benuanta.co.id, TARAKAN – Jabatan Walikota Tarakan berakhir pada Desember 2023 mendatang. Mengisi kekosongan jabatan itu, pejabat yang menggantikan wajib memiliki syarat mutlak seperti yang sudah diatur Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Selama periode kekosongan ini, posisi Pj Wali Kota Tarakan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan dasar persejutujan Presiden Indonesia, serta nantinya dilantik oleh Gubernur Kaltara.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Kaltara, Irsyad Sudirman M.A., M.I.P menjelaskan, syarat utama menjadi PJ Wali Kota harus eselon IIA atau setara Setda/Sekda dengan pejabat struktural dan fungsional aktif. Golongan paling tinggi IV/D dan paling rendah IV/B.
“Usulan PJ didasarkan pada rekomendasi DPRD melalui Ketua DPRD Kabupaten/Kota bersama Gubernur dan Mendagri,” ucapnya saat berada di Ibu Kota Provinsi Kaltara.
Soal PJ dari TNI ataupun Polri bisa saja dan merupakan diskresi jika PJT Pratama eselon II A tidak ada yang memenuhi syarat atau memang terdapat rekomendasi berdasarkan kinerja. Sisi lain TNI maupun Polri juga masuk kategori ASN militer dan semi militer.
“Konflik of interest (Kepentingan pribadi) lebih banyak di ASN dari pada terjadi pada TNI/Polri,” singkapnya.
Adapun seperti melakukan praktek nepotisme dengan memberikan kemudahan bagi keluarga untuk masuk sebagai tenaga honorer di saat menjadi PJ dan itu sudah banyak kasus yang terjadi sejak 2015 lalu. Lebih dalam Irsyad menjelaskan, bukan rahasia umum lagi jika beberapa oknum pejabat ASN memang melakukan tindakan praktek KKN, dan itu sudah dianggap lumrah terjadi. Dalam kaitan ini bukan permasalahan kebijakan karena PJ tidak boleh membuat kebijakan baru tapi umumnya biasa dipraktekan di lingkungan pemerintah daerah.
Saat disinggung nilai kekurangan dan kelebihan jika direkomendasi dari DPRD Tarakan Irsyad mengatakan, mekanisme pengusulan PJ sesuai dengan Permendagri no 4 tahun 2023 di mana Menteri, Gubernur dan DPRD Kabupaten/kota. Masing-masing mengusulkan 3 nama calon PJ. Biasanya proses pengrucutan nama menuju 3 nama besar calon PJ inilah terjadi proses politik yang dinamis.
“Jadi dalam kaitan ini 3 stakeholder yang ada tidak menjadi final karena penetapan terakir berada di Presiden RI,” tuturnya.
Irsyad mengatakan, adanya pro dan kontra merupakan hal yang wajar tergantung dari mekanisme proses pengusulannya. Jika sesuai peraturan yang ada tentu tidak menimbulkan kegaduhan yang besar. Tapi jika mekanisme proses awal yang dilakukan sudah terindikasi hal-hal seperti kolusi dan nepotisme yang diketahui publik, tentu akan banyak memunculkan pro dan kontra apalagi sampai menimbulkan konflik of interest.
Saat disinggung terkait penentuan PJ yang bermuatan politik Irsyad menerangkan jika hal tersebut sudah tentu bisa. Dalam ranah kebijakan publik dan pemerintahan daerah secara teoritis tidak lepas dari apa dan siapa yang berkuasa, yang juga mempengaruhi proses penunjukan PJ.
Walaupun secara normatif seseorang PJ tidak boleh melahirkan kebijakan baru, baik keputusan publik maupun operasional. Namun diskresi tetap diperlukan untuk keberlangsungan proses pemerintahan daerah yang kondusif.
