benuanta.co.id, Tarakan – Dewasa ini, Fenomena perselingkuhan marak muncul disejumlah layar kaca, media massa, bahkan media online. Hal tersebut bukanlah hal yang tabu bagi sejumlah kalangan masyarakat. Apasih sebenarnya yang mendalangi fenomena tersebut. Lantas, apa kata psikolog dalam melihat fenomena yang tidak pernah habisnya diperbincangkan.
Psikolog Klinis Remaja dan Dewasa, Ratih Musfianita, S.Psi., M.Si., M.Psi mengatakan bahwa menikah dalam berumahtangga bukan hanya masalah finansial atau fisik pasangan, melainkan kesiapan mental. Sebagian besar masyarakat menilai ketika finansial sudah menunjang maka menikah pun jadi lebih mudah. Tidak sedikit yang beranggapan jika rumah tangga akan harmonis jika didasari dengan segala kebutuhan yang terpenuhi secara materi.
‘’Bagi pasangan, muda-mudi perlu mempersiapkan kehidupan setelah menikah’’ ucap Ratih saat dihubungi melalui pesan singkat.
Ratih menjelaskan, pasangan suami istri yang telah menikah harus mementingkan dan mengutamakan komunikasi. Baik buruknya perlu dikomunikasikan secara dua arah, karena dengan kominikasi yang aktif kedua pasangan suami istri akan lebih mudah saling memahami dan mengerti keadaan maupun kondisi yang dialami oleh pasangannya.
Ia menambahkan, pasangan yang memilih menghianati pasangan disebabkan kurangnya komunikasi. Seperti yang diketahui, laki-laki memiliki watak cuek, kurang peka, dan tidak terlalu banyak berbicara. Sedangkan perempuan ingin selalu dimengerti, dimanja dan lebih cerewet. Dengan hal tersebut sebenarnya sifat laki-laki dan perempuan sudah bertolak belakang, hanya dengan komunikasi yang bisa membuat kedua pasangan tersebut saling mengerti dan memahami satu dan lainnya.
‘’Dengan hal tersebut, akan terbangunnya sebuah kepercayaan, saling mendukung serta menguatkan dalam setiap hal yang terjadi dikehidupan berumahtangga,’’ ungkapnya pada Selasa (18/7/2023).
Ratih mengatakan, jika laki-laki berselingkuh artinya ia ingin memuaskan hasrat seksualnya. Sedangkan perempuan yang berselingkuh, artinya ia telah sedang jatuh cinta. Kalimat tersebut masih dalam pengamatan seseorang yang belum dapat dibuktikan secara ilmiah, namun hal itu nyata terjadi di lingkungan masyarakat.
Sebuah penelitian menjelaskan, bahwa pasangan yang berselingkuh terjadi karena beberapa faktor di antaranya kurangnya komunikasi, merasa tidak dihargai, kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi, hilangnya cinta dan kurangnya berkomitmen dalam suatu hubungan.
Perselingkuhan akan berdampak terhadap individu seperti hilangnya rasa percaya hingga sulit membangun kepercayaan sebuah hubungan bahkan stress dan depresi. Hubungan maupun komunikasi yang baik tanpa kemampuan untuk menggabungkan karakteristik pribadi dengan pengetahuan dan pengalaman yang relevan untuk membentuk opini dan membuat keputusan (judgement). Menjadi support system tentunya akan menumbuhkan perasaan sayang dan komitmen yang semakin baik sehingga tidak ada cela untuk memulai perselingkuhan.
Guna mengetahui ciri pasangan yang sedang berselingkuh dapat dilihat dari kebiasaannya sehari-hari, jika ada perubahan sikap terhadap pasangan seperti cuek, moody, perubahan penampilan, jarang menghabiskan waktu bersama, jarang berkomunikasi, mudah bertengkar pada hal sepele. Guna mencegah prilaku tersebut terjadi, Ratih menyarankan kepada pasangan yang belum menikah, ada baiknya segera menyelesaikan dahulu permasalahan di masa lalu terkait inner child, trauma, atau pengalaman buruk di masa lalu yang belum terselesaikan. Karena hal tersebut memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pribadi dimasa depan, terlebih ketika akan menjadi orangtua.
Jika sudah berdamai dengan diri sendiri, maka kenalilah pasangan termasuk masa lalu calon pasangan, karena tidak semua masa lalu orang bisa diterima dengan baik. Maka segera mengkomunikasikan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah menikah.
Usai melakukan komunikasi, maka perlu melakukan komitmen dengan membuat perencanaan seperti ketika ingin memiliki momongan. Karena dalam membesarkan anak harus ada kerjasama antara suami dan istri. Selain itu perlu merencanakan tempat tinggal setelah menikah dan berani jujur meski hal tersebut merupakan sesuatu yang menyakitkan perasaan pasangan.
Ratih menambahkan, bagi pasangan yang sudah menikah, belum ada kata terlambat untuk memperbaiki pola yang salah dalam menjalani rumahtangganya. Apabila tidak bisa ditangani sendiri, ada baiknya berkonsultasi dengan psikolog sebagai fasilitator atau mediator untuk membentuk keluarga yang sejahterah dan harmonis.
‘’Dengan hal tersebut, disaat menikah dengan pasangan sudah memiliki komitmen yang kuat dalam mempertahankan rumah tanggahnya,’’ tutupnya. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Nicky Saputra