Catatan
H. Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)
SEJARAH mencatat, bahwa keterlibatan mafia sebagai kelompok kejahatan teroganisir itu sulit terpisahkan dari lingkaran politik penguasa korup, dan kepentingan mafia itu sendiri. Simbiotik – dua sisi yang saling menguntungkan. Namun, korelasi keduanya tidak selalu berakhir dengan damai. Ada banyak catatan kerja sama antara mafia dengan penguasa berubah menjadi kekecewaan, bahkan permusuhan.
James Mannion dalam buku The Everything Mafia Book) mungkin menginspirasi banyak orang. Bahwa resonansi politik yang diwarnai berbagai kecurangan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Dalam buku ini, James Mannion mendeskripsikan kisah tokoh-tokoh legenda kriminal dalam campur-tangan politik hingga penentukan elected oficials.
Robert St John, seorang wartawan pemberani. Melalui medianya, Robert secara terbuka menantang bos mafia, Al Capone pada proses demokrasi yang memaksa, di negara bagian Amerika Serikat. Sejumlah politisi dan pejabat yang korup dalam koalisi Al Capone sesungguhnya telah mempredikasi bakal kalah pada pemilu 1924 itu. Khawatir akan kekalahannya, Al Capone lantas menggunakan cara kekerasan lewat tangan-tangan anggotanya yang berupaya mengubah persepsi publik menjadi pemlih.
Anak buah Al Capone yang reaktif berkeliaran di sekitar tempat pemungutan suara guna mengawasi pemilih dan memastikan kandidat mana yang merupakan pilihan mereka. Namun intervensi Al Capone yang ilegal dengan cara kekerasan itu tidak berjalan mulus. Capone ditangkap polisi berkat perlawanan informasi media milik Robert.
Al Capone yang bernama lengkap “Alphonse Gabril” itu, adalah pengusaha muda Negeri Paman Sam. Ia pendiri dan pimpinan sindikat kriminal “Chicago Outfit”. Namanya mulai dikenal ketika meng-intervensi berbagai proses pemilihan dan ikut menentukan tokoh yang akan menduduki jabatan penting. Ia meninggal usai ke luar dari penjara pada usia 48 tahun.
Tensi politik yang tinggi dan nafsu memaksa untuk menang adalah sinyal adanya campur tangan mafia pada proses demokrasi. Bahkan, mafia terkadang terlibat langsung mengatur jalannya proses pemilihan dan menentukan keterpilihan (elected oficials) seorang tokoh. Dan ini pernah mewarnai catatan sejarah pemilu demokrasi Amerika.
Pemilu tahun 1930 merupakan bukti catatan gelap demokrasi Amerika ketika itu. Jhon F Kennedy (JFK) berhasil mengalahkan Richard Noxon. Di atas kertas, publik memastikan Nixon menang. Hal ini karena didukung hampir seluruh negara bagian terutama di West Virginia yang 95 warganya menantang JFK karena isu rasial.
Sam Giancana – bos mafia ternama bersama para politisi korup di Chicago dituduh telah mengatur kotak suara untuk memastikan kemenangan partai demokrat yang mengusung JFK. Kecurangan-kecurangan ini terjadi di beberapa negara bagian termasuk Texas.
Meski curang, JFK hanya meraih kemenangan tipis. Selisih suara dengan Nixon hanya terpaut 100 ribu. Sebelumnya, dalam kampanye, JFK menggandeng selebriti sekaligus penyanyi legendaris, Frank Sinatra. Sinatra membuat pesta dansa dengan menghadirkan bintang-bintang Hollywood. Meski pada akhirnya Frank Sinatra dan sahabatnya, Sam Giancana kecewa.
Ketika dilantik jadi presiden, JFK langsung menunjuk adiknya, Robert F Kennedy sebagai Jaksa Agung. Pengangkatan Robert Kennedy tentu saja memantik rekasi keras para bandit. Sebab, salah satu program Robert diawal jabatannya adalah, menghancurkan kejahatan teroganisir, mafia.
Di mata para Mafioso, keluarga JFK tidak tahu berterimakasih. “Tanpa bantuan kelompok mafia, JFK dan adiknya tidak mungkin menduduki jabatan penting itu,” Sam Giancana, sahabat dekat Frank Sinatra mengungkapkan rasa kecewanya. Bahkan, Giancanalah yang menekan para petinggi hingga teamsters mafia dan organisasi serikat buruh agar memilih JFK sebagai presiden.
“Jika seseorang menolongmu, berarti kau berutang budi pada mereka. Bantuan diharapkan untuk dihargai dan dibalas ketika pembayaran utang selesai. Itulah prinsip para mafia. Dan John F Kennedy akhirnya tewas terbunuh dalam perjalanan mobil di Dallas, Texas.(**)