutuhkan impor, perlu dipermudah akses dan syarat-syarat impornya. Ketahanan pangan dalam negeri penting untuk dijaga dengan pemenuhan pangan yang tersedia dan terjangkau,” kata dia.(ant)
Editor: M. Yanudin