Dilanjutkan Irsyad, PJ tidak boleh rangkap jabatan. PJ diusulkan sesuai dengan kriteria yakni seseorang yang menduduki eselon II A. Meski yang dimaksud telah menduduki jabatan Sekda, maka posisi jabatan sekda diberikan kepada pejabat lain minimal eselon setara IIA.
“Jika tidak ada, bisa dilakukan proses promosi pada level 1 tingkat di bawahnya,” ungkapnya melalui panggilan selular.
Irsyad mengungkapkan, PJ adalah manifestasi dari tidak terjadinya kekosongan kekuasaan pada masa transisi sehingga jalannya kebijakan tetap terarah dan koordinasi teknis pedoman kerja tetap berjalan dan agar konsistensi netralitas ASN tetap terjaga dari unsur konflik kepentingan.
“Terkait apakah Mendagri bisa obyektif tanpa melihat unsur politik, sekali lagi saya katakan, bahwa namanya kekuasaan sudah dipastikan terdapat unsur politik didalamnya karena secara teori demikian,” singkapnya.
Irsyad menuturkan, Mendagri bisa saja objektif akan tetapi mekanisme proses pengusulan 3 nama calon PJ yang dipilih tentu mengandung anasir-anasir (Paham) politik, tentu dengan berbagai pertimbangan rasionalitas politik lokal di luar dari pertimbangan kapabilitas para calon.
Dosen FISIP ini menjelaskan, terkait isu bisa saja semua proses dijadikan isu dengan berbagai tujuan, utamannya mungkin untuk dijadikan wacana ideal bagi tim yang dibentuk dalam proses usulan nama-nama calon PJ berdasarkan track record calon dari kacamatan publik.
Karena, sejatinya proses pengambilan keputusan selalu didahululi oleh penyebaran isu-isu politik dengan tujuan untuk mendapatkan tanggapan publik terlebih dahulu yang kemudian dijadikan dasar menyusun kebijakan awal sebelum menjadi keputusan pengambil kebijakan.
Kemudian, salah satu syarat penetapan usulan PJ jika merujuk Permendagri No./4/2023 adalah ASN aktif dengan JPT Pratama di lingkungan pemerintah daerah. Dari sini sudah dapat dimaknai bahwa PJ haruslah seorang yang memiliki kualifikasi pengalaman dalam pemerintahan.
Sedangkan permaknan partai politik adalah kelompok kepentingan yang dibentuk untuk menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat yakni suatu organisasi politik yang dibentuk sebagai fungsi menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat yang dapat mempengaruhi pemerintah.
Dalam makna ini jelas bahwa parpol adalah kumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, sehingga tidak dianggap sebagai sebuah lembaga pemerintahan tapi sebagai lembaga kepentingan masyarakat dalam syarat sistem demokrasi.
“Jadi jika muncul isu terkait PJ berasal dari kalangan politisi itu adalah sesuatu yang perlu di klarifikasi dan di validiasi kembali kebenarannya,” imbuhnya.
Partai politik bukanlah lembaga pemerintahan melainkan lembaga politik demokrasi. Orang per orang yang berada di dalam parpol adalah wakil dari masyarakat yang diberi kepercayaan untuk dapat mempengaruhi lembaga pemerintahan dalam proses pembuatan dan penetapan kebijakan bagi kepentingan masyarakat. Sehingga, akan menjadi sebuah pertanyaan di luar kelaziman politik jika di kemudian hari penetapan PJT Walikota Tarakan adalah berasal dari unsur parpol dan telah menyalahi peraturan yang berlaku secara fundamental.
Irsyad berharap, pastinya PJ yang baru dapat menjalankan amanah tugas pemerintahan daerah dengan kondusif dan komunikatif dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada. Mengawal pesta demokrasi dengan transparan dan akuntabel hingga terpilihnya KDH yang baru.
“PJ tidak membuat kebijakan tapi hanya menjalankan kebijakan yang sudah disusun dan ditetapkan dalam bentuk program kerja maupun kegiatan,” tutupnya. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Nicky Saputra