Di balik jurus lemparan ke dalam Arhan
Situasi lemparan ke dalam Pratama Arhan hingga saat ini menjadi senjata paling efektif untuk membongkar pertahanan lawan. Arhan dengan jurus lemparan jauhnya menghadirkan tiga gol untuk Indonesia. Satu gol lainnya yang tercipta di ASEAN Cup berasal dari situasi bola mati tendangan sudut melalui umpan Dony Tri Pamungkas.
Tentu, keadaan ini sangat tidak ideal untuk sebuah tim. Pada dasarnya, situasi bola mati menjadi senjata alternatif sebuah tim untuk membongkar pertahanan lawan. Senjata utamanya tentu adalah skema open play atau permainan terbuka, bukan sebaliknya. Sayangnya, satu gol open play pun belum diciptakan skuad muda Garuda.
Kegemaran Shin Tae-yong mengubah-ubah komposisi pemainnya akhir-akhir ini juga menjadi bumerang sendiri bagi dirinya. Alih-alih menawarkan pembeda, pelatih asal Korea Selatan itu membuat blunder karena membuat pemainnya sulit padu. Chemistry pemain sulit terjalin karena perbedaan tandem bermain di setiap pertandingan.
Trio bek tengah melawan Myanmar yang tampil solid, Kadek, Ferarri, dan Dony tak diturunkan bersama di barisan tiga bek sejajar karena Shin Tae-yong memilih Kakang Rudianto untuk menemani Kadek dan Ferarri, sedangkan Dony dipilih ditempatkan lebih ke depan di bek sayap kiri yang merupakan posisi aslinya.
Akibatnya, build up dari lini pertahanan yang diinginkan Shin Tae-yong tak berjalan seusai rencana. Ketiga pemain ini juga kesulitan membaca situasi untuk mematikan aliran bola Laos saat mereka melancarkan serangan cepat.
Sebelas kali intersep, 49 pemulihan bola, dan lima sapuan yang dilakukan para pemain Indonesia mencerminkan betapa buruknya koordinasi pertahanan mereka, sehingga sangat mudah ditembus oleh Laos. Sebaliknya, angka intersep, pemulihan bola, dan sapuan Laos lebih tinggi (21 intersep, 50 pemulihan bola, dan 29 sapuan).
Ini juga menandakan permainan Indonesia yang masih terburu-buru dan kurang tenang. Mereka cenderung memaksakan bola ke depan sehingga mudah diantisipasi barisan pertahanan Laos, alih-alih sabar menunggu pertahanan mereka terbuka untuk menciptakan ancaman lebih matang.
Kecenderungan bermain kurang sabar juga tercermin dari penurunan akurasi umpan dari babak pertama ke babak kedua saat Indonesia membutuhkan gol kemenangan. Di babak pertama, Indonesia mencatatkan 227 umpan berhasil dari 267 kali atau dengan tingkat akurasi 85 persen. Sedangkan di babak kedua, Indonesia mencatatkan 137 umpan berhasil dari 179 kali atau dengan tingkat akurasi 76,5 persen.
Efektif adalah kata yang tepat untuk menggambarkan penampilan Laos pada di Stadion Manahan. Mereka hanya butuh tiga tembakan untuk mencetak tiga gol dari 11 sentuhan bola pemain Laos di kotak penalti Indonesia.
Jumlah ini berbanding terbalik dengan tim tuan rumah yang bermain kurang nyaman di kandangnya sendiri. Ada 28 sentuhan di kotak penalti Laos dari Marselino Ferdinan dan kawan-kawan yang berbuah sembilan tembakan tepat sasaran ke gawang yang dikawal Keo-Oudone Souvannasangso yang hanya berhasil dikonversi menjadi tiga gol.
Laos membuktikan di sepak bola tidak ada hal yang pasti, bahwa meski ada 61 peringkat dunia di bawah Indonesia, di lapangan semua bisa terjadi. Mereka sangat bisa melawan Indonesia sepanjang 90 menit pertandingan dengan skuad muda yang juga diturunkan di sebelas pertamanya. Usia rata-rata yang diturunkan Ha Hyeok-jun malam itu adalah 22,7 tahun, lebih tua 1,8 tahun dari barisan starter Indonesia.
Hasil pertandingan melawan Laos tentu tak perlu terlalu disesali karena yang terjadi biarlah terjadi. Pertandingan ini biarlah menjadi tontonan yang mesti diulang-ulang para pemain agar mereka tahu betul letak kesalahan mereka sehingga tercipta perbaikan permainan di laga berikutnya.
Sumber : Antara