benuanta.co.id, TARAKAN – Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Utara (Kaltara) masih melakukan rangkaian pemeriksaan ihwal dugaan maladministrasi pengerjaan Jalan Bhayangkara yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan.
Kepala Ombudsman RI perwakilan Kaltara Maria Ulfah menjelaskan, dugaan maladministrasi saat ini sedang berproses. Pihaknya belum dapat menyampaikan dan mempublikasikan hasilnya.
‘’Karena bersifat rahasia, maka hal tersebut akan kami sampaikan kepada pihak terlapor,’’ ucapnya Kamis (7/9).
Hingga kini ombudsman sudah melaksanakan sejumlah rangkaian pemeriksaan hingga permintaan klarifikasi. Berkaitan dengan hal tersebut pihaknya tidak dapat menyampaikan hasil tersebut kepada pihak yang tidak berkepentingan.
Terdapat mekanisme dalam melakukan publikasi hasil dari pemeriksaan. Lantaran melibatkan Ombudsman RI maka yang bisa dipublikasikan adalah rekomendasi. Hal tersebut sesuai dengan UU 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
‘’Setelah menyampaikan rekomendasi apabila tidak diganggukan maka dapat disampaikan kepada Presiden, DPR dan di informasikan kepada Media,’’ ungkapnya saat ditemui di kantor Ombudsman RI Perwakilan Kaltara.
Berita terkait :
Mekanisme untuk mencapai rekomendasai, maka ombudsman perwakilan harus melimpahkan hal tersebut ke pusat jika maladministrasinya terbukti. Hal tersebut nantinya akan disampaikan kepada unit resolusi monitoring di Ombudsman RI pusat.
‘’Setelah melakukan serangkaian analisa barulah Ombudsman pusat yang menentukan di pleno, apakah saatnya dikeluarkan surat rekomendasi atau tidak,’’ bebernya.
Maria menegaskan, sesuai mekanisme yang ada di Ombudsman, apabila ada tindakan maladministrasi yang terbukti maka akan diberikan tindakan korektif. Untuk produknya masuk dalam laporan ahkir hasil pemeriksaan.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dituangkan tindakan korektif wajib dijalankan dalam kurun waktu 30 hari. Dalam waktu yang telah ditentukan maka terlapor dapat melakukan koordinasi ke ombudsman terkait bentuk penyelesaiannya.
‘’Apabila lewat dari 30 hari, maka ombudsman perwakilan dapat melimpahkan hal tersebur ke ombudsman pusat untuk diajukan rekomendasi ketika tidak dijalankan sama sekali,’’ ujarnya.
Maria menuturkan, tindakan korektif berarti maladministrasinya telah terbukti. Tindakan korektif tersebut diminta kepada terlapor untuk menjalankan tentang apa yang sudah diarahkan oleh ombudsman.
Sebagai terlapor yang merasa dirugikan, tentunya dugaan yang dituduhkan merupakan hal yang wajar. Tentunya terlapor memiliki kewajiban dalam penyelenggaran dalam pelayanan public. Dalam hal ini berkaitan dengan pembayaran siring badan Jalan Bhayangkara.
Jika ada ketentuan dalam hal peraturan yang menyebutkan hal tersebut harus dibayar, maka terlapor seharusnya menjalankan kewajiban tersebut. Dalam menjalankan hal tersebut tentu harus memiliki pedoman.
‘’Jika soal pembayaran, maka dasarnya pembayarannya harus jelas,’’ imbuhnya.
Dalam menjalankan kewajibannya, terlapor pun harus berhati-hati karena akan ada konsukuensinya. Artinya pelapor dalam menjalankan kewajiban tentu harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian di dalam mengambil tindakan tidak dapat melampaui kewenangan dan harus memiliki dasar dalam mengambil tindakan.
‘’Termasuk dalam hal pembayaran, tentu pelapor harus memiliki dasar yang kuat,’’ tuturnya.
Maria mengatakan, ketika menjalankan satu kewajiban tentu harus memiliki dasar. Semisalnya dokumen perjanjian kerja sama. Hal tersebut membutuhkan pembuktian bahwa ada sesuatu yang disepakati di antara kedua pihak namun tidak didukung oleh dokumen.
‘’Tentu hal tersebut harus dibuktikan,’’ tegasnya.
Jika ditemukan apa yang dijalankan tidak mengacu pada ketentuan yang berlaku tentu harus ada tanggungjawab didalamnya. Maria menerangkan, dalam menjalankan sebuah kewajiban suatu instansi wajib memiliki dasar didalam mengambil tindakan.
‘’Secara pribadi, hal tersebut tentu sangat sulit dibuktikan karena tidak didukung dengan dokumen seperti perjanjian kerja sama,’’ terangnya.
Maria menerangkan, sekalipun penyelenggara negara atau wali kota telah berganti, bukan berarti bahwa system tertsebut terhenti. Hal tersebut seharusnya berkelanjutan.
‘’Kembali lagi pada apa yang telah menjadi ketentuan. Jika kedua pihak melakukan kerjasama seharusnya ada komitmen melalui perjanjian secara tertulis agar hal terbut dapat kuat,’’ katanya.
Sebelum melakukan perjanjian kerjasama, tentu pemerintah memiliki peraturan terkait cara kerjasama dengan pihak lain. Ketika sudah ada pihak luar atau mitranya bisa diperoleh perjanjian kerja sama. Hal tersebut merupakan hal yang ideal secara normatif.
‘’Kami tidak bisa masuk dalam ranah hukum entah itu perdata maupun pidana. Kami hanya membuktikan dugaan maladministrasinya,’’ tutupnya. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Nicky Saputra