Catatan H. Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)
INFORMASI yang tersaji di berbagai platform media sosial memang harus diverifikasi lagi dan perlu penalaran yang jujur guna menemukan kebenaran absolut. Sebab, kebenaran hari ini tidak lagi menjadi kebenaran yang dibangun berdasarkan fakta tetapi kebenaran itu telah bergeser menjadi kebenaran persepsi.
Dahlan Iskan – mantan CEO Jawa Pos Grup dalam sebuah orasi ilmiah di sebuah perguruan tinggi ilmu sosial, mengatakan di era medsos yang gila-gilaan saat ini, kebenaran yang didukung oleh fakta sudah tidak lagi menjadi dasar kebenaran.
Pendangan Dahlan ini mengemuka setelah mencermati realitas perilaku sosial masyarakat serta paradigma yang mengalami transformasi nilai-nilai etika dan kebenaran sebagai konsekwensi tekanan resonansi para buzzer dalam membangun persepsi.
Siapa yang mengejar kebenaran, itu sudah tidak laku. Sebab ada kebenaran baru yang dasarnya bukan fakta, karena fakta sudah tergantikan oleh framing yang dikembangkan oleh para buzzer hingga menjadi persepsi dasar kebenaran. Sekadar diketahui, framing adalah cara menyajikan informasi untuk memengaruhi pendapat, sikap, dan perilaku orang lain.
Jadi, kata Dahlan, untuk apa mencari fakta sebagai dasar kebenaran kalau orang lain bisa mencari kebenaran baru lewat framing. Dengan demikian, kebenaran yang didukung oleh fakta tidak lagi dianggap sebagai kebenaran.
Kebenaran baru yang datangnya dari framing sejatinya bukanlah benar-benar sebuah kebenaran absolut. Tetapi karena kebenaran baru berkembang oleh dahsyatnya resonansi para buzzer sehingga ia memiliki nilai kebenaran yang kemudian digunakan untuk kepentingan kelompok-kelmpok tertentu.
Adolf Hitler, panglima perang Nazi, Jerman, mungkin benar. Ia katakan suatu yang salah jika disuarakan sebagai sesuatu yang benar, pada akhirnya akan dipercaya sebagai kebenaran. Ini jelas kebenaran baru sebagaimana dikatakan Dahlan bukanlah kebenaran hakiki melainkan kebenaran semu yang secara empiris tidak mungkin dapat dipertanggung-jawabkan.
Mencermati kasus di atas, memang harus diakui bahwa perkembangan dunia digital telah berhasil mengubah pola pikir bagi sebagian orang yang malas mencari referensi sehingga memunculkan anomali dalam mencari kebenaran sejati.
Kuatnya resonansi buzzer dapat dilihat dari sekelumit contoh berikut: si A membeli sebuah jam mahal bermerk Rolek. Kabar tentang si A yang membeli jam Rolek langsung menyebar di kalangan teman-temannya.
“Aah…, paling itu Rolek palsu,” kata teman-temannya yang memang paham betul bahwa si A tidak mungkin mampu membeli jam tangan mahal mengingat selama ini hanya mengenakan jam tangan di pasar loak.
Dari sinilah awal pertaruhan dua kebenaran: “kebenaran lama” dan “kebenaran baru”. Tekanan resonansi buzzer sebagai penggiring perspsi dan opini publik membuat teman-teman si A kemudian percaya bahwa jam tangan milik si A benar-benar asli meski pun keraguan mereka masih tetap ada.
Sejatinya, kehadiran media sosial mestinya jadi wadah percakapan edukatif, bukan justeru memberi efek sosiologis yang buruk bagi sebagian orang atau kelompok yang sekadar ingin mencari panggung popularitas meski pun harus mengorbankan nilai-nilai moral, etika dan kebenaran.
Dalam situasi di mana tekanan ekosistem media sosial yang sulit dibendung, kembalinya jati diri media tradisional seperti surat kabar, majalah, televisi dan radio sangat diharapkan. Organisasi media ini masih memiliki tingkat kepercayaan yang relatif tinggi dibanding informasi media platform digital yang masih perlu diverifikasi melalui sumbernya.
Secara profesionalitas, media tradisional dapat juga diposisikan sebagai media profesional dengan standar jurnalistik yang kuat sehingga akurasi dan keseimbangan berita serta narasumbernya lebih terjamin, karena dikelola melalui sistem verifikasi yang ketat sebelum beritanya jatuh ke tangan publik.
Hanya saja, media arus utama ini sepertinya telah kehilangan tipikalnya sebagai media yang beritanya murni hasil karya jurnalistik dan investigasi. Kemandirian jurnalistik di kalangan wartawan juga mulai tergerus seiring berjalannya waktu. Mereka memilih berada di zona yang tidak menguras energi – guna mendapatkan berta.
Edward Lorenz, ahli meteorology asal Amerika pernah melakukan penelitian terhadap kupu-kupu. Hasilnya, Lorenz menyimpulkan bahwa kesalahan kecil dapat menimbulkan reaksi berantai yang lebih besar di semua sistem jika tidak diatasi dengan baik (tidak terkecuali dalam hal komunikasi. (bn